Aku mengerjapkan mataku berulang kali. Bersender di sofa sembari menganjurkan kaki. Setelah lelah menangis di pagi hari, aku memilih untuk bermalas-malasan di rumah. Hal pertama yang kulakukan adalah melamun di depan tv. Cuci muka, bahkan makan pun aku belum melakukannya. Perutku terasa lapar, namun aku sedang malas untuk mengambil makanan.
Patah hati memang menyulitkan. Aku jadi malas mau melakukan sesuatu. Masih sekedar suka aja kayak gini, apa lagi sudah bertahun-tahun menjalin hubungan. Aku merasa bersyukur karena menolak semua pria yang menyatakan perasaannya padaku. Tapi aku menelan perkataanku ketika mengingat alasan aku menolak mereka. Aku tidak ingin berterimakasih pada pria nggak jelas itu. Kenapa aku harus berterimakasih padanya? Dia yang membuatku seperti ini.
"Oh? Atau ini karena aku sendiri ya?" tanyaku pada diri sendiri. Aku mengangkat bahu dan membaringkan diri di sofa. Helaan nafasku makin panjang seiring dengan teringatnya aku pada Leo.
Aku meregangkan tangan dan kaki. Kembali melamun. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Apa yang bisa dilakukan seorang jomblo di hari Minggu sendirian? Pergi ke taman? Enggak ah, palingan banyak pasangan disana. Pergi ke Mall? Nggak ada uang. Ke bioskop?
"Bioskop? Kayaknya boleh. Tapi masa sendirian sih? sedih banget. Ini hari minggu loh, pasti banyak pasangan di bioskop," kataku lagi pada diri sendiri. Oke, mungkin aku sudah agak gila. Masa ngomong sendiri sih? saking lamanya sendiri nih. Bangun, Nala!!!! Ayo ubah suasana hati. Tapi gimana?
Ketika aku masih bergulat dengan pikiranku, ponselku berdering dengan keras. Dengan sedikit kesal aku menerima panggilan itu tanpa melihat siapa yang menelpon. Terdengar suara lembut seorang pria memanggil namaku dari seberang telepon. Aku mengernyitkan dahiku dan segera melihat nama penelpon. Begitu tahu siapa, aku langsung mendudukkan diriku.
"H-halo, kak Kion. Maaf kak, tadi aku nggak lihat siapa yang nelpon. Aku kira si Miko. Maaf ya kak," ucapku agak canggung. Kak Kion adalah seniorku di kampus. Dia sangatlah baik padaku dan teman-teman. Semua teman cewekku sangat mengaguminya dan ingin menjadikannya pacar. Dengan wajahnya yang tampan, senyumannya yang manis, bahkan dengan sifatnya yang baik itu, siapa yang tidak akan suka dengannya? jawabannya adalah aku.
Ya, jujur saja, kak Kion adalah salah satu dari sekian banyak pria yang kutolak cintanya. Awalnya, kukira hubungan kami setelahnya akan terasa canggung. Namun berbeda dengan yang lainnya, kak Kion masih saja dekat denganku. Dia selalu mengajakku makan, nonton, dan lainnya. Anehnya, dia selalu tahu kapan aku butuh seseorang untuk menghabiskan waktu. Mungkin dia punya kemampuan membaca pikiran orang lain.
"La, kamu sibuk nggak?" tanya kak Kion dari seberang sana. Dengan santai kujawab tidak. Aku sudah tahu kemana arah percakapan ini. Bukan sekali dua kali kak Kion menanyakan ini sebagai pembuka untuk mengajakku jalan. Dan tentu saja ajakannya itu kuiyakan semua. Karena tadi, dia selalu tahu kapan aku sedang butuh teman.
"Nonton yuk kak, kebetulan aku lagi bosan. Ada film yang bagus nggak ya?" tanyaku. Niatku hanya ingin mengubah suasana hati. Namun, tidak ada jawaban dari seberang sana. Kupikir, mungkin kak Kion tidak mendengarnya. Jadi kuulang pertanyaanku. Dengan tergagap kak Kion mengiyakan ajakanku dan bilang akan menjemputku 10 menit lagi. Aku mengiyakan dan segera menutup sambungan telepon.
Aku terdiam sejenak. Biasanya aku tidak pernah mengajak kak Kion duluan. Kak Kion nggak bakal ngira aku sedikit nerima dia kan? Pikirku. Aku tidak ingin dia menjadi salah paham dan menaruh harap padaku. Aku tidak ingin menjadi orang yang memberi harapan palsu. Aku tahu rasanya. Itu sungguh sakit. Aku menghela nafas panjang dan mengesampingkan pikiran itu sembari berjalan menuju kamar mandi untuk siap-siap.
Tak berselang lama, bel rumahku berbunyi. Segera ku langkahkan kaki menuju pintu dan membukanya. Terlihat kak Kion berdiri disana sembari melayangkan senyuman terbaiknya.
"Ayo, jalan," ucapku sembari melangkahkan kaki keluar rumah. Dengan senyum yang sumringah, kak Kion mendampingiku jalan menuju mobil miliknya.
Seperti seorang pria gentleman, dia membukakan pintu mobil untukku. Aku tidak pernah terbiasa dengan sikapnya ini. Dia memang pria yang baik dan sopan. Sayang sekali hatiku bukan untuknya.
Sempat aku termakan kata-kata Miko untuk mencari pria lain dan melupakan Leo. Namun, aku tak enak hati untuk memanfaatkan orang lain demi melupakan perasaanku pada Leo. Termasuk kak Kion.
"Oh iya, besok sudah mulai kuliah ya?" tanyanya. Aku menganggukkan kepalaku. Sebenarnya aku sedikit malas untuk mejawab pertanyaannya itu dengan kalimat yang panjang. Namun aku tidak ingin kak Kion berpikir bahwa aku sombong atau pun tidak suka jalan dengannya. Setidaknya aku membalas pertanyaannya dengan penuh basa-basi agar suasana diantara kami tidak canggung.
"Wah~pasti bakal sibuk nih, sudah masuk tahun kedua." Aku tertawa pelan membalas ucapannya. Kami sempat terdiam sejenak. Entah kak Kion yang kehabisan topik atau aku yang terlalu acuh. Aku dapat melihat kak Kion mengetuk-ngetukkan jarinya di roda setir. Seketika aku merasa bersalah dan segera memikirkan topik pembicaraan.
"Nggak kerasa ya, kak. Perasaan baru aja aku jadi mahasiswa baru, terus kakak yang jadi panitia ospek-nya." Kak Kion mengiyakan perkataanku dengan suara tawa yang renyah. Dia mulai bernostalgia bagaimana awal mula kami bertemu.
Saat aku masih menjadi mahasiswa baru di fakultas hukum, dia adalah mahasiswa tingkat 3 di fakultas yang sama. Aku orang yang pemalu, tidak berani memulai percakapan dengan orang asing. Satu-satunya orang yang kukenal disana adalah Leo. Namun, aku dan dia berada di kelompok yang berbeda saat itu. Aku sempat bingung dan tidak bisa berbaur. Untung saja ada kak Kion yang membantuku untuk lebih dekat dengan teman-teman.
Sejak saat itu, ketika aku sedang sendirian, kak Kion selalu mengajakku untuk berbaur dengan yang lainnya atau bahkan hanya berbicara denganku berduaan. Sebenarnya itu cukup membantuku. Karena aku mendapat lebih banyak teman selain Leo dari fakultas yang sama. Aku bahkan menjadi dekat dengan banyak senior berkatnya.
Aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak menerima kak Kion saja. Daripada terus berharap pada pria yang tidak pernah menatapku sebagai seorang wanita.
Disela-sela percakapanku dan kak Kion, aku tak sengaja menyunggingkan senyuman masam. Tiba-tiba saja aku teringat kejadian tadi pagi dengan Leo. Suasana hatiku yang awalnya buruk menjadi lebih buruk. Sepertinya kak Kion pun menyadari suasana hatiku itu. Dia menanyakan apakah aku baik-baik saja dengan nada yang khawatir. Aku hanya membalas dengan gelengan kepala dan senyuman tipis.
Inilah mengapa aku tak berani menerima pernyataan cinta dari kak Kion. Aku takut diriku yang belum bisa melupakan Leo sepenuhnya ini malah membuat luka di hatinya. Aku tak tega menerimanya hanya untuk mempermainkan perasaannya itu. Karena bagiku cinta bukanlah sebuah game yang dimainkan tiap hari ketika baru di download, namun ketika sudah bosan ditinggalkan begitu saja.
Cinta menurut pandanganku adalah sesuatu yang tegas, tidak memandang sebelah mata siapa pun itu, dan jelas serta tertata rapi. Seperti hukum. Aku selalu memandang cinta seperti hal sakral dan suci.
Sampai akhirnya ketika aku mulai dekat dengan Miko, aku memberi tahunya pandanganku tentang cinta yang seperti hukum itu.
"Tapi hukum bisa berubah loh, masa sampai saat ini hukum lu belum berubah?" ucapnya santai. Saat itu aku hanya bisa memejamkan mata sembari menahan amarah padanya. Pernyataan Miko memang tidak salah. Aku hanya kesal padanya karena menganggap pernyataanku tentang cinta sangatlah lemah.
Aku dan Miko sudah bersahabat sejak kami duduk berdekatan saat kelas 2 SMP. Kami memiliki banyak kesamaan. Seperti, kami sama-sama menyukai anime, suka menyanyi dan menari, bahkan kami juga sama-sama tidak punya pengalaman tentang cinta.
Lucu ya? Dia selalu menceramahi tentang kisah cintaku, tapi dia sendiri tidak punya pengalaman yang nyata. Pasti kalian juga punya teman seperti itu kan?
"La? Kok melamun?" lambaian tangan dan suara kak Kion menyadarkanku. Sepertinya sedari tadi aku melamun hingga tak sadar sudah sampai di tempat tujuan. Aku melayangkan tawa canggungku pada kak Kion sembari melepaskan sabuk pengaman.
"Yakin kamu nggak papa, La?" tanya kak Kion khawatir. Aku menjawab tak apa dan segera keluar dari mobil, diikuti oleh kak Kion. Kami melangkah berdampingan menuju teater.
Aku menghentikan langkahku di depan poster film yang ditayangkan hari ini, memilih film yang akan ditonton. Aku berpikir sejenak. Aku bingung antara memilih film romantis atau komedi.
"Pilih film ini aja, genrenya romance-comedy," usul kak Kion sembari menunjuk sebuah poster didepanku. Tanpa pikir panjang aku mengiyakan usulnya dan segera menemaninya pergi menuju konter tiket.
"Nala?" aku memalingkan kepalaku ketika mendengar seseorang memanggil namaku. Tapi aku segera menyesalinya ketika melihat Leo berada dihadapanku bersama Rin yang memegang lengannya dengan mesra.