Malv merupakan sebuah kota yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Magapath, yang merupakan satu dari empat kerajaan besar yang terdapat di Benua Wettan.
Pengaruh dari Kerajaan Magapath sangat besar pada sistem pemerintahan yang diberlakukan di Malv, bahkan beberapa hukum-hukum yang dipakai di Malv adalah hasil keputusan dari pihak kerajaan. Salah satunya adalah terkait hukum penentuan seseorang yang akan menjadi pemimpin bagi Kota Malv.
Kerajaan Magapath memang selalu memberlakukan peraturan kepada kota-kota yang berada dalam kekuasaannya untuk patuh dalam hal penentuan pemimpin yang akan berkuasa di kota terkait.
Terlebih lagi, mereka yang akan dijadikan pemimpin dari kota yang berada pada wilayah kekuasaan Kerajaan Magapath haruslah merupakan seorang bangsawan dari Kerajaan Magapath itu sendiri.
Dengan kata lain, tidak boleh bagi sebuah kota yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Magapath untuk memiliki pemimpin yang berasal dari daerah kota itu sendiri.
Pihak Kerajaan Magapath menerapkan sistem pemerintahan semacam itu guna memuluskan upaya kontrol mutlak pada tiap kota-kota bagian yang berada dalam wilayah kekuasaannya dan menjaga semuanya tetap patuh sehingga semakin memperkecil potensi adanya sebuah pemberontakan dari wilayah yang dikuasai.
Pemimpin dari kota yang menjadi bagian dari Kerajaan Magapath memiliki gelar 'Advati' yang tak lain dan tak bukan merupakan sebuah gelar pemberian dari pihak Kerajaan Magapath.
Saat ini, pemimpin dari Kota Malv adalah Advati Lucard Morgia Path IV yang merupakan keturunan generasi ke-empat dari Vergaz Morgia Path yang dahulu kala merupakan seorang bangsawan Kerajaan Magapath yang mendapat kepercayaan dari pihak kerajaan untuk memimpin kota Malv dan menjadi orang pertama yang menyandang gelar 'Advati'.
Kekuasaan dari keluarga bangsawan Morgia Path telah terlanggengkan setidaknya selama empat generasi. Sayangnya, tanggung jawab besar yang diemban sebagai seorang pemimpin kota tak benar-benar dilaksanakan dengan baik nan bijaksana oleh Lucard Morgia Path IV yang saat ini memiliki kekuasaan atas Malv dan terkenal dikalangan masyarakat sebagai seorang 'Advati' yang paling kejam.
Tak seperti leluhurnya yang menjadi seorang tokoh pembangun kota ini menuju peradaban, Lucard seakan-akan sedang meruntuhkan satu persatu bangunan peradaban yang telah susah payah leluhurnya susun bertahun-tahun silam.
Kesejahteraan rakyat yang jomplang, monopoli ekonomi yang terlihat begitu jelas. Elit bangsawan yang selamanya berada diatas langit, dan masyarakat kecil selamanya merasakan kehidupan yang berat dan sulit.
Di kota Malv, perbedaan keadaan sosial masyarakat yang tajam sangat terasa. Labirin perkotaan yang membentang luas begitu mencerminkan kesenjangan ekonomi dan juga strata sosial yang mencolok.
Bagi para bangsawan yang hidup dalam kawasan mewah di kota ini, hidup adalah pesta kemewahan dan berlebihan. Istana-istana megah yang dihiasi dengan sutra terbaik dan permata tak ternilai berdiri sebagai benteng kekuasaan dan hak istimewa.
Koridor-koridor ini bergemuruh oleh kemewahan, di mana nampak para bangsawan menikmati nafsu-nafsu mereka yang tak pernah terpuaskan dan semakin bertumbuh setiap harinya.
Dalam kontras yang mencolok, rakyat jelata yang menjadi tulang punggung Malv, bekerja keras di bawah bayang-bayang kemegahan kaum golongan atas. Hidup mereka terjalin dalam ruang kumuh distrik bawah yang penuh sesak.
Lorong-lorong sempit berliku-liku seperti ular di antara rumah-rumah yang bobrok, mendesis tak henti seakan sedang memburu mangsa, dan aroma kemiskinan yang menusuk meresap ke dalam setiap batu paving dalam dinding-dinding nestapa disekitaran distrik rakyat jelata.
Tebalnya jurang yang mencolok ini bagaikan untaian urat nadi yang dimiliki kota Malv, berdenyut dengan ketegangan, ketidakpuasan, serta gelora masyarakat akan aspirasi perubahan.
Di sinilah, di tengah kemegahan para bangsawan bersanding keputusasaan rakyat jelata yang menjadikan Kota Malv sebagai 'Kota Penuh Jurang'.
*****
(Di ujung lorong dekat sebuah pasar utama Kota Malv - Malam hari)
Lorong-lorong gelap Malv yang menyerupai sebuah labirin adalah tempat Bony dan Fiona berlindung. Kini, keduanya harus memberanikan diri untuk keluar dari persembunyian mereka dan berupaya keras untuk mencari sesuatu untuk mereka makan.
"Fiona, ini adalah ujung dari lorong ini."
"Iya." singkat gadis itu menjawab.
"Tenang saja, kita pernah melakukannya, kau masih ingatkan caranya?" Bony melempar pertanyaan kepada gadis kecil dibelakangnya.
"I-- iya Bony ... tapi, aku takut." Gadis itu gemetar.
"Ini akan berakhir cepat Fiona, percaya padaku, seperti dulu ... kau akan datang kepada penjual dan berpura-pura mengemis meminta dikasihani, aku akan menyelinap dari belakang menghindari pengawasanya dan mengambil dagangannya untuk kita makan ... Fiona, lihatlah itu target kita! ... kau lihat penjual roti di ujung setapak ini nampaknya sedang ramai pembeli, itu kesempatan kita!" Bony nampak yakin dengan rencana yang dihasilkan perut kosongnya itu.
"Tapi Bony, bagaimana kalau orang lain menyadari tindakan kita dan menangkap kita? ... aku tidak ingin dikurung lagi seperti dulu." Gadis itu nampak sedikit merengek dan memunculkan ekspresi ketakutan.
"Tidak ada waktu untuk merasa takut Fiona, kau segeralah kesana, dan lakukan sesuai rencana kita tadi." Bony menegaskan tekadnya sembari mengarahkan gadis itu agar berjalan maju.
Perlahan Fiona keluar dari gang gelap itu dan berjalan menuju penjual roti yang berada di ujung jalan setapak di pasar utama Malv. Sementara itu, Bony mulai menyelinap di kerumunan orang yang sedang berjalan bergerombol dan menuju arah yang sama, penjual roti.
Fiona sampai di tempat penjual roti itu terlebih dahulu dan memulai rencana yang telah Bony sampaikan sebelumnya.
"Anu ... Tuan Penjual roti, tolong kasihanilah saya, saya adalah anak sebatang kara yang telah kehilangan orang tua saya, saya belum makan sama sekali untuk hari ini ... mohon sedianya tuan memberikan sepotong roti untuk saya?" Gadis itu memelas kepada penjual roti yang menjadi target rencananya.
"Apa kau berpikir aku akan memberikannya nona kecil?" Balas pedagang itu pada gadis kecil yang memelas padanya.
****************
"Bagus Fiona, aku akan mulai!" Bony nampak berambisi.
Bony yang melihat temannya berhasil mengalihkan perhatian dari penjual roti itu segera keluar dari gerombolan tempatnya menyelinap sebelumnya dan mulai merunduk bersembunyi di antara beberapa orang yang berada di depan gerai penjual roti itu.
Dalam keadaan itu, pandangan Bony tidak lagi dapat menemukan Fiona karena terhalang kerumunan orang di antara mereka. Dia hanya memfokuskan pandangannya pada wajah penjual roti dan menunggu saat yang tepat untuk merenggut roti incarannya dari tempat roti itu diletakan.
****************
Fiona kembali melanjutkan sandiwaranya dan masih terus berusaha mengalihkan perhatian dari penjual roti tersebut.
"Anu ... Tuan Penjual roti ... jika aku telah mempunyai uang, aku pasti akan menggantinya, jadi aku mohon untuk sekarang tidak apa jika ini dianggap berhutang." Perasaan takut dan juga sedih memancar dari kedua bola mata gadis kecil itu.
Tanpa diduga,
"Baiklah, ini untukmu." Penjual roti itu dengan senyum yang begitu menenangkan menjawab gadis itu dan segera menyiapkan sepotong roti untuk diberikan pada gadis kecil dihadapannya.
"Hah? ... apa benar aku boleh mendapatkan roti itu, Tuan?" ucap gadis itu seakan tak percaya.
"Tentu saja, hari ini lumayan banyak orang yang datang membeli rotiku jadi tak masalah menyisihkan sepotong untuk gadis manis sepertimu, haha." Penjual roti itu dengan hangatnya mengelus kepala gadis kecil yang ada dihadapannya sembari memberikan sepotong roti.
Sekilas dalam pandangan gadis itu, nampak sebuah tangan kecil yang sedang mencoba meraih satu roti dari tempat penyimpanan roti milik pedagang itu.
Pada saat itu, Fiona menyadari bahwa itu adalah Bony yang berusaha mengambil roti seperti rencana mereka pada awalnya.
Bony yang tak lagi menaruh pandangannya kepada sang penjual roti, saat ini sedang berupaya untuk mensukseskan rencananya. Raut wajah bocah laki-laki itu perlahan terhiasi senyuman puas saat tangannya berhasil meraih sepotong roti dari tempat penyimpanan roti milik penjual roti tersebut.
"Tidak Bony, jangan teruskan ... aku sudah dapat rotinya." Fiona yang tak mampu memperingatkan Bony hanya bisa berteriak didalam benaknya sendiri.
Sementara itu, Bony dengan cepat menarik tangannya kembali dari wadah roti dan berusaha memasukan roti curiannya itu ke dalam kaos dekil yang sedang dia kenakan saat ini.
"Ada apa Nona Kecil?, bukankah aku telah memberikan roti ini untukmu?" Penjual itu bertanya setelah melihat gadis kecil itu menampakkan sorot mata yang begitu ketakutan.
Lantas, penjual itu memalingkan pandangannya mengikuti pandangan si gadis yang nampak terpaku memandang ujung gerai tokonya.
"PENCURI!!!"