Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

BUNGA TERAKHIR || LEE HAECHAN

🇮🇩ORIS
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.4k
Views
Synopsis
"Bukan tentang bagaimana Tuhan mempertemukan kita namun, tentang bagaimana Tuhan memisahkan kita." WP by MAHENPALLAS
VIEW MORE

Chapter 1 - TENTANG KELUARGA HANAN

Banyak hal yang menjadi tumpuan hidup Hanan salah satunya, mencintai Senja. Hanan bukanlah satu-satunya bintang yang menyukai Senja tetapi Hanan adalah salah satunya.

Sedikit cerita tentang kisah hidup Hanan, pemuda bernama lengkap Hanan Sadana anak ke ketiga dari empat bersaudara. Si sulung Renjana Al-Fatih, anak kedua Jino Alandra, dan si bungsu Nathan Karunasankara.

Hanan anak laki-laki biasa yang memiliki cinta pertama. Bukan pertama kali ia selalu mengakui bahwa ia menyukai sang Senja, Senja adalah penyemangatnya setelah keluarga.

Pemuda itu selalu mengatakan bahwa Senja adalah satu-satunya gadis yang membuatnya bisa merasakan banyak debaran, hanya Senja yang mampu membuatnya merasakan kenyamanan, hanya Senja yang bisa menghiburnya ketika ia lelah dan tidak memiliki sandaran, dan hanya Senja yang selalu memberinya banyak hal-hal manis.

Hanan Sadana mempunyai banyak misi dalam hidup, misi utamanya adalah membuat gadis impiannya menyukainya. Cara Hanan membuat gadis itu mencintainya tidak banyak, hanya hal-hal sederhana seperti membuat gadis itu tertawa manis.

Kisah cinta Hanan yang tidak mulus tidak membuatnya langsung menyerah. Pemuda itu selalu berkata:

"Aku akan mengikuti garis takdir Tuhan yang indah."

Hanan selalu yakin garis takdir tidak selamanya buruk, pemuda itu tau bagaimana Tuhan memberinya garis takdir yang indah. Sementara Hanan adalah pemuda yang mengejar cinta pertamanya berbeda lagi dengan Renjana Al-Fatih laki-laki yang lebih pendek darinya adalah saudara tertua.

Renjana Al-Fatih atau selalu di sebut Renja memiliki paras tampan, tapi imut juga. Pemuda itu selalu mendukung jalan yang Hanan pilih, tapi tidak dengan pilihan Hanan untuk mencintai Senja. Alasannya simpel saja, Senja tidak tau berterima kasih.

Begitu kata Renja.

Renja memanglah anak tertua di keluarga mereka. Tapi, Renja selalu di tuntut untuk dewasa bahkan bukan pada waktunya, itu terjadi ketika Renja baru berumur 13 tahun. Banyak hal yang pemuda itu lalui termasuk lika-liku perjalanan cintanya. Berbeda dengan Hanan, Renja bahkan telah mendapat restu dari kedua orang tua pacarnya.

Bahkan, Renja memberitahu Bunda dan Ayah tepat di depan makam mereka. Renja mengatakan ia akan melamar Zahra setelah uang yang ia tabung cukup.

"Aku belajar dari Hanan, dia pemuda yang tidak pantang menyerah membuatku merasa iri ketika melihat dia selalu tersenyum walau ia memendam rasa sakit karena gadis yang tidak tau berterima kasih." prinsip Renja adalah pantang menyerah. Tapi sama seperti Hanan ia hanya mengikuti garis takdir.

Jino Alandra anak kedua. Memiliki wajah tampan, dan incaran para gadis membuat Jino berbeda dari saudaranya yang lain. Bukan play boy sebenarnya hanya saja terlalu banyak gadis yang mendekatinya dan di saat Jino bosan dengan wanitanya pemuda itu tidak pernah memutuskan pacarnya ia hanya akan terus menambah dan menambah pasangan.

Ia tidak pernah meminta putus terlebih dahulu, ia hanya menunggu para gadisnya tau tentang bagaimana Jino lalu salah satu dari mereka meminta putus padanya.

"Yang mereka lihat tentangku adalah aku tidak menghargai banyak wanita. Mereka hanya tidak tau aku hanya ingin menikmati masa mudaku." kalau soal percintaan Jino, Renja tidak pernah ikut campur. Menurutnya itu wajar, apa lagi laki-laki mudah bosan.

TAPI TIDAK SEMUANYA.

Ketika menyangkut soal Hanan, Jino juga berada di peringkat awal untuk tidak mendukung hubungan Hanan. Jino tau semuanya bahkan Jino suka melihat Senja duduk di bawah pohon dekat lapangan sekolah bersama sang mantan bahkan Jino tau dari tatapan mata Senja bahwa gadis itu masih menyukai kakak kelasnya.

Jino selalu diam ketika mendapati hal itu, menurutnya percuma saja memberi tahu Hanan. Ia pernah sekali mengatakannya pada Hanan tapi Hanan selalu mengatakan;

"Dia bukan tidak menghargai ku, dia hanya butuh waktu." dan di saat bersamaan Jino menghela nafas panjang.

"Seandainya dia ngehargain Abang harusnya dia sadar dari tahun pertama." Bukannya marah, Hanan malah memberikan senyum manisnya pada Jino.

"Kita hanya perlu mengikuti garis takdir." ucapnya menepuk pundak Jino lalu berlalu menuju kamarnya.

Soal anak terakhir, Nathan Karunasankara. Ia selalu di panggil Nathan atau Nana, Nana memang sedikit aneh dari mereka bertiga. Bukan aneh soal cinta, tapi hidup Nana memang aneh.

Walaupun menurut saudaranya bahwa Nana itu aneh sebenarnya tidak. Nana juga lebih pendiam dan tidak terlalu mengurusi hubungan Hanan tapi terkadang, pemuda itu tidak suka oleh gadis yang bernama Iris Senja.

Jika Nana bisa menjelaskan ketidaksukaannya ia akan mengatakan pada Hanan bahwa;

"Sesuka apapun Abang, jangan pernah kejar sosok Senja. Ia tidak tau berterima kasih."

Tapi, Hanan benar-benar keras kepala.

Hanan kini menutup matanya sejenak, ia menghilangkan rasa suntuknya. Bukan pertama kali ia melihat Senja bersama sosok pria tampan bernama Tio, Hanan membayangkan wajah cantik Senja yang tersenyum sore itu pada pemuda tampan yakni kakak kelasnya.

"Bang!!" Lamunan Hanan terhenti ketika Jino duduk di dekatnya.

"Ada apa?" Pertanyaan singkat itu membuat Jino mengernyit.

"Tadi kak Renja nelfon. Katanya mau pulang besok." Hanan tersenyum.

"Berarti bisa dong gua porotin, dia bilang apa?"

Jino mengatur duduknya sebagus mungkin lalu meminum susu kotak miliknya hingga habis sebelum melanjutkan perkataanya.

"Katanya mau bermalam seminggu."

"Bagus dong, kita bisa porotin kak Renja." Hanan tertawa jahat lalu memukul paha Jino kemudian berlalu ke kamarnya.

"Ngilu juga dia mukulnya." Jino mengelus paha kirinya yang menjadi korban kejailan Hanan.

Tidak ada angin, tidak ada hujan hari ini tiba-tiba saja tidak ada pertengkaran di rumah. Biasanya, Jino dan Hanan banyak tingkah untuk mencairkan suasana. Mereka hanya hidup bertiga membuat rumah terasa sepi.

Sudah terhitung sejak lama ayah meninggal lalu di susul oleh bunda tapi rumah itu selalu sepi, Jino selalu merindukan canda tawa ayah dan bunda begitu pula Hanan dan Nana.

Jino telah menghabiskan 5 bungkus susu rasa cokelat yang ia beli tadi pagi, sepasang mata elangnya kini tertuju pada Hanan yang berada di balik pintu kamarnya yang sedikit terbuka Jino hanya melihat punggung laki-laki yang lebih muda darinya itu. Terkadang Jino berpikir, Hanan melakukan kejailan hanya untuk menghiburnya.

Rasa kehilangan juga pernah Hanan rasakan saat ayah baru saja berpulang lalu di susul oleh bunda. Tapi hatinya selalu berkata padanya;

"Rencana Tuhan kedepannya pasti akan lebih baik. Tuhan akan memberimu cobaan karena ia menyanyangimu."

Setelah fokus melihat Hanan dari balik celah pintu kamar itu, Jino mencoba menyusulnya kedalam. Pemuda itu tiba-tiba merindukan bunda dan ayah, di saat seperti ini Hanan akan memberinya banyak motivasi.

"Bang masuk ya."

"Masuk aja."

Lantas saja, Jino masuk setelahnya. Dekorasi kamar Hanan bahkan tidak pernah berubah dari 3 bulan lalu, banyak poster-poster film dan musik yang tertempel di dinding kamarnya pemuda itu menempelnya dengan rapi selain poster-poster itu kamar Hanan juga bernuansa era 90-an.

Singkatnya, Hanan menyukai barang-barang klasik.

"Lagi?"

"Iya." Jawab Jino singkat.

"Tuhan hanya merencanakan hal terindah untuk kita."

"Abang sering bilang gitu."

"Duduk dulu." Jino hanya menatap Hanan yang terus berdiri sambil menatap bingkai foto yang berisi foto keluarga yang sedang di bersihkannya.

Bingkai foto klasik yang di pegangnya adalah bingkai foto kesukaan Hanan, bingkai itu di beli oleh bunda untuk hadiah ulang tahunnya. Tangan Hanan tidak berhenti untuk membereskan bingkai yang warnanya sudah mulai luntur itu, pemuda itu telah mengeluarkan fotonya saat ingin membersihkan bagian dalam bingkai.

"Semuanya yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi, termaksud kesenangan. Hari ini mungkin kamu senang tapi besok? Tidak ada yang tau. Maka dari sekarang kamu harus belajar ikhlas." Hanan mengusap rambut Jino. Senyum indah Hanan tidak pernah luntur ketika memberi motivasi untuk Jino, pemuda itu tidak ingin jika Jino selalu merasa kehilangan.

Kamar itu seketika hening, Jino hanya menundukkan kepalanya sambil memikirkan apa yang pemuda itu katakan padanya. Jino kemudian merebahkan dirinya di kasur empuk Hanan sambil berdoa untuk ayah dan bunda.

Kata-kata Hanan memang selalu menjadi motivasi bagi Jino, bukan hanya untuknya tapi untuk Renja dan juga Nana. Setelah lama berkutat pada pikirannya tiba-tiba Nana masuk ke kamar Hanan dengan senyum yang aneh. Seperti biasa, Jino sedikit mengerang kesal karena Nana yang membuat wajahnya menjadi aneh.

"Ngapain Lo senyum-senyum kek Kunti gitu." Ucap Jino melebarkan mata sipitnya.

"Mulut Abang, cuman mau manggil kalian makan. Ayo, gua udah buatin makanan kesukaan masing-masing." Nana langsung saja menarik tangan Hanan dari kamar itu.

"Bunda, ayah. Aku sudah belajar ikhlas dari bang Hanan. Dia selalu memberiku motivasi, dia selalu menyayangi kami, aku merasa gagal menjadi kakaknya Hanan." Jino tersenyum kemudian melihat tubuh Nana dan Hanan menjauh dari kamar itu.

"Aku selalu ingin menjadi seperti Hanan, tapi aku selalu di tuntut menjadi seperti Nana, aku melihat Hanan tidak pernah merasa kehilangan. Tapi, aku tau Hanan berbohong padaku bunda." Jino terus berbicara sendiri sambil mengingat kata-kata Hanan.

Setelah memikirkan semua tentang ayah dan bunda, Jino menyusul Hanan dan Nana. Pemuda itu tersenyum melihat Nana dan Hanan yang bertengkar di depan tv sambil berebut remote tv bahkan makanan Hanan dan Nana sudah hampir dingin.

"Coba lu ambil remotnya dasar pendek."

"Nana durhaka sama Abang." Ucap Hanan sambil berjinjit mencoba meraih remote di tangan Nana.

Setelah melihat aksi rebutan-rebutan itu Jino menghampiri mereka berdua. Jino mengambil dua buah anggur yang terletak di meja, Jino lalu memasukkan anggur itu ke mulut Nana dan Hanan kala mereka akan berteriak.

"YAK!!!"

Hanan langsung saja mengeluarkan anggur itu dari mulutnya lalu tangan nakalnya memukul lengan Jino kuat membuat Jino meringis tidak lupa ia berteriak di telinga Jino. Bahkan, Nana yang hampir tersedak kini menatap tajam Jino yang kesakitan.

Bersambung...