Segera kuangkat ponselku untuk melakukan panggilan internasional.
"Ya, halo?" kata suara di ujung sana.
"Mark? Ini Ferre,"
"Ferre! Lama tidak berjumpa, apa kabar?"
"Pernah lebih baik,"
"Hei, ada apa?"
"Boleh aku minta bantuanmu?"
"Tentu saja, kawan. Kapanpun,"
"Kau punya kenalan detektif swasta?"
"Detektif swasta? Hmmm, biar kuingat, rasanya ada beberapa,"
"Kalau boleh, aku minta tolong carikan yang terbaik di Amerika. Berapa pun harganya,"
"Hei, nampaknya ini sangat serius,"
"Aku tak bisa menceritakannya sekarang, tapi aku benar-benar minta bantuanmu kali ini,"
"Baiklah, tunggu kabarku ya,"
"Terima kasih, Mark. Kau yang terbaik,"
Tiga pekan kemudian, detektif rekomendasi dari Mark tiba di Indonesia. Mike Brunetz namanya. Menurut Mark, dialah detektif terbaik di Amerika. Aku hanya bisa mempercayainya. Selama enam tahun tinggal di sana, aku tidak pernah berurusan dengan hal semacam ini. Duniaku jauh dari urusan kriminal.
Kuperlihatkan dua surat gelap tersebut. Brunetz menanyaiku beberapa hal prinsip, seperti dugaan siapa yang kira-kira mengirimnya. Atau apakah aku punya musuh.
Tentu aku punya beberapa musuh, tapi mereka bukan ancaman. Hanya sejumlah orang yang iri dengan keberhasilanku. Tapi mereka bukan masuk dalam radarku. Tidak mungkin kukatakan pada Brunetz bahwa aku adalah seorang replayer.
Tapi bagaimanapun, penerorku pasti seorang replayer. Hal itu tidak aku ragukan lagi.
Jadi kuserahkan semua pada Brunetz. Yang kuminta hanya agar dia menemukan siapa pelakunya. Kuberi bayangan bahwa aku hanya pernah tinggal di Seattle dan Bandung, jadi lebih baik ia fokus mencari di sana. Lebih luas lagi, pelakunya mungkin berada di antara Indonesia dan Amerika.
Itu adalah kali terakhir aku bertemu dengan Brunetz.
Sebulan berlalu setelah kutugaskan, ia tidak pernah memberi kabar. Kuhubungi ponselnya, tidak ada yang mengangkat. Kutelusuri melalui internet mengenai tempat tinggalnya, kutelpon rumah di sekitarnya. Mereka mengatakan bahwa Brunetz sudah lama tidak pulang.
Segera kucari informasi dari Mark.
Kudapati kabar tentangnya usai suatu kelas mata kuliah umum jurusanku. Dan informasi yang kutemukan kembali membuatku bergidik. Untuk kesekian kalinya, darahku serasa berhenti mengalir.
Mark ditemukan tewas bunuh diri.
Aku termenung dalam diam.
Apa yang telah kulakukan?
Telah kulibatkan orang-orang yang tak bersalah. Aku cukup mengenal Mark, kurang lebih enam tahun. Sehingga cukup keyakinan dalam diriku bahwa dia tidak mungkin bunuh diri. Setidaknya sejauh dirinya yang kukenal.
Tidak, Mark tidak bunuh diri. Aku yakin.
Aku telah membunuh Mark, dan mungkin juga Brunetz.
Siapa kau?
Siapa?
Kenapa kau menganggu hidupku?
"Siapa yang mengganggu hidupmu Ferre?" sebuah suara, setengah berbisik, membuatku hampir terlonjak.
"Kayla???"
"Kamu kok ketemu saya kayak lihat hantu?"
Siapa dia sebenarnya?
Aku sama sekali tidak merasakan kehadirannya. Tahu-tahu ia sudah berada di sampingku. Begitu juga saat di kantin tempo hari. Dia bukan orang biasa.
"Ferre? Halooo..." Kayla melambai-lambaikan tangannya di depanku.
"Kamu ngapain di sini?" tanyaku.
Kayla menjawab pertanyaanku dengan cara mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan mengangkat bahunya.
"Lagi jalan-jalan aja, emangnya aneh kalo aku ada di gedung jurusan kita?" timpalnya.
"Ya nggak juga."
"Kamu tadi kayak ngomong sendiri, kamu bilang ada yang mengganggumu."
Benarkah aku bicara sendiri?
Aku tidak yakin, rasanya tadi aku bicara dalam hati.
"Ah, nggak."
Kayla menarik napas panjang.
"Kamu tahu, Ferre? Berkali-kali aku lihat kamu, kamu kayak orang yang sedang cemas. Seolah kamu jadi nggak yakin akan langkahmu. Atau malah kamu merasa...eksistensimu terancam." Katanya.
Tenggorokanku tercekat.
"Tapi ya aku mau kasih tahu sesuatu saja. Kamu bukan satu-satunya."
Kayla berlalu sebelum sempat kujawab perkataannya.
Bukan satu-satunya, apa?
Berani taruhan semua kekayaanku, Kayla mengucapkannya dengan arti lain.