"kukuruyuk" suara ayam terdengar. Itu bukanlah suara ayam milik Cahya, namun milik tetangganya. Sekitar jam empat dia pasti berkokok.
Cahya yang sedang asyik membaca buku ditemani dengan cahaya dari nyala lilin disampingnya, menutup bukunya.
Ternyata suara ayam tadi mengganggu konsentrasi Cahya. "Andai saja negara ini punya aturan ketat tentang memelihara hewan seperti di kerajaan tempat paman tinggal" kata Cahya sambil berdiri.
Berjalan ke sumur disamping rumah, ia mulai menimba. Di era yang seharusnya ia bisa mandi dengan menggunakan pompa sihir, ia masih menggunakan sumur dan menimbanya, tentu menimba manual dengan kekuatan fisik. Memenuhi air di bak mandinya yang luasnya dua meter, dengan tinggi dua meter juga, ia anggap sebagai latihan pagi.
Karena setiap pagi selalu dingin dan Cahya setiap pagi mandi dengan air hangat, setelah memenuhi bak mandi yang terbuat dari batu bata itu, ia bergegas mengambil kayu bakar.
Sambil menunggu airnya hangat, Cahya memotong kayu bakar untuk ia gunakan di esok hari.
Rutinitas ini terus berjalan sejak Cahya ditinggal oleh kedua orang tuanya. Tak peduli ia sedang sakit atau tidak, atau lelahnya pertempuran melawan monster di hari kemarin.
Untungnya meski musim hujan ,kamar mandi Cahya yang sederhana masih memiliki atap, jadi tak begitu berpengaruh, kecuali ia harus mandi lagi setelah berlari mengelilingi kota.
Kebiasaan ini bermula saat awal ia pindah setelah karantina, tepatnya delapan tahun yang lalu. Melihat pasukan pemerintah yang berlatih, ia mencoba menirukan gerakan mereka secara sembunyi - sembunyi.
Beberapa kali ia di usir karena dianggap meledek. Namun setelah beberapa minggu, melihat usaha dan ketelatenannya, beberapa tentara merasa kagum. Ketika Cahya ikut berlatih secara sembunyi - sembunyi, mereka berpura - pura tidak melihatnya.
Komandan pasukan yang melihat Cahya yang terus berlatih, akhirnya mengajak Cahya untuk lebih dekat dan ikut berlatih bersama mereka. Setiap pagi, Jam tujuh mereka berlatih pukulan dasar, tendangan dasar di akhiri dengan latih tanding.
"Hei,Cahya. Kenapa kau tidak ikut kami lari pagi juga " kata salah satu Tentara.
Dari situlah dia tahu kalau para tentara itu berlatih dari jam lima pagi. Awalnya Cahya mengira lari pagi dengan santai, namun setelah melihatnya.
"Ini bukan lari pagi, ini sprint pagi" para tentara itu berlari dengan cepat mengitari kota yang jika diperkirakan sekitar 45km, dua kali putaran selama satu jam.
Kemudian push up, sit up dan olahraga dasar lainnya selama empat puluh lima menit. Lima belas menit sarapan kemudian latihan seperti yang Cahya lihat selama ini.
Selama tiga bulan pertama, Cahya yang ikut berlatih secara resmi, baru bisa mengimbangi kecepatan para tentara. Tentu Cahya tidak membawa beban berat seperti tentara lainnya.
Komandan tentara yang selalu mengamati Cahya terkagum. Meski ia tahu tujuan Cahya adalah membunuh monster demi membalaskan dendam keluarganya. Ia tahu karena banyak tentara yang mengabdi adalah korban seperti Cahya, namun mereka telat menyadarinya dan ketika usia mereka menginjak dua puluh tahun ,barulah mereka mulai mendaftar menjadi tentara.
Melihat Cahya yang selalu serius ,atau lebih tepatnya antara serius dan murung, pada suatu malam komandan mengumpulkan pasukannya.
"Selama beberapa bulan terakhir kita berlatih dengan dia"
"Kalian juga pasti sudah tahu tujuan ia berlatih"
"Terlepas apapun tujuannya, tolong beri dia alasan untuk melanjutkan hidup dengan damai"
"Ceritakan hal hal menggembirakan di dunia ini"
"Setidaknya ia tidak menjadi kaku dan terlalu keras seperti kita dan saudara-saudara kita
yang gugur di masa muda"
Berkata seperti itu ,Komandan yang harusnya melanjutkan kata - kata atau perintahnya hanya tertunduk dan kembali masuk keruangan. Kembali mengingat beberapa anak muda yang menjadi tentara dan meninggal karena gegabah.
Pagi hari setelah itu, Cahya bertengkar dengan beberapa tentara saat berlari. Ia dipukuli "Dengar Cahya ,kau tidak pantas menjadi tentara, lihat dipukul sebentar saja kau sudah tersungkur" kata salah seorang tentara.
"Omong kosong" kata Cahya sambil mencoba berdiri.
"Sudahlah Cahya, bagaimana kalau kau membantu istriku berjualan bunga" sahut tentara lainnya.
Mereka sepakat untuk menggunakan 'polisi jahat dan polisi baik'. Ada tentara yang bersikap kejam ,menghina Cahya. Ada tentara yang baik, membantu Cahya. Namun tujuannya sama, supaya Cahya tidak menjadi Tentara.
Naasnya, Gembul, tentara yang lurus-lurus saja dalam berpikir ,ikut berbicara.
"kau tidak bisa menjadi tentara, jadi pemburu saja" katanya dengan wajah polos.
"Jadi pemburu ya" Cahya yang sudah bisa berdiri lagi bergumam, memikirkan perbedaan pemburu dan tentara.
Mendengar itu semua, sang komandan dari belakang memukul kepala Gembul, untung saja Gembul menggunakan helem.
"Baiklah aku akan jadi pemburu, dengan ini kalian tidak akan menghalangiku membunuh monster kan" jawab Cahya mantab sambil mengepalkan tangan. Walau serius, namun dengan wajah babak belurnya, ia tak terlihat keren sama sekali.
"Menjadi pemburu seorang diri, pfft" kata salah seorang tentara sambil berpura pura menahan tawa dengan mulutnya.
"Ya, apalagi dengan jobmu." timpal tentara yang lain.
Mendengar kata - kata "job" , Bocah yang selama berbulan bulan tidak menangis, menjatuhkan air matanya.
Ketidak berdayaannya, kenyataan bahwa ia tak bisa mengalahkan monster.
Para tentara dan komandan hanya diam. Ini sudah kesepakatan, agar Cahya tak membuang nyawanya untuk melawan monster.
"Ka- Kalau begitu aku mati saja" Kata Cahya yang merasa tak memiliki alasan untuk hidup. Tentu kata - kata itu mengejutkan mereka semua. Alasan untuk hidup. Tujuan untuk tetap hidup.
Komandan berjalan mendekati Cahya, berkata "Kalau begitu , buatlah guild pemburu terkuat. Karena dengan bersama-sama kau akan jadi lebih kuat"
"Bunuhlah semua monster yang merenggut keluarga dan rekan seperjuanganmu"
"Tetaplah berjuang dengan membawa tekat dari rekan seperjuanganmu yang telah tiada"
"Gunakanlah segala cara untuk tetap hidup dan melawan monster yang telah membunuh keluargamu"
Mungkin itu adalah isi hati komandan tentara untuk dirinya sendiri, Namun bagi Cahya , itu seolah menjadi arah jalan untuk pegangan hidupnya. Tujuan yang awalnya tidak begitu jelas karena tidak tahu bagaimana cara menggapainya. Kini terlihat jelas bagaimana cara menggapainya.
"Siap komandan" jawab Cahya dengan sikap hormat sambil tersenyum.
Para tentara itu baru sadar bahwa Cahya ternyata bisa tersenyum. Ekspresi yang selama ini tertinggal didalam hati Cahya setelah orang tuanya meniggal.
Komandanpun ikut tersenyum, dengan penuh semangat, ia berteriak " sudah cukup omong kosongnya!!! Terlambat satu menit, tidak ada sarapan bagi kalian!!!"
"Sekarang, Lari!!!"
----
"Hmm, nostalgia" kata Cahya sambil mengelap keringat dari atas tembok pembatas.
Menyambut sinar mentari pagi sembari melihat para tentara berlari mengelilingi kota dari bawah.
Cahya sebenarnya bisa saja berlari dari bawah, namun terlalu banyak gangguan. Karena beberapa tahun terakhir peraturan militer diperketat, Cahya sebagai warga sipil tidak boleh ikut berlatih bersama para tentara.
---
"Hmm rambutku sudah agak panjang, mrnding ku kuncir saja" kata Cahya, sambil menguncir rambutnya yang sudah sampai sebahu.
"Tok,tok tok" Suara orang mengetuk pintu.
"Permisi, paket" lanjut orang pengirim paket.
Dengan segera ,Cahya membuka paket berisi satu set pakaian pemburu. Jaket, kaos dan celana berwarna hitam. Jika dibandingkan dengan pakaian pemburu yang selama ini ia pakai ,jelas sangat berbeda.
"Sepertinya pas" kata Cahya sambil memberikan kantong berisi 400 koin perak.
Setelah kurir memastikan jumlahnya, ia pamit dan langsung pergi. Cahya melihat jam dinding , jarumnya sudah menunjukkan jam sembilan tepat. Cahya segera menutup pintu dan berganti pakaian.
Walau pakaian pemburu yang ia pakai selama ini dan yang baru sama sama tingkat rendah, pakaian baru kali ini kualitasnya sangat bagus di antara pakaian pemburu dengan tingkat rendah lainnya.
Selain dapat memperbaiki kain secara otomatis sama seperti pakaian pemburu lainnya jika dibawa ke tempat laundry, pakaiannya kali ini memiliki sedikit daya tahan terhadap serangan fisik maupun sihir.
Jika ia masih di tim, dia tidak akan membeli set pakaian ini. Namun karena ia sendirian ,kemungkinan ia diserang oleh monster lebih tinggi.
Tentu dengan kondisi fisiknya saat ini ,melawan beberapa monster tingkat rendah seperti kelinci dan tikus adalah hal mudah. Namun targetnya mulai hari ini adalah mengincar monster monster yang berada di tingkat atasnya. Salah satu alasan utamanya adalah untuk mengejar ketertinggalan dengan pemburu dan petualang seangkatannya.
Setelah menggunakan sepatu hitam kesayangannya, Cahya keluar dari rumah.
Menghampiri warung dekat rumah.
(Jurus pasif Perkecil - batal)
Kantong kecil yang ia pegang tiba tiba kembali ke ukuran semula.
"Pak tua, ini 30 koin perak untuk sarapanku bulan depan." Kata Cahya sambil meninggalkan warung kecil itu. Selain murah, porsi yang diberikan cukup banyak.
Melihat beberapa orang bertubuh kekar menuju kedalam warung.Cahya melihat tubuhnya, sampai sekarang ia masih keran, kenapa tubuhnya tetap saja kurus. Padahal ia sudah berlatih sejak kecil. Dulu, Cahya juga sempat bertanya akan hal ini pada para tentara.
Mereka hanya mengatakan bahwa bentuk fisik seseorang itu bisa saja dipengaruhi oleh faktor keturunan, walau makan dan berlatih bagaimanapun tubuhnya akan tetap begitu.
Meskipun itu tak mempengaruhi kekuatan fisiknya, akan tetapi jika tubuhnya tertutupi oleh pakaian, ia seperti pemuda yang tak pernah berlatih fisik.
"Ohohoho~. Kau datang juga Cahya" Kata Pak Parman, dia adalah salah satu anggota tentara yang berlatih bersamaku dulu. Setelah pensiun dini, ia bekerja sebagai satpam di akademi.
"Anda selalu ceria seperti biasanya pak. Seperti pemburu dan petualang lainnya, aku berencana mencari anggota baru." Jawab Cahya.
"Hmm, akibat ulahmu, akademi menjadi lebih kompetitif.Lulusan sekarang berbebeda dengan lulusan sebelummu. Singkatnya, mereka menjadi lebih kompeten" kata pak Parman serius.
"Mau bagaimana lagi, sistem akademi pemburu terlalu nyaman untuk calon pemburu. Dan anak pejabat yang meminta perlakuan khusus. Menjijikkan" kata Cahya.
Pada awal masuk akademi ,Cahya sudah berani mengajukan proposal kepada komite sekolah. Mendekati guru - guru berpengaruh dan yang haus akan prestasi untuk meningkatkan gaji dan jabatan mereka. Karena Cahya tidak begitu membutuhkan panggung di akademi, dan secara jangka panjang ia masih membutuhkan koneksi orang orang penting di akademi, Cahya lebih memilih menjadi pemain dibalik layar.
Salah satu keuntungannya ialah, dia dapat mengakses data atau buku - buku penting. Cahya percaya bahwa bukan hanya job dan jurus saja yang mempengaruhi bagaimana cara melawan monster. Semua hukum alam juga berperan pesar. Seperti buku cerita anak-anak tentang legenda seorang pemburu.
Pemburu pertama yang berani melawan monster, Pahlawan pemberani yang dalam perjalanannya mengajak semua orang pemberani untuk bersama-sama dengannya melawan monster. Namun ada celah besar sebelum si pemburu itu bertemu dengan pemilik job pembantu dengan jurus status.
Bagaimana ia melawan monster?
Apakah ia hanya bermodalkan senjata saja?
Mengingat jurus hanya bisa didapat dengan menggunakan batu pengetahuan yang dijatuhkan oleh monster dengan kemungkinan untuk mendapatkannya lumayan kecil. Dalam beberapa penelitian ,kemungkinan untuk mendapatkan batu pengetahuan dari 100 monster ialah satu sampai dua batu.
Pada era itu, pahlawan baru mengetahui adanya jurus ketika bertemu dengan rekan dengan job pembantunya.
"Pak, aku pergi ke perpustakaan guru dulu" kata Cahya
"Ehh, tidak langsung ke aula perekrutan?" Tanyya Pak Parman heran.
"Tidak, ada beberapa buku yang mau aku pinjam"
"Mungkin setelah itu ,aku baru ke aula" Kata Cahya sambil beranjak pergi.
---
"Buku-buku ini akan aku pinjam selama dua hari" kata Cahya. Berbeda dengan perpustakaan siswa, Perempuan penjaga perpustakaan guru adalah mantan pemburu.
Penjaga tidak berada di meja peminjaman, ia bersembunyi di balik bayangan yang ada diperpustakaan, karena ia dulunya adalah pemburu dengan job petarung (pembunuh) dengan jurus bayangan.
"Wusss" Pintu perpustakaan terbuka. Menandakan bahwa ia boleh meminjam buku buku itu.
"Terimakasih" kata Cahya sambil melihat bayangan di ujung tumpukan buku buku.
Pintu perpustakan terhubung langsung dengan lift, dari perpustakan bawah tanah ini, menuju ke lantai satu. Dari lantai satu, Cahya harus melewati koridor untuk sampai ke Aula perekrutan.
Sesosok wanita dengan pakian pendeta berada di ujung koridor menuju aula, rambut panjangnya melambai lambai di tiup angin. Ia adalah Lastri, nampaknya ia menunggu Cahya datang.
"Cahya, kenapa kamu datang kesini, bukankah sudah kubilang untuk berhenti menjadi pemburu" kata Lastri dengan serius namun tak menghilangkan sisi imutnya.
"Wussshh" dengan kecepatan penuh ,Cahya berlari ke Lastri. Menarik tangan Lastri dan menyudutkannya di tembok dekat pintu masuk.
"Bamm" suara tangan kiri Cahya menggebrak tembok, tepat disamping wajah Lastri.
Untungnya ruang aula adalah ruangan kedap suara. Kondisi koridor juga sepi, karena upacara kelulusan didalam aula perekrutan masih berlangsung.
Dengan tatapan tajam Cahya berkata " Jangan ikut campur."
"Ta-tapi, I-ini semua demi kebaikanmu" kata Lastri gemetaran.
"Hahaha, jangan bercanda. Setelah kejadian kemarin , kalian hanyalah kenalan seangkatan"
"Jangan sok dekat!" Kata Cahya dengan sedikit nada tinggi.
"Ka-kamu tidak tahu apa yang me-mengancam -"
"Bamm!!!" sekali lagi tangan kiri Cahya memukul tembok. Lastri hanya bisa memalingkan
muka.
"Aku tak peduli, buang rasa simpatimu. Seolah olah kau berkorban demiku. Munafik sekali"
Mendengar kata - kata yang kejam, Lastri hanya bisa terduduk lemas. Tanpa segan, Cahya meninggalkan Lastri dan masuk ke Aula.
"Yoo, Cahya ,sepertinya kau sedikit terlambat!" Kata Juna.
Rupanya perekrutan sudah selesai. Para lulusan yang membentuk tim satu angkatan beberapa sudah meninggalkan aula ,lewat pintu keluar dekat podium. Lulusan yang masih ada didalam aula adalah lulusan yang sudah direkrut. Mereka masih berada di aula untuk menunjukkan job dan jurus yang mereka punya.
"Sampai jumpa lagi, aku mau menghampiri beberapa anggota baru kami ,disana" kata Juna sambil menunjuk ke arah Sebastian dan timnya yang dikerumuni beberapa lulusan.
"Ahahaha, sepertinya aku sedang sial" kata Cahya.
Walau demikian ia tahu, bahwa ia sudah dijebak. Jika Lastri tak berhasil mengulur waktu. Maka dari balik pintu, Juna yang akan mengulur waktu.
Cahya dengan santai meninggalkan akademi. Bertemu kembali dengan pak Parman.
"Gagal?"
"Yup, mereka selangkah lebih dulu. Sampai jumpa lagi Pak Parman" kata Cahya sambil melambaikan tangan kanannya. Meninggalkan gerbang akademi.
"Setidaknya,kau perlahan bisa mengendalikan emosimu" kata Pak Parman sambil tersenyum melihat Cahya dari belakang. Tangan kirinya tidak menggenggam. Salah satu orang yang tidak tenang akan terlihat dari gestur tubuhnya. Entah itu menggerakkan jarinya, atau menggenggam erat tangannya ketika ia marah atau tidak terima.
Tapi Pak Parman juga tak lupa, tentang salah satu peribahasa umum. Air bersirak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan.