Chereads / The Time Replayers / Chapter 57 - 57

Chapter 57 - 57

Pesawat Starla telah tiba, aku menjemputnya, lalu membawakan bagasinya, setelah sebelumnya memeluknya erat-erat.

Kugenggam tangannya sambil kami berjalan, jauh lebih erat daripada biasanya.

Ia adalah hartaku yang paling berharga.

Lalu di sanalah kulihat sosok itu. Di tengah keramaian bandara, ia berdiri, menatapku.

Sosoknya seperti tidak terpengaruh oleh orang lain yang berlalu-lalang di sekitarnya. Semula otakku masih berusaha memproses tentang sosok ini.

Lama kelamaan aku mulai menyadarinya.

Rambut dan janggutnya yang putih sangat kuingat.

Ia adalah bapak tua yang membelaku saat aku disidang karena menghajar Dimas. Dan dia tidak tampak berubah sama sekali, bahkan pakaian yang dikenakannya pun masih pakaian yang kulihat puluhan tahun silam.

Yaitu saat ia muncul di depan kelas.

Kurasa ia tersenyum ke arahku.

Kupercepat langkahku untuk menghampirinya. Aku yakin ia bukan orang biasa. Bahkan aku punya firasat bahwa ia memiliki jawaban atas banyak pertanyaan yang berputar di benakku. Tentang diriku, tentang apa yang terjadi padaku, tentang mengapa aku bisa mengulang kehidupanku kembali. Juga tentang orang-orang yang kusebut "Replayer".

Ia masih berdiri di sana. Semakin dekat dengan kami. Aku mempercepat langkahku.

"Re, kenapa kok buru-buru?"

Aku menoleh ke arahnya. Bahkan aku sampai lupa bahwa aku sedang menggandeng Starla.

Begitu kualihkan kembali pandanganku ke depan, Bapak Tua telah hilang.

Kupandangi sekeliling, dia tidak ada di mana-mana. Padahal aku hanya menoleh selama sekitar satu detik.

"Re, nyari siapa?" tanya Starla.

"Nggak, bukan siapa-siapa. Kayaknya aku tadi liat orang yang kukenal."

"Oh, mana dia?"

"Hmm, kayaknya aku cuma salah lihat."

Kami pun melanjutkan perjalanan, kembali ke griya tawang kami, berendam di bathtub, lalu menghabiskan sore hari dengan bercengkerama di balkon.

Pemandangan kota yang diguyur hujan menjadi favorit kami kembali tersaji sore ini.

Starla kembali merapatkan tubuhnya kepadaku, menceritakan mimpi-mimpinya yang seperti biasa, selalu bertambah di setiap kali kami membahasnya.

Aku mendengarkan semua yang diucapkannya sambil sesekali pikiranku teringat pada si bapak tua.

Juga pada Rita.

Rita, tidak bisa kupungkiri, ternyata sangat berarti bagiku. Tapi sangat jauh bila dibandingkan dengan Starla. Kulupakan niatku menelepon Rita untuk mencoba meminta maaf sekali lagi. Selain sia-sia, aku juga kembali ingat bahwa aku tidak punya nomor teleponnya.

Nomor itu hanya kumiliki di buku tahunan SMA 6, yang pastinya tidak pernah kumiliki.

Buku itu juga mungkin tidak pernah ada di dunia, karena akulah yang memiliki ide untuk menerbitkan buku tahunan untuk kenang-kenangan angkatanku di SMA 6, di siklus kehidupanku yang dulu.

Aku telah memilih masa kini, di sini, bersama kebahagiaanku dengan Starla.

Tahun-tahun pun berlalu. Starla telah menjadi seorang direktur. Beberapa kali aku pergi ke Eropa dan Amerika tanpanya, hanya untuk merasakan betapa perihnya kehidupan ini tanpa kehadiran Starla.

Selebihnya ia mengambil cuti panjang di setiap pertengahan dan akhir tahun untuk menghabiskannya dengan berkeliling dunia bersamaku.

Aku tak ingin kehilangan dirinya. Terlebih mendapati kenyataan bahwa tahun demi tahun telah berganti, hingga kini tahunku telah tiba. Tahun ketika siklus kehidupan pertamaku berakhir.

"Star!"

"Ya, sayang?"

"Apakah menurutmu kita harus beli sebuah klub sepakbola?"

"Emang kamu mau beli apa?"

"Madrid, atau Manchester United?"

"Dua-duanya aja sekalian,"

"Nggak bisa, aturan UEFA nggak bolehin,"

"Satu atas namamu, satu atas namaku,"

"Kok aku nggak kepikir ya?"

Kami tertawa terbahak-bahak. Rencana itu tidak jadi kami laksanakan setelah kupikir mengurus klub hanya akan menyita waktuku. Aku ingin menikmati hidup, tidak lebih.

Membawa Starla menikmati indahnya bunga Tulip di Amsterdam.

Kujauhi minuman keras, sama sekali. Memang pada kenyataannya aku hanya pernah satu kali menyentuh vodka, di akhir kehidupanku yang dulu. Kini aku telah lama bersumpah, apa pun yang kualami, satu kali pun aku tidak akan pernah menyentuhnya.

Kudatangi dokter spesialis untuk memastikan tidak ada penyakit apa pun di tubuhku. Kuminta dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh, demi mendeteksi apa pun yang bisa membuatku mati mendadak.

"Kondisi Anda perfectly health," katanya.

"Anda serius, kan, dokter? Tidak hanya ingin menyenangkan saya?"

"Dengan segala yang bisa saya lakukan, asalkan Anda terus rajin berolahraga dan menjaga pola makan, Anda bisa hidup sampai seratus tahun,"

"Itu benar-benar harapan saya, Dok,"

"Tentu saja, saya mengharapkan semua pasien saya panjang umur,"

Demikian juga denganku. Kini aku memang berharap diriku akan baik-baik saja.

Bulan demi bulan terasa cepat berlalu.

Sempat terbersit di benakku untuk meminta Starla berhenti bekerja. Aku ingin menghabiskan seluruh tahun ini bersamanya. Setiap kali ia harus pergi bertugas, kurasakan sakit yang begitu perih. Aku takut kehilangan dia. Tapi waktu terus saja berlalu. Dan salah satu hal yang menarik dari dirinya adalah prestasi dan karakternya.

Apa jadinya jika ia berhenti bekerja?

Apakah ia masih memiliki semua itu?

Maka di malam yang merupakan malam terakhir di bulan November ini, aku mengajaknya pergi makan malam di Burj Khalifa. Kupandangi dirinya sepuasnya. Kugenggam tangannya dengan genggaman yang paling erat.

"Sayang... kamu kenapa?" tanyanya.

Aku menunduk, menahan air mata. Setelah cukup kuat, kuangkat kepalaku.

"Ada apa, Re? Apa yang mau kamu bilang?" lanjutnya.

"Sayang..." aku terdiam sejenak. "Berjanjilah, apa pun yang terjadi malam ini, kamu akan selalu mengingatku,"

Starla memandangiku.

"Jadi... ini saatnya?" jawabnya.

"Maksudmu?"

"Semua misteri tentangmu, semua akan terjawab malam ini?"

"Kamu masih memikirkannya?"

"Hampir nggak pernah. Tapi bohong kalau kubilang aku nggak penasaran,"

Aku menghela napas panjang.

"Jadi...benar begitu, Re?"

Aku mengangguk.

Seorang pramusaji mengantarkan makanan penutup. Kuambil kesempatan itu untuk menghela napas sejenak. Aku perlu waktu, waktu untuk menerima semuanya. Waktu untuk menanggung semua kepedihan.

"Baiklah, kita akan lihat," akhirnya Starla berkata usai pramusaji pergi.

"Gimana? Kamu mau berjanji?"

"Ya, aku berjanji akan selalu menyayangimu," ia tersenyum.

Aku membalas senyumnya.

Malam itu ia tidur dalam sedekapku.

Kudekap ia lebih erat, jika bisa aku tak ingin tidur malam ini.

Kupaksakan mataku untuk terus terbuka. Jam demi jam berlalu, tengah malam telah terlewati, aku sama sekali tidak ingin tidur. Pemandangan kota Dubai malam ini sungguh indah. Tapi sama sekali tidak seindah Starla.

Aku kembali mendekapnya, tanpa sadar mataku menjadi berat.

Semakin berat.

Tidak...

Aku tidak ingin tidur...

Tidak...

Entah berapa lama aku seperti itu, aku hanya tahu sebuah bunyi-bunyian menyentakku.