Esoknya saat siang, Aul masih bingung dengan secarik kertas yang tadi malam telah diterimanya dari Inah. "Aku harus bagaimana?" Bertanyalah Aul pada Serigala Cahya.
"Kau harus menulis surat untuk Inah. Kau harus punya kertas, ballpoint dan menulis surat, kemudian dimasukan ke dalam amplop. Lalu kau poskan ke alamat Inah di kantor pos." Serigala Cahya menerangkan dengan jelas.
"Di mana kita mendapatkan semua itu? Juga berada di mana kantor pos?"
"Kita harus ke toko buku untuk membeli alat-alat itu. Kantor pos ada di pusat kota."
Keduanya kemudian bersiap.
Letak toko buku tidak jauh.
Pramuniaga toko buku telaten dan cekatan melayani Serigala Cahya dan Aul.
"Cantik," Aul memuji.
"Diam," ujar Serigala Cahya.
Pramuniaga toko hanya tersenyum.
Semua alat-alat tulis pun telah dibeli Aul.
**
Kembali tiba di pohon kersen, Aul bingung, sadar karena tidak bisa membaca dan menulis. Aul meminta tolong pada Serigala Cahya.
Serigala Cahya dengan senang hati menulis surat hingga selesai pula. Namun, saat hendak menulis alamat pengirim, Serigala Cahya bingung.
"Sudah saja alamat satu rumah kosong yang bercat putih di atas sungai, yang suka kita lewati bila bepergian ke kota." Aul memberi saran.
"Ah, kau pintar. Sebentar, apakah tidak lebih baik bila pindah ke sana?"
"Usul yang bagus."
**
Aul kemudian berkirim surat. Seminggu kemudian, mendapatkan balasan. Aul merasa senang. Pada surat kedua, Aul mengajak berjumpa dengan Inah dan disambut baik. Keduanya bertemu di satu taman kota. Namun, Serigala Cahya tidak ikut.
Surat-menyurat terus berlangsung. Hingga berbulan-bulan. Berkali-kali, Aul dan Inah juga berjumpa.
Pada surat terakhir menjelang akhir tahun, Aul kembali berkirim surat yang tetap dituliskan oleh Serigala Cahya. Aul ingin kembali berjumpa dengan Inah. Namun, kali ini, sudah sampai dua minggu, belum juga ada balasan. Aul kecewa. Serigala Cahya malah memanas-manasi, "Mungkin Inah sudah punya kekasih lain." Aul tak hirau.
**
Di satu sore itu, di satu kamar rumah bercat putih yang kosong, Aul sedang tiduran di lantai seraya melihat-lihat kembali surat-surat terdahulu dari Inah.
Aul lelah pula, mencoba memejamkan mata.
Jam demi jam terus saja berganti angka. Namun, Aul belum juga bisa memejamkan mata. Keinginannya kali ini di akhir tahun untuk bertemu dengan Inah belum juga tercapai. Aul punya cita-cita ingin memperbaiki keturunan. Tidak seperti semua saudara siluman saudaranya yang kawin dengan sebangsanya, dan beranak lagi siluman serigala.
Aul yakin Ibu-Bapaknya akan memberi izin bila beristri dengan Inah.
Tiba-tiba muncul bayang-bayang samar-samar Inah di muka rumah, lalu semakin jelas. Aul lalu bangun, menuju muka rumah. Rupanya hanya halusinasi. Di lantai depan muka rumah, Aul berteriak, "Inah.."
Tak lama kemudian, terdengarlah suara gegas langkah kaki. Rupanya Serigala Cahya menghampiri Aul. Aul tak memedulikan, malah gegas kembali masuk ke kamar, untuk mencoba memejamkan mata. Aul tak mau bertemu Serigala Cahya karena kemarin pun, hanya melemahkan semangatnya untuk memiliki Inah.
Serigala Cahya memanggil-manggil Aul. Tetapi tidak juga ada sahutan.
Tak lama kemudian, Aul melunak, memanggil Serigala Cahya, "Aku punya sesuatu yang istimewa, tadi sore kutemukan di tempat sampah."
"Apa itu?" tanya Serigala Cahya.
"Kertas bergambarkan Kafe Romance, berada di kota. Besok malam kita ke sana yuk? Kalau sekarang kan sudah keburu larut. Kita cari kenalan baru. Inah, entahlah sedang di mana sekarang."
"Kukira gambar klab malam yang dulu pernah kita kunjungi. Tapi, aku tidak akan ikut."
"Baiklah."
"Kau yakin tidak akan tersesat di kota?"
"Yakin."
"Baiklah."
**