026 Emosi
Setelah merapikan barang yang hendak di bawa oleh Halvir dalam perjalanan menuju Kerajaan Singa esok hari. Halvir segera membawa Anindira untuk menemui kepala desa.
''Kak, berapa anak Kepala Desa?'' tanya Anindira saat dalam perjalanan menuju rumah kepala desa.
''Delapan.''
''Wah, banyak...''
''Ya, lumayan. Untuk orang seusianya...''
''Berapa usia kepala desa?''
''Sembilan puluh tujuh.''
''Ups, berarti aku tadi salah tanya!'' seru Anindira terkejut, ''Harusnya, berapa cucunya?'' tambah Anindira sambil tersengeh.
''Tidak ada, dia belum punya cucu.''
Halvir dengan serius selalu menjawab setiap rasa imngin tahu Anindira dengan ekspresi datarnya.
''Eum, begitu. Jadi, apa anak perempuan yang kakak bilang seumuran denganku itu, anak bungsunya?!''
Halvir mengangguk menjawab pertanyaan Anindira.
''Oh!'' seru Anindira menjawab sambil manggut-manggut, ''Kak siapa nama anak kepala suku?''
''Zia.''
''Seperti apa orangnya?''
Anindira tetap berusaha tenang saat perbincangan mulai membiacrakan Zia. Nama yang sering di sebut oleh Halvir dalam beberapa kesempatan. Anindira merasa penasaran karena ada perasaan tidak nyaman tapi dia tidak mau itu terlihat oleh Halvir.
''Wanita yang banyak bicara. Tingkah polahnya juga mirip denganmu, meski pun gaya bicaranya lebih ketus darimu,'' jawab Halvir datar dan lugas.
''Dia cantik?!''
Halvir kembali mengangguk menjawab pertanyaan Anindira.
''Apa dia menarik?''
''Ya,'' jawab Halvir tegas dan tenang, ''Tidak banyak wanita yang punya karakter seperti dirinya. Itulah kenapa aku selalu bilang kalau kau mirip dengannya.''
''Kak Halvir menyukainya?''
Matanya melihat Halvir dengan tatapan menyelidik. Suaranya terdengar menekan nada bicaranya saat bertanya tentang hal pribadi. Dia merasa kesal tanpa bisa mendeskripsikannya. Dia merasa ada yang mengganjal hingga membuatnya merasa sebak di dada.
''Ya,'' jawab Halvir tetap dengan wajah datarnya yang angkuh.
Anindira bertanya dengan sikap serius dan Halvir bisa merasakan itu. tapi Halvir mengacuhkannya karena berpikir itu hanya rasa penasaran Anindira.
Mata Anindira terbelalak merespon ucapan Halvir. Darah seolah naik hingga ke otaknya menahan emopsi yang tiba-tiba membuncah di dada.
Halvir yang sedang menggendong Anindira tentu langsung merespon. Perubahan suhu tubuh Anindira yang pertama di rasakannya. Di susul bunyi degup jantung Anindira yang semakin cepat.
Perubahan cepat dengan aura tidak biasa yang ditunjukkan Anindira membuat Halvir mengurungkan niatnya untuk bersikap acuh.
''Ada apa?'' tanya Halvir berbarengan dengan langkah kakinya yang terhenti.
''Apa?!'' sahut Anindira datar berusaha menyembunyikan perasaan kesalnya.
''Emosimu berubah...''
''Dari mana Kak Halvir tahu?!''
''Tentu aku tahu kalau itu tentang dirimu!''
Halvir yang mendongak memandang Anindira dengan tatapan menyelidik . Lalu Anindira yang menunduk menatap Halvir dengan wajah bersungut. Keduanya berdiam diri berkutat dengan prasangka masing-masing.
''Jangan memberiku harapan kosong, ku mohon...''
''Apanya yang harapan kosong?!'' seru Halvir dengan nada tinggi karena merasa tersinggung, ''Apa maksudmu?''
''Kalau kau sudah menyukai orang lain maka fokuslah padanya!'' seru Anindira memekik pada Halvir. Tapi di dalam hatinya dia berkata yang lain, ''Dira, kenapa kau seperti ini?! Ada apa denganmu, kenapa kau harus marah padanya?!'' otak dan hatinya kembali tak sejalan, ''Jangan menyibukkan dirimu dengan memberikan perhatian lebih padaku!'' seru Anindira terus mengeluh dengan meninggikan suaranya. Dia seolah tidak mempedulikan peringatan di otaknya, ''Dira bodoh, apa kesalahannya sampai kau mengeluh padanya?! Kau adalah anak malang yang di pungut olehnya di jalan. Hal yang manusiawi jika dia bersikap baik padamu karena kau terlalu kasihan untuk di biarkan...'' antara yang di gumamkan di dalam hatinya dengan apa yang terucap di mulut Aninidra sama sekali tak sejalan, ''Aku bisa salah paham kalau begitu!''
Sejak tadi pagi sudah banyak yang terjadi. Belum lama sejak Anindira tenang dan menerima keputusan Halvir untuk pergi sekarang Anindira kembali lagi dengan sikap tantrumnya. Banyak pertimbangan yang mengganggu Halvir hingga hingga membuatnya termangu melihat betapa emosional Anindira.
''Apa kau sedang marah?'' Halvir balik bertanya dengan tidak mengalihkan pandangannya dari Anindira.
''Kapan aku marah?''
Anindira menjawab Halvir sambil terus menantang tatapan Halvir.
Anindira sangat ingin menyangkal apa yang dikatakan Halvir, tapi detak jantungnya tidak bisa berbohong, jangankan Halvir, bahkan Anindira sendiri pun nyaris mendengarnya.
''Sekarang!'' seru Halvir tegas, ''Saat ini kau sedang marah!'' seru Halvir lagi, dia mengulanginya dengan lantang.
''Tidak,'' segera Anindira menjawab Halvir dengan wajah menantang, ''Di bagian mananya aku marah?... Apa ada yang harus kumarahi?!''
''Aku tidak tahu,'' jawab Halvir tegas, ''Tapi, aku tahu kau sedang marah sekarang.''
''Kenapa Kak Halvir harus peduli dengan itu?!''
''Tentu saja aku harus!''
''Itu tidak perlu. Sebaiknya Ka Halvir pikirkan saja Zia. Kasihan Zia jika Kak Halvir bersikap seperi ini...''
''Apa kaitannya Zia dengan ini?!'' sahut Halvir dengan suara meninggi tapi dia tiba-tiba terdiam seolah mengesan sesuatu secara tiba-tiba.
''Dira, kau marah sekarang...''
Halvir dengan sengaja memancing Anindira. Dia ingin menegaskan sesuatu yang telah di tebak olehnya.
''Aku tidak marah!'' sahut Anindira dengan nada kesal.
''Iya!'' seru Halvir mengangguk, ''Kau marah... Sekarang!... Di sini!... Baru saja... Bahkan jantungmu berisik sekali,'' lanjut Halvir menjawab dengan tegas.
Anindira refleks membekap dadanya dengan kedua tangannya saat mendengar ucapan Halvir. Seketika itu juga dia sadar, bahwa sejak tadi pikiran dan ucapannya kacau.
''Aku mengacau... Dira bodoh, bagaimana mungkin dia tidak mengetahuinya... ini semua adakah karena aku bersikap munafik!'' keluh Anindira di dalam hatinya karena dia juga baru saja menyadari sesuatu yang telah mengganggunya sejak tadi, ''Tidak salah lagi... bukan hanya Kak Halvir... tapi Zia. Apa kesalahannya sampai aku harus membawa-bawa dirinya... Kau munafik Dira!''
Wajah Anindira tidak lagi bisa menyembunyikan perasaannya, tapi kali ini yang terlihat bukanlah cemburunya, tapi perasaan malunya.
''Anu... Maaf, aku tidak marah... Itu, anu...''
Anindira gelagapan, bingung dengan apa yang mau dijelaskan, kalau dia sendiri juga tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Hatinya terasa berat, seperti ada batu besar menghalangi pintu, tapi otaknya merasa sangat bingung.
''Kau marah semenjak membahas Zia,'' sahut Halvir mengagetkan Anindira yang sedang mencari jalan untuk kabur dari masalah ini.
Dia kembali mempertegas persoalan tadi pada Anindira, dengan terus menatap Anindira mencari jawaban dari sorot matanya.
''Iya, aku tahu!''
Anindira keceplosan menjawab karena sibuk memikirkan rasa kesalnya pada dirinya sendiri tapi dia juga kesal kenapa harus ada orang ketiga di antara dirinya dan Halvir.
''Apakah Zia jadi ancaman untukmu?!''
''Kenapa dia jadi ancaman?! Aku tidak mengenalnya...''
''Justru karena kau tidak mengenalnya... sudah berapa kali kau terus salah paham mengenai diriku?!''
Halvir menegaskan kembali apa yang dipikirkan olehnya, juga oleh Anindira. Dia telah mendapatkan jawaban pasti setelah mengkonfirmasi reaksi Anindira.