Bukan hanya sajak yang membuat Hanan bisa termotivasi untuk kembali bangkit. Sejujurnya, hal ini juga berhubungan dengan Nana, Hanan selalu melihat pemuda yang lebih muda darinya itu selalu menatap foto ayah dan bunda. Di belakang foto berwarna hitam putih itu terdapat beberapa kata yang di tulis sang ayah, bahkan tulisannya telah memudar termakan waktu.
Mungkin saja orang lain akan menganggapnya sesuatu yang tidak bermakna, bentuk dan warna foto yang tidak menarik bahkan bingkai foto yang terbuat dari kayu yang berada di kamar Nana itu tidak pernah membuat orang lain tertarik. Banyak pesan-pesan yang terkandung di dalam foto itu membuat Nana selalu menyimpannya. Bahkan, sebelum pemuda itu tidur ia akan membuka bingkai foto tersebut lalu membalikkan foto yang telah di keluarkannya.
Di sana ada beberapa kata bermakna untuk Nana. Tidak hanya itu, beberapa kata yang tertera di sana sudah menjadi semangat untuknya selama 5 tahun lebih.
"Nana."
"Iya, kenapa bang?"
"Kak Renja bentar lagi sampai. Ayo buat makanan kesukaannya."
"Ayo."
Nana bangun dari acara memandang foto keluarga itu. Ia kemudian menyimpannya di nakas, lalu mengikuti Hanan yang berjalan lebih dulu di hadapannya.
Banyak yang pemuda itu pikirkan, bukan hanya tentang ayah dan bunda tapi ketegaran Hanan. Setelah kepergian ayah dan bunda Hanan bahkan tidak pernah terlihat sedih, Hanan selalu membuatnya tertawa karena tingkah laku jail pemuda itu. Tidak ingin memikirkan banyak hal, Nana berjalan lebih cepat menuju dapur, dekorasi dapur bisa di katakan modern alat-alatnya juga lengkap, Bahkan di dapur itu terdapat kompor listrik untuk memudahkan acara memasaknya.
Diantara banyaknya makanan kesukaan Renja, Nana dan Hanan sengaja membuatkan opor ayam untuk Renja, ketika Renja pulang ke rumah, pemuda itu ingin merasakan opor ayam buatan bunda yang kini juga menjadi makanan favoritnya. Walaupun hanya Nana dan Hanan yang bisa memasak untuknya.
Sedangkan Nana dan Hanan sibuk dengan urusan masing-masing, Jino hanya menatap mereka dari sofa, pemuda itu tidak ingin mengacaukan semuanya.
Pemuda itu menghela nafasnya berat.
Langit siang yang berwarna biru terang membuat cuaca menjadi sangat panas, Jino kini menyeruput empat susu kotak dingin yang tergeletak di meja kayu berwarna cokelat di hadapannya, pemuda itu selalu tersenyum ketika mendengar canda tawa Nana dan Hanan dari dapur.
"Ngak gitu Na, Lo tau kan kalau gua kesel pasti gua jailin orang?"
"Ya, tapi kan kasian si Cakra jadi jatuh karena Abang tiba-tiba tarik kursinya."
"Salah Cakra sendiri, udah tau gua kek reog malah di ganggu." di saat yang bersamaan Nana dan Hanan kembali tergelak. Memikirkan wajah kesakitan Cakra yang terjatuh dari kursinya membuat mereka bertatapan lalu kembali tertawa.
"Benar kata bunda, harusnya aku yang didik Hanan. Bukan malah sebaliknya."
Suasana rumah kembali hening, mereka sibuk dengan aktifitas masing-masing. Jino memejamkan matanya sejenak, bayang-bayang senyum bunda dan ayah masuk ke dalam pikirannya. Jino kembali melihat senyum indah itu setelah sekian lama. Jino kemudian mendekatkan dirinya ke arah bunda dan ayah yang berdiri di seberang jalan raya tidak jauh dari hadapannya, Jino melihat jelas bagaimana bunda dan ayah merentangkan tangannya dan ingin memeluk tubuh tinggi Jino tidak lupa pemuda itu menunjukkan senyum indahnya bahkan mata kembali menyipit dan saat Jino hampir sampai ke hadapan bunda, tiba-tiba saja tubuh bunda terhempas ke jalan raya kota yang besar.
Tubuh bunda melayang tinggi, bahkan bunda masih sempat memberi Jino senyuman sebelum tubuh bunda sampai ke jalanan beraspal. Jino juga tidak melihat tubuh ayah melayang walau ayah berdekatan dengan bunda. Waktunya terasa berhenti sejenak, jantungnya berpacu dengan cepat, emosinya meningkat.
Jino mematung.
Jino terdiam. Pemuda itu kini menghampiri bunda yang telah berlumuran darah namun, Jino tidak bisa menyentuhnya. Bahkan, orang-orang yang menolong seketika hilang dari jalan itu. Jino hanya melihat wajah pucat ayah yang tersenyum padanya kemudian menghilang bersama bunda yang terlihat baik-baik saja bahkan luka akibat kecelakaan yang Jino liat tidak terdapat di tubuh bunda.
"BUNDA." Jino tiba-tiba berteriak saat ia terbangun dari tidurnya.
Mata Jino perlahan terbuka dan melihat Nana yang kini menepuk-nepuk pelan pipi tirusnya.
"Are you oke?" Jino hanya menganggukkan kepalanya.
"Minum dulu." Hanan yang baru saja muncul dari dapur kini membawakannya air biasa. Tidak lupa, susu kotak untuk Jino.
Jino segera mengambil gelas di nampan yang Hanan pegang, pemuda itu meneguknya hingga habis.
"Mimpi apa itu" ucapnya dalam hati.
Hanan meletakkan nampan itu ada 4 susu kotak. 2 susu cokelat untuk Jino dan 2 lagi untuk Hanan. Hanan melihat wajah Jino di penuh keringat dingin kini khawatir, wajah Jino pucat, nafas pemuda itu juga tidak beraturan membuat Hanan bingung apa yang sebenarnya menjadi mimpi Jino. Hanan mengerutkan keningnya lalu menepuk pundak Jino membuat pemuda itu kaget.
"Mimpi apa?"
"Bukan apa-apa."
Hening kembali menyelimuti mereka bertiga. Renjana kini telah sampai di halaman depan, ia melihat tidak ada yang berubah. Halaman rumah masih asri dengan bunga matahari dan mawar putih dan rumput-rumput hijau yang ia tidak tau namanya kini menyebar memenuhi halaman. Bisa di katakan rumput itu hanya sebagai hiasan.
Renjana melangkahkan kakinya masuk, aroma khas yang ia cium saat pertama kali masuk ke dalam rumah adalah wangi pepermint, wangi yang menyegarkan membuat Renjana terasa senang. Renjana berjalan masuk sambil melihat dekorasi rumah, di sudut ruangan menuju ruang tengah Renjana melihat foto keluarga dan lagi-lagi foto itu memiliki bingkai klasik dengan motif yang indah.
Pemuda itu melangkahkan kakinya ke ruang tengah, ia melihat Hanan yang memasukkan 2 pipet susu ke mulutnya begitu pula Jino. Nana bahkan terlihat minuman bersoda, Renjana yang tidak ingin menganggu mereka bertiga kini berjalan pelan ingin masuk ke kamarnya yang ada di antara ruang tamu dan ruang tengah namun, seharusnya ia masuk terlebih dahulu malah di kejutkan oleh Nana yang tiba-tiba berada di depannya.
"Hshshehdh."
"Apa si kak, kalau masuk tuh beri salam."
"Assalamualaikum. Bentar, kakak simpen tas dulu. Kek setan aja." lanjut Renjana dalam hati.
"Waalaikummussalam" setelah menjawab salam itu, Nana langsung saja pergi dari hadapan Renjana ia kemudian duduk kembali di dekat Jino yang masih meminum susu kotaknya.
Renjana membuka kamarnya, yang pertama menyapanya adalah boneka beruang besar yang berada di samping pintu kamarnya. Renjana mengambil boneka beruang berwarna cokelat itu lalu meletakkannya di kasur empuknya. Hanya kamarnya yang banyak berubah, namun tetap rapi. Mata Renjana kini tertuju pada bingkai yang berada di dinding dekat jendela. Foto masa kecil Nana.
Renjana mengambil foto Nana dan menatapnya lamat-lamat.
"Kau sudah besar sekarang, semoga bunda bangga pada kami bertiga" Renjana mengusap foto kecil Nana. Pemuda itu tersenyum sejenak sebelum mendekati daun jendela.
"Masih asri."
Renjana melihat pekarangan samping rumah yang juga di penuhi dengan bunga matahari dan mawar putih itu, suasana sore hari yang sejuk membuat Renjana tersenyum. Lantas setelahnya ia keluar dari kamar itu, suasana yang tidak pernah berubah ia dapatkan kembali. Hanan dan Nana terlihat menyiapkan makanan untuk mereka bahkan Renjana sudah tau apa yang Nana dan Hanan buat tadi.
Renjana kemudian menyusul Jino yang kini tengah berjalan di hadapannya. Kala Renjana bisa menyamakan langkahnya dengan Jino, Jino langsung menoleh dan memberikan senyum manisnya pada Renja.
"Apa kabar kamu?"
"Baik, kakak sendiri?"
"Baik juga." hanya percakapan singkat saja yang terjadi sebelum mereka sampai ke meja makan.
Banyak jenis makanan yang tertera, ada opor ayam, sup ayam, iga bakar, bakso dan beberapa minuman juga telah tersusun rapi di atas meja. Sebelum menyantap makanan mereka, mereka duduk saling berhadapan tidak lupa juga mereka berdoa terlebih dahulu. Acara makan itu berlangsung dengan khidmat, tidak ada pembicaraan diantara mereka hingga makanan di piring mereka habis.
🐻🐻🐻🐻🐻
Hanan menatap langit yang yang di penuhi oleh banyak bintang, pemuda itu kini berada di taman yang tidak jauh dari rumah. Ia memiliki janji bersama Senja, akhir-akhir ini mereka berdua sibuk dengan urusan masing-masing membuat mereka berdua jarang bertemu. Hanan hanya selalu mengirimi gadis itu pesan.
Kurang lebih 20 menit menunggu, Senja bahkan tidak datang padahal gadis itu yang mengajaknya.
"Tidak datang lagi?"
"Sampai kapan?" Lanjutnya.
Hanan menghela nafas panjang, pikirannya tiba-tiba kacau. Langit yang tadinya terang di penuhi oleh bintang dan bulan kini menjadi mendung, Hanan menutup matanya sejenak di bangku taman. Seketika otaknya berputar di mana adegan Tio dan Senja bertemu kemarin sore, Tio dan Senja terlihat begitu dekat bahkan jarak gadis itu semakin lama semakin terkikis karena Tio yang terus memajukan badannya.
Tatapan mata mereka bertemu, Senja bahkan terlihat tersenyum kikuk saat jarak Tio semakin terkikis pemuda itu tersenyum manis kepadanya semakin membuat wajah Senja terasa memanas. Tanpa mereka berdua sadari Hanan dari tadi memperhatikan mereka berdua dari sudut lapangan.
"Kamu hanya perlu waktu."
"Aku ingin bilang dunia itu tidak adil padaku, tapi dunia membawakan Iris Senja padaku." ucapnya. Hanan terlihat tersenyum singkat.
"Bang Hanan." Nana yang duduk di sebelahnya kini menepuk pundak Hanan.
"Tuhan itu adil Na."
"Berhenti menyukai gadis yang tidak tau terima kasih itu."
"Dia baik, kamu belum liat sisi baiknya aja." lagi dan lagi Hanan membela Senja. Sejak awal memang Nana tidak mau ikut campur tapi ini sudah keterlaluan. Apa-apaan mereka berdua pamer kemesraan di depan umum bahkan adegan itu sampai di lihat oleh Hanan.
Hanan lalu bangkit dari duduknya kemudian mengatakan bahwa:
"Dia pasti akan berubah, Allah selalu punya rencana terbaik untuk hambanya." dan akhirnya Nana pun terdiam.
Setelah memikirkan tentang Senja, Hanan kini melangkahkan kakinya menuju rumah langkah kakinya membawanya berjalan di trotoar jalan yang di lengkapi oleh lampu penerangan dan beberapa lampu taman. Raut wajahnya terlihat kecewa, lantas apa yang akan Hanan lakukan?
"Tidak ada yang perlu di sesalkan, aku cinta padamu itu sudah menjadi jalan takdirku."
Hanan tersenyum kala ia melihat Jino, Nana, dan Renjana duduk di teras rumah, mereka terlihat bercanda satu sama lain bahkan tawa Nana terdengar jelas di telinga Hanan. Tidak ada alasan untuk Hanan untuk terus bersedih, Hanan kini menghampiri mereka yang kini sedang bermain game di ponsel Renja.
"Tumben pulang cepet?"
"Mendung, jadi kita batalin pertemuannya."
Nana hanya ber-oh ria sebelum melanjutkan acara gamenya. Tapi tiba-tiba Jino membuka suara.
"Gak datang lagi?"
"Kita batalin pertemuannya No."
"Kenapa ngak putus aja? Gua liat dia kemarin di lapangan juga kok."
"No, denger. Kalau kamu memiliki sihir, apa yang kamu lakukan?"
"Mengembalikan bunda. Kenapa Abang nanya gitu?" balasnya. Tangan Jino juga tidak berhenti untuk meneruskan permainannya.
"Karena Hanan ingin membalikkan takdir Hanan dan Senja." lagi dan lagi Jino terdiam.
Sikap keras kepala Hanan membuat yang Jino bingung, harus dengan cara apa pemuda itu membujuk Hanan. Jelas-jelas saja Senja masih menyukai kakak kelas mereka. Kalau di bilang tampan, kakak kelas mereka memang tampan makanya Tio masih bisa mendapatkan hati Senja.
Bersambung...