Cinta itu sulit. Sulit untuk membedakan mana yang benar-benar cinta, mana yang hanya sekedar suka, dan mana yang hanya sekedar kagum semata. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang benar-benar mengetahui tentang cinta. Semua yang berkaitan dengan cinta selalu berkembang seiring berjalannya waktu. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Semua tergantung pada diri masing-masing. Ada orang yang menganggap serius perasaan yang dia rasakan. Namun ada juga yang menyepelekan perasaan itu. Bahkan, terkesan bermain-main dengan hal itu. Mungkin ini terasa tidak adil bagi orang-orang yang serius tentang masalah cinta. Dimana seseorang yang benar-benar serius akan cintanya rela berkorban demi orang yang dia cintai, walaupun harus tersakiti setelahnya. Salah satu contohnya, Aku.
Aku dan temanku yang bernama Leo sudah berteman sejak masih kecil. Rumahnya yang tepat bersampingan denganku membuat kami sering bermain bersama. Bahkan ada waktu dimana kami tidak ingin berpisah karena masih ingin bermain bersama. Keluarga kami pun cukup dekat. Aku bahkan sering berkunjung ke rumahnya untuk makan malam.
Aku menarik ujung bibirku membentuk sebuah senyuman ketika mengingat hal itu lagi. Kenangan-kenangan itu adalah kenangan paling indah yang pernah kami lalui bersama. Jantungku mulai berdetak lebih cepat ketika aku mengingat senyuman manisnya yang pernah dia layangkan untukku. Aku sungguh menyukai senyumnya itu. Ketika dia tersenyum, terbentuklah lekukan yang dalam di kedua pipinya. Membuat wajahnya semakin menarik untuk dilihat.
Tak hanya itu, sikapnya yang baik, suaranya yang halus ketika berbicara, dan tatapan matanya yang lembut sukses membuatku menyukainya selama 13 tahun lamanya. Ya, kalian tidak salah dengar. Aku sudah mulai menyukainya saat usiaku masih 8 tahun. Namun, aku tidak pernah menyatakan perasaanku padanya. Aku terlalu takut. Aku takut dia akan menjauh. Aku takut hubungan kami akan menjadi canggung nantinya.
Selama 13 tahun, aku mengetahui semua kisah cintanya. Mulai dari pacar pertamanya saat SMP, hingga sekarang. Hatiku benar-benar sakit ketika Leo bilang bahwa dia sudah punya pacar untuk pertama kalinya. Aku menangis semalaman karena patah hati. Aku mencoba berbagai cara untuk melupakannya, bahkan aku sempat menjauhinya hanya agar perasaan suka padanya itu hilang. Tapi semua usaha itu sia-sia, sampai saat ini pun aku masih menyukainya.
Kualihkan pandanganku melihat sepasang kekasih yang berbincang-bincang sembari memautkan jari jemari mereka dengan mesra. Aku tersenyum masam melihatnya, menyadari bahwa hanya aku yang duduk sendirian di tengah taman. Sejauh mata memandang, hanya ada sepasang kekasih yang bermesraan. Bahkan burung-burung pun terbang beriringan. Aku menghela nafasku panjang dan melamun menatap ke kejauhan.
Tiba-tiba aku merasakan sebuah benda dingin menyentuh pipiku. Sontak kualihkan pandanganku dan menemukan seorang pria tampan dengan lesung pipi tengah berdiri disana. Pria itu menyodorkan sekaleng minuman dari 2 kaleng yang dia bawa kepadaku. Aku menyambutnya dengan senyuman dan pria itu mempatkan dirinya di sebelahku.
"Ngapain ngelamun?" ucapnya santai. Dia membuka kaleng minuman di tangannya dan menenggak minuman itu hingga terdengar suara tegukan yang cukup nyaring. Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku hanya terdiam sembari mencoba membuka kaleng minuman yang dia berikan padaku. Aku cukup kesulitan untuk membukanya karena kukuku baru saja dipotong.
Tanpa aba-aba, pria itu mengambil kaleng minuman dari tanganku dan membukakannya untukku. Aku kembali tersenyum menanggapinya. Dengan senang hati aku menerima kaleng minuman yang sudah terbuka.
"Untung ada aku yang jadi temanmu. Kamu pasti bakal kesusahan kalau aku nggak ada disampingmu nanti," ucapnya sembari terkekeh pelan. Aku ikut tertawa pelan mendengar pernyataan yang keluar dari mulut pria itu. Apa aku hanya sebatas teman bagimu, Leo? Pikirku.
Suara siulan merdu dari burung yang bertengger di dahan pohon bersautan dengan suara tegukan dari minuman bersoda. Suasana diantara kami entah kenapa menjadi dingin. Tidak ada yang memulai percakapan dan aku tidak ingin menanggapi pernyataan dia sebelumnya. Untuk kesekian kalinya aku merasakan sakit dihatiku karena ucapannya.
Kembali ku edarkan pandanganku ke sekitar taman. Semua orang disana terlihat tersenyum bahagia. Entah cerita apa yang ada dibalik senyuman itu. Namun, apapun itu aku harap mereka benar-benar bahagia. Bukan seperti diriku yang menyembunyikan kesedihan dibalik senyuman palsu.
"Leo." Aku memanggilnya, namun dia juga memanggil namaku diwaktu yang bersamaan. Aku mengalah dan memberinya kesempatan untuk berbicara terlebih dahulu.
"Aku resmi pacaran sama Rin," ucapnya dengan senyuman. Aku terdiam sejenak. Lima menit yang lalu aku berniat untuk menyatakan perasaanku padanya. Namun dia membuatku menelan bulat-bulat niatanku itu, dan bahkan menghancurkannya. Aku menundukkan kepalaku dalam diam. Mataku mulai perih dan pandanganku mulai kabur karena air mata. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menangis dihadapannya dan memberinya ucapan selamat.
"Makasih, tadi kamu mau bilang apa?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala dan beralasan kalau aku lupa karena ikut bahagia untuknya. Dia tertawa lepas dan mengataiku pikun sembari mengacak-acak rambutku pelan. Tanpa sadar, air mata mengalir dari ujung mataku. Aku berbohong dengan mengatakan ada sesuatu yang masuk ke mataku.
"Mana? Sini liat. Biar aku tiupin." Aku menggelengkan kepala dan berdiri dari dudukku sembari mengucek mata agar dia percaya dengan kebohonganku.
"Aku kayaknya pulang duluan aja deh, mataku perih banget soalnya." Aku berlari meninggalkan dirinya yang tampak khawatir. Aku mendengar dia memanggil namaku dan menawarkan diri untuk mengantarku.
"Nggak usah, aku bisa sendiri," teriakku. Air mata mengalir dengan derasnya hingga membasahi kedua pipiku. Orang-orang yang kulewati menatapku aneh, seakan bertanya kenapa aku menangis di tengah jalan. Aku melangkahkan kakiku dengan lemas menuju rumahku yang jaraknya tak jauh dari taman tadi. Suara isakan tangisku terdengar kencang. Namun, aku tidak peduli. Aku sudah lelah mencoba berpura-pura bahagia di hadapannya. Aku lelah mendengarnya menyombongkan diri karena dapat pacar baru, sedangkan diriku disini rela menolak semua pria yang menyatakan cintanya padaku hanya karena perasaanku padanya.
"Kenapa nangis lagi lu?" sebuah suara menyadarkanku. Aku mendongakkan kepalaku dan mendapati seorang pria dengan pakaian rapi dan kacamata tebal tengah berdiri di depan rumahku. Tangisku makin kencang setelah tahu orang yang dihadapanku adalah sahabatku, Miko. Aku berlari kencang ke arahnya dan memeluknya. Miko menenangkanku dengan mengusap kepalaku pelan. Dia mengajakku masuk rumah dan menceritakan semuanya.
"Sudah dibilangin lupain aja si brengsek itu, masih aja. Lu itu mahasiswa paling pintar di fakultas hukum. Masa masalah beginian aja bego? Heh! Bangun!!! Pria di dunia ini bukan cuma dia." Amarah Miko memuncak setelah aku menceritakan semuanya. Aku hanya bisa menunduk tak berani menyela perkataannya. Miko memang selalu mengatakan hal itu beberapa tahun ini. Mungkin karena dia sudah bosan melihatku menangisi orang yang sama dan dengan situasi yang sama.
"Dengar ya, La. Bukannya gue mau sok ceramahi lu, tapi disini lu itu udah ditahap dimana cinta itu bikin mata lu buta," lanjutnya.
"Apa salahnya sih nyerah sama perasaan lu? Udah 13 tahun loh, tapi nggak ada balasannya kan?" aku terdiam. Air mataku kembali mengalir setelah mengingat kembali usahaku. Aku tahu aku bodoh karena mengejar pria yang bahkan tidak melihatku lebih dari teman. Miko kembali memarahiku sembari menenangkanku yang terus menangis. Hari itu, aku dan Miko mengata-ngatai keburukan Leo sembari mabuk-mabukkan hingga hari berganti.