Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Makanan di meja sudah disiapkan. Kakekpun sudah selesai mencuci semua buah yang didapatnya dan meletakkannya di meja.
Bunda Azka naik lagi ke lantai atas untuk memanggil anaknya untuk makan bersama. Terlihat Yasna sedang memainkan benda pipih yang ada di tangannya.
Klak Klak Klak
Suara langkah kaki Sang Bunda yang berjalan mendekati anaknya. Yasna pun menoleh pada suara langkah kaki tersebut.
"Ada peningkatan sekarang ya?" Tanya Bunda Azka.
Yasna hanya mengerutkan kening. Tatapan matanya pada Sang Bunda seolah mencari jawaban atas apa yang diucapkannya baru saja.
"Dahulu kau selalu paling cepat untuk sampai di meja makan, sekarang sudah pukul berapa juga belum aja nongol." Ucap Sang Bunda.
(kalau "Dahulu kau mencintai ku, dahulu kau menginginkan ku." Kira-kira lagunya siapa yah?).
"Oh .... Sekarang aku kan sudah tumbuh menjadi seorang gadis Bun, masak kayak dulu masih kecil yang kemanapun enaknya pergi selalu mengekor dibelakang." Jawab Yasna yang panjang kali lebar.
"Berarti sekarang perut mu sudah kenyang?" Tanya Bunda.
Kruk Kruk Kruk
Yasna melihat perutnya yang baru saja berbunyi. Perut itu tak pernah bisa membohongi dirinya. Apalagi dengan masakan Sang Bunda.
Setiap kali Yasna bertanya tentang ayahnya dahulu Bunda hanya bisa bercerita kalau Sang Ayah memang paling menyukai masakan yang dibuat oleh ibunya itu. Masih kecil tiap kali bertanya tentang Sang Ayah, Bunda bercerita dengan dengan kesedihan yang disimpannya.
Yasna tahu Bunda itu masih sangat mencintai Ayahnya. Setiap kali ditanya tentang ayahnya rasa sedih selalu tergambar dalam wajah Sang Bunda.
Rasa bersalah juga ada karena memisahkan antara Ayah dan anak selalu muncul setiap kali Yasna menanyakan Sang Ayah.
Bunda mengajaknya makan siang bersama. Mereka berdua berjalan menuruni tangga bersama dengan canda tawa yang mereka rindukan.
Keduanya terlihat seperti kakak beradik. Itulah yang ada dalam pikiran Sang Kakek saat melihatnya.
Semua sudah tersaji seperti biasanya. Hanya saja semua makanan itu sudah hampir dingin.
Semua menikmati makanan itu dalam diam. Makanan ala desa ini membuat orang mengeluarkan salivanya ingin memakan hingga keakar-akarnya.
Usai makan mereka berbincang hangat. Bunda ingin tahu kabar sang anak selama merantau mengenyam pendidikan di kota sebelah.
Bunda beranjak dari kursinya membersihkan meja makan. Semua makanan dibawa ke dapur dan semua peralatan makan yang kotor ditaruh di wastafel untuk dicuci.
Yasna pun menyusul Bunda ke dapur membantu semua pekerjaan rumah Sang Bunda agar cepat selesai. Pekerjaan mereka pun akhirnya cepat selesai walaupun diselingi dengan berbincang-bincang dan sesekali tertawa.
Mereka pergi ketaman belakang yang sekarang banyak sekali bunga-bunga bermekaran dan buah yang baru masak. Kolam ikan juga kolam renang juga tak tertinggal yang menambah sejuk lingkungan dikala kondisi baru panas.
Di bawah pohon rindang beralaskan rumput mereka bercengkrama. Mereka mengenang masa lalu meraka berdua.
"Tempat ini gak banyak berubah." Kata Yasna pada Sang Bunda yang menyandarkan badannya pada sebatang pohon besar.
"Yasna." Panggil Sang Bunda saat anak gadisnya merebahkan tubuhnya dipangkuannya sama seperti waktu masih kecil.
"Sekolah mu gimana?" Tanya Bunda.
"Biasa aja?" Jawab Yasna.
"Berarti gak ada kemajuan dong?" Tanya Bunda lagi.
"Tanya yang lainnya aja Bun." Gerutu Yasna
"Ya elah Bun, kayak gak tahu aja aku tu selalu nomor satu." Katanya lagi dengan berbangga diri.
"Kalau gitu gak usah sekolah aja kalau gak ada kemajuannya, lulus langsung rabi. Ok." Kata Bunda. ( rabi itu bahasa jawa ya bahasa Indonesianya menikah).
"Beneran Bun?" Tanya Yasna meyakinkan.
"Ya buat apa kalau sekolah gak ada peningkatannya. Mending nikah ada hal baru yang dipelajari." Jelas Bunda.
Yasna tidak yakin dengan perkataan Sang Bunda barusan. Nikah muda jauh dari pemikirannya selama ini.
Yasna bangkit dari rebahannya. Tidak menyangka Sang Bunda berkata seperti itu.
Yasna menatap mata indah Sang' Bunda ingin minta penjelasan. Selama ini ia selalu menuruti semua kata Bundanya dengan keyakinan itu yang terbaik dan berhasil dengan baik.
Pikirannya kali ini sangat bertolak belakang. Hatinya kini berusaha menerima dengan kata-kata bundanya.
Selama ini memang dengan menuruti semua kata-kata Sang Bunda ia berhasil dengan sangat baik. Kali ini pun ia punya harapan yang sama.
Sedih
Sedih
Sedih
Sangat sedih disimpannya sendiri lagi kali ini. Bunda sebenarnya juga merasakan hal yang sama.
"Aku kali ini juga gak boleh mengecewakan Bunda yang merawat ku dengan menghujani ku kasih sayang." Batinnya
"Berarti Bunda juga sudah punya calon juga untuk ku, kalau tidak mana mungkin dia berbicara seperti itu." Lanjutnya.
Kembali gadis ini merebahkan tubuhnya pada alas rumput dengan kepala yang berbantalkan paha sang Bunda. Nyaman ia rasakan tapi setelah nanti apa ini bisa ia lakukan lagi.