"Sama sekali?" tanya Nick. Matanya membelalak dan tangannya berhenti memasukan nasi ke dalam mulutnya.
"Ya..." sahut Patty dengan tidak bersemangat, sambil menyantap nasi kuning yang dimasak Desi.
"Terus lu nggak ngapa-ngapain gitu?"
Patty menggeleng sambil menatap Nick yang duduk di seberangnya. Sudah satu minggu mereka libur kenaikan tingkat dan setiap hari, sejak pagi, pasti Nick datang ke rumah Patty. Tentu tidak terlalu pagi, seperti layaknya anak-anak remaja, setiap libur mereka akan bangun sangat siang. Seperti saat ini, Patty baru bangun saat Nick sampai ke rumahnya sekitar pukul 11 siang. Itulah mengapa Desi dan suaminya, Bimo, sudah selesai sarapan sejak tadi. Bahkan sebelum Patty bangun, Bimo sudah pergi ke pabrik.
"Makan saja, Nick. Kok shock gitu sih? Gua saja sudah nggak peduli." kata Patty sambil tertawa melihat Nick dengan tawa khasnya yang manis.
Nick masih tidak percaya. Memangnya Satrya sibuk apa, sih? Masa sih tidak bisa sekali pun mengirim pesan pada Patty? Padahal awalnya Nick sempat sedih, ia kira Satrya sengaja tidak pergi ke Norwegia supaya dapat menghabiskan waktu liburan dengan Patty.
Nick menatap Patty yang tertawa. Bisa-bisanya Satrya menyia-nyiakan perempuan secantik dan seanggun Patty. Patty ini benar-benar... cantik.
Nick menyuap suapan terakhirnya sambil memperhatikan Patty. Ternyata benar, Patty tidak banyak berubah. Mungkin karena Nick sudah bermain dengan Patty sejak mereka masih belum sekolah, rasanya saat melihat Patty kembali di Indonesia, Nick merasa benar-benar seperti sudah pulang ke rumah.
Awalnya memang Nick merasa Patty berubah sejak ia mulai bermain dengan geng Lexa yang disebut QS, apa pun itu kepanjangannya. Nick sampai berusaha agar dampak perubahan Patty tidak terlalu besar, jangan sampai Olive terluka hingga membuat Patty menyesal nantinya.
Tetapi untunglah itu semua hanya kesalahpahaman saja walaupun Nick sampai harus babak belur.
Hanya dua hal yang berubah dari Patty. Penampilannya yang semakin cantik dan anggun lalu kepribadiannya yang semakin dewasa. Memang, Patty pantas mendapatkan lelaki seperti Satrya. Meskipun Nick cemburu, tapi Nick akan berusaha sedapat mungkin mendukung Patty.
Desi yang sedari tadi memperhatikan Nick dari ambang pintu dapur akhirnya tidak tahan untuk menggoda Nick yang ekspresinya sudah berubah dari terkejut menjadi terpesona. "Aduh, Nick! Terpesona pisan (banget) ya sama Patty? Cantik kaya tante, he eh (Kadang orang berbahasa Sunda sering menggunakan 'he-eh'di belakang kalimat untuk menegaskan sesuatu)?" katanya sambil seakan mengibaskan rambutnya yang dijepit di belakang kepalanya.
"Eh.. tante," Nick tertawa malu. Aduh, tante ini. Bagaimana kalau Patty jadi risih?
Dengan khawatir, Nick melirik Patty. Untunglah Patty masih asyik memakan nasi kuningnya. Memang, ya, dari dulu Patty selalu cuek.
"Nick! Dengar-dengar Olive mau pindah sekolah, he-eh?" tanya Desi dengan nada ibu-ibu arisan tukang gosipnya sambil duduk di kursi ujung meja makan, di antara Nick dan Patty.
"Hah?!" Olive mau pindah sekolah?
"Loh lu belum tahu, Nick?" tanya Patty ketus sambil melirik Nick. Tangannya masih memegang sendok dan kepalanya masih menunduk, siap menyantap nasi kuningnya.
"Gimana gua mau tahu kalau nggak ada yang kasih tahu gua?" seru Nick dengan nada dan gaya yang dibuat berlebihan, membuat Desi tertawa melihatnya.
Nick cukup kaget melihat Patty yang semakin tidak acuh. Biasanya Patty akan tertawa bila melihat Nick bertingkah konyol dan berlebihan. Tapi, Patty malah germumam "Masa?" kemudian lanjut memakan nasi kuningnya.
Patty ini kenapa sih? Apa dia marah pada Nick? Memangnya Nick salah apa? Rasanya sampai kemarin… jangan kan kemarin… sampai barusan saja pun Patty masih baik-baik saja. Masih tertawa seperti biasa.
"Ih, kunaon ari kamu teh neng (kamu kenapa sih nak)?" tanya Desi bingung melihat tingkat Patty.
"Mah! Nick ini dekat sama Olive tahu!" kata Patty setelah menelan nasi kuningnya.
"Mana mungkin dia nggak tahu."
"Eh, gua belum pernah kontak Olive lagi setelah masuk ke Bandha Bandhu lagi! Ngapain juga? Masa gua mau di "OSPEK" ulang lagi? Menderita loh!" canda Nick.
Patty menyipitkan matanya, memandang Nick dengan sangsi. "Masa? Aren't you her knight... I mean her prince in shining armor? (bukannya lu ksatria... maksud gua pangeran baja hitamnya dia)"
Nick tertawa kecil dengan bingung "Wh... what?"
"Selama ini bukannya lu selalu bela Olive?" nada Patty semakin serius.
Nick bingung mendengarnya. Kenapa tiba-tiba suasananya jadi begini? Nick tidak lagi tertawa-tawa. Ia memasang muka serius dan menatap Patty. "Kapan?"
Desi yang duduk di tengah mereka mulai gelisah. Kenapa Desi membawa topik yang menuju pada perdebatan seperti ini sih? Mana juga Desi tahu ada masalah dengan Olive? Desi buru-buru berdiri dan berjalan menuju dapur sambil berkata "Ah teuing ah. Mamah ka dapur nya, neng! Ieu masakan mamah... eh mamah teu keur masak, nya? (ah nggak tahu deh. mamah ke dapur ya, nak! ini masakan mamah... eh mamah nggak lagi masak, ya?)" Desi terus berbicara yang lebih terdengar seperti gumaman yang gugup.
Patty dan Nick tentu tidak lagi memerhatikan Desi. Patty mengaduk- aduk nasi kuningnya yang hanya tinggal sedikit di piringnya. Masa ia harus memberitahu kapan-kapan saja Nick membela Olive? Jawabannya kan sudah jelas: selalu!
"Pat?"
"Ah apa?!" bentak Patty sambil menaruh sendok garpunya dengan kasar. "Masa lu nggak sadar? Sejak kapan lu berubah dari orang yang selalu bela gua jadi orang yang selalu bela Olive, sih?"
"Kapan gua bela Olive? Selama ini gua bareng sama lu terus!"
"Bukan... bukan sekarang." Patty menunduk malu. Duh, memang sih sekarang Nick selalu ada di sisinya tapi itu kan setelah Nick tahu kebusukkan Olive! "Ah sudahlah!" Patty cepatcepat menghabiskan nasi kuningnya dengan harapan Patty sudah di dapur mencuci piringnya sebelum Nick menyadari kapan tepatnya yang Patty maksud. Tapi tentu saja, penulis tidak akan membiarkan itu terjadi.
Tepat pada suapan Patty yang terakhir, Nick berseru. "Oh! Maksud lu, gua bantu Olive waktu kalian bully Olive?"
Patty mengunyah secepat mungkin kemudian berdiri. "Sebelumnya juga!" kemudian cepat-cepat masuk ke dapur.
Nick mengusap dagunya, menatap lampu gantung di atasnya. Memangnya kapan Nick membela Olive? Ah sudahlah. Nick tidak mungkin ingat. Nick berdiri dan membawa piring kosongnya ke dapur Patty yang luas dengan ubin berwarna putih dan perabot yang didominasi warna abu. Nick berdiri di sebelah Patty, meletakan piringnya di konter granit berwarna abu, tepat di sebelah wastafel tempat Patty menyuci piringnya.
Iya ya, percuma juga Patty cepat-cepat kabur begitu. Toh Nick tetap dapat mengikutinya ke sini.
"Sini, gua saja yang cuci." kata Nick hendak mengambil piring Patty.
"Beres!" kata Patty sambil buru-buru meletakan piring di rak di sebelahnya kemudian pergi meninggalkan Nick.
Desi yang sedari tadi duduk di kitchen island putih dengan kaki-kaki abu dari granit imitasi di dekat pintu menuju ke ruang makan, yang sebenarnya berusaha mencuri dengar pembicaraan Nick dan Patty sambil menikmati kopi paginya, memperhatikan Patty keluar dari dapur dengan bingung. Setelah Patty menghilang, pandangan Desi beralih dari Patty ke Nick yang juga masih memandang pintu dapur dengan bingung.
"Nick, tante ke luar bentar, ya. Nanti kalau sudah nyuci langsung ke taman belakang we, nya (saja, ya)." kata Desi kemudian berdiri meninggalkan kopinya.
Desi berjalan melewati lorong antara ruang keluarga dan ruang makan, terus berjalan menyusuri lorong dengan dinding berwarna coklat muda dan lantai kayu imitasi, melewati pintupintu kamar dan ruangan-ruangan lain. Lorong itu agak remang karena hanya mendapat cahaya dari pintu bermodel kupu tarung kaca di ujung lorong yang kemudian dibuka oleh Desi.
Desi keluar dari pintu itu dan benar dugaannya. Patty sedang duduk di kursi besi hitam di serambi belakang, menghadap taman belakang mereka yang tidak begitu luas, menatap tembok belakang rumahnya.
"Neng," panggil Desi lembut dan duduk di kursi besi yang kosong di samping meja bulat dari besi dengan warna senada. Desi mengulurkan tangannya melewati meja bulat itu, mengelus kepala Patty lembut. "Aya naon, sih neng? (ada apa sih, nak)"
Patty menggeleng dan menghembuskan napasnya. "Neng lagi butuh waktu buat mikir, mah."
"Neng mau cerita ke mamah, nggak? Siapa tahu neng lebih... lega kitu."
"Neng juga bingung mah." Patty terdiam sesaat, berusaha menyusun kronologi untuk mencari tahu apa yang membuatnya kesal. "Waktu awal Nick dateng ke Bandung, Nick banyak belain Olive. Waktu neng cerita neng kesal karena Olive ikutin neng kemana-mana, Nick malah bilang neng harus kasih tahu Olive. Waktu neng sama teman-teman akhirnya bermusuhan sama Olive juga Nick bela Olive terus."
Desi cukup kaget mendengar Patty dan Olive bertengkar, tetapi Desi tahu bukan itu masalahnya sekarang. "Tapi kan sekarang Nick sudah bareng sama eneng terus."
"Iya, mah. Neng tahu. Neng juga bingung kenapa neng jadi kaya gini. Biasanya neng nggak pernah marah atau sedih gara-gara hal yang nggak jelas."
"Coba deh ngobrol sama Nick baik-baik, neng. Siapa tahu bisa lebih lega, he-eh?"
"Ah embung, mah! Malu atuh! (ah nggak mau, mah! malu dong!) Neng harus jelasin apa ke Nick?"
"Kenapa malu sih, Pat?" Nick tertawa di belakang Patty.
Patty menoleh kaget. Loh, sejak kapan Nick ada di sana?
Desi berdiri dan menepuk-nepuk pundak Patty. "Sudah, ya. Mamah ke dalam dulu, mau siap-siap yoga sama teman-teman sekompleks."
"Gaya banget, tante. Pantas awet muda terus." kata Nick sambil tertawa. Bisa-bisanya Nick masih bercanda di saat seperti itu .
"Ah kamu mah bisa wae. (bisa saja)"
Nick tertawa sambil melambai pada Desi yang masuk melalui pintu kaca. Setelah pintu tertutup, Nick duduk di sebelah Patty. Ia ikut menatap tembok di hadapan mereka sambil menautkan jari-jari tangannya di atas pahanya. Bagaimana ya caranya Nick mencairkan suasana?
"Pemandangannya indah, ya?"
"Apa?" tanya Patty sambil memandang Nick bingung. Ini anak terbentur atau kenapa?
"Iya, indah banget temboknya. Dari tadi lu mandangin tembok ini?" Nick menoleh pada Patty dengan cengiran jahilnya.
Patty memukul pundak Nick beberapa kali sambil cemberut. "Iiih!"
Nick tertawa. Asyik ya menggoda Patty. "Sudah, dong. Jangan cemberut terus."
Patty berhenti memukul Nick, membuka mulutnya seakan hendak berkata sesuatu tetapi kemudian menutupnya kembali. Nick menunggu beberapa saat tetapi Patty tidak kunjung berkata apapun, Patty malah menatap meja besi di sebelahnya. Ya sudah, lebih baik Nick saja yang langsung menjelaskan pada Patty. Mungkin Patty malu untuk bertanya.
"Waktu di ruang VVIP GIS, waktu kita party, gua nggak maksud bela Olive, Pat. Sorry kalau lu mikir gitu. Waktu itu gua hanya takut lu berubah jadi seperti Lexa yang... you know, seenaknya."
"Jadi lu pikir gua seenaknya?" tanya Patty dengan datar.
"Engga, Pat. Gua hanya... gua takut lu berubah. Lu baik banget selama ini ke Olive dan waktu gua baru datang ke GIS gua lega lihat lu masih seperti Patty yang dulu."
Patty menatap Nick dengan tatapannya yang tegas kemudian berkata dengan datar "Lu mau gua terus baik ke Olive?"
"Engga, Pat. Bukan itu maksud gua. Patty yang gua kenal dulu itu Patty yang baik banget dan perhatian banget sama siapa pun. Gua nggak mau lu berubah."
Patty mendengus, kembali menatap tembok di hadapannya. "Kenapa? Lu nggak mau jadi teman gua kalau gua nggak baik lagi?"
"Bukan gitu, Pat! Kok lu jadi mikir ke sana?"
"Setelah gua pikir-pikir lagi, memang benar kan?" tanya Patty kemudian menatap Nick dengan dingin.
Nick mengacak rambutnya dengan frustrasi. "Apa?"
"Dari dulu Olive memang teman favorit lu. Bukan gua."
"Hah?"
"Waktu SD, lu selalu tahu dimana Olive sembunyi, lu juga memeluk Olive sebelum lu pergi. Gua dan Lexa nggak lu peluk seperti Olive."
Nick melongo. Patty kok sampai berpikir ke sana? Itu kan zaman SD.
"See? You can't even say a single word. (lu bahkan nggak bisa bilang apa-apa)" Patty berdiri, hendak masuk ke dalam rumahnya tetapi Nick dengan sigap menahan tangan Patty.
"Let me explain, alright? (biar gua jelaskan, ya?)"
Patty berbalik menghadap Nick dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Go ahead. (silakan)"
Nick berdiri, mengacak rambutnya yang sudah berantakan, kemudian menatap Patty. Ya sudahlah kalau memang begini. Mungkin sudah seharusnya Nick menceritakan yang sebenarnya.
"Gua sempat nggak sengaja lihat Olive nangis waktu SD, dari situ gua jadi tahu tempat Olive selalu bersembunyi untuk menangis. Gua peluk Olive karena gua tahu dia nggak berani peluk gua bersama lu dan Lexa."
"See? How understanding. (tuh kan. pengertian banget)." kata Patty sinis sambil mendengus mengejek Nick.
"I was just trying to be a good friend! (gua cuman berusaha jadi teman yang baik)" seru Nick dengan putus asa.
"Whatever. (serah deh)"
Nick mengerang. Kenapa sih Patty tiba-tiba seperti ini? Kalau sudah begini, ya sudah Nick mengaku saja. "Lu sadar nggak sih Pat? Waktu SD, setiap ada yang mengganggu Olive dan Lexa, gua selalu diam saja. Gua cuman maju kalau lu yang diganggu. Bukan karena gua tahu lu selalu ada untuk mereka, tapi karena gua cuman peduli sama lu."
Patty tertegun. Patty ingat bagaimana dulu Patty sedang berjalan untuk menyusul Olive yang sudah pergi terlebih dahulu ke lapangan untuk menonton Nick bermain basket. Patty melihat Oliveterduduk di lantai koridor di samping lapangan basket sambil menangis karena diganggu oleh beberapa siswa dari kelas mereka. Beberapa siswa mengelilingi Olive dan mengejeknya gendut.
Patty yang tidak tahan melihat temannya diganggu langsung berjalan cepat menghampiri mereka, menarik para siswa itu satu persatu. Tetapi hasilnya malah Patty ditarik oleh salah satu siswa di sana dengan kasar.
Siswa itu tiba-tiba mengaduh dan melepaskan Patty. Patty menoleh dan melihat Nick menarik rambut siswa itu sampai akhirnya siswa itu jatuh ke lantai.
Siswa yang lain mundur, tentu saja, karena Nick sudah dianggap seperti "ketua" anak-anak kelas 6 saat itu. Nick tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Ia menarik kerah siswa yang jatuh tadi sampai berdiri kemudian melemparkannya kembali ke lantai. Nick menoleh ke
belakang melihat semua siswa yang lain telah berlari. Saat Nick melihat lagi ke depan, siswa tadi sudah berdiri dan sedang berusaha lari dengan terpincang-pincang. Nick mendengus kesal kemudian menghampiri Patty yang sedang membantu Olive berdiri.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya sambil memperhatikan Patty dari atas sampai bawah.
Patty tersenyum dan menggeleng. "Nggak apa-apa. Thank you ya! Kamu sudah kaya my knight in shinging armor! (ksatria baja hitamnya aku)"
Kejadian seperti itu tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Itulah mengapa para siswa tidak ada yang berani mengganggu Patty. Mereka hanya berani mengganggu Olive atau Lexa kalau tidak ada Patty di sana.
Tapi... semua ingatan itu membuat Patty tersadar akan hal yang membuatnya sangat jengkel pada Nick.
"Okay, jadi waktu SD gua favorit lu tapi kemarin ini gimana?"
"Kemarin ini gua bukan lindungin Olive, tapi lu, Pat."
Patty jadi benar-benar kesal mendengarnya. Tanpa ia dapat tahan, nada suaranya menjadi tinggi dan ia membentak Nick. "Lindungi gua gimana? Lu ninggalin gua!"
"Gua... gua cuman nggak mau lu gegabah dan akhirnya menyesal saat tindakan lu berdampak pada Olive. Waktu itu gua nggak tahu alasan lu apa, jadi gua masih berharap lu akan berbaikan dengan Olive saat semuanya sudah selesai tanpa lu harus bertanggungjawab karena
perbuatan lu. Kemarin ini semuanya benar-benar brutal. Kalau gua nggak jagain Olive gua takut Olive kenapa-kenapa dan... lu merasa bersalah."
Patty tertegun sebentar. "Apa?" tanyanya pelan. Nick benar-benar berpikir seperti itu?
"Kenapa?"
Nick menatap Patty lembut, menggenggam tangannya dan berkata, "Karena lu teman favorit gua?"
Patty tertawa dan memukul Nick lembut. Pemandangan yang membuat Desi, yang sedari tadi mengintip dari pintu, tersenyum-senyum sendiri.
"Ah! Enya nya! Gues telat yoga (sudah terlambat yoga)!" seru Desi kemudian buru-buru masuk ke kamarnya melalui pintu di sisi kanan lorong.