Mendengar namanya saja sudah membuat jantungku berdegup kencang. Bukan sehabis menunggang kuda mengitari alun - alun kota, itu karena Earl Dunkins sedang terpesona melihat Anne sedang menyeberangi kolam kecil bersama dengan teman - temannya.
"Hati - hati, Anne! Ada angsa yang mau menyeberang," pungkas perempuan bergaun putih kekuningan di belakang punggungnya.
Karena terkejut dengan gerombolan angsa yang berenang menyeberang di depannya, Anne menjadi kaget. Kedua kakinya menjadi tidak seimbang. Topi bundarnya terjatuh di kolam. Sementara kedua selop sepatunya terendam penuh air seperti setengah tubuhnya yang masuk ke dalam kolam.
"Angsa yang tidak berguna!"
Perempuan bergaun ungu lavender itu menepuk air kolam dengan kesal. Hentakan keras dari tangannya membuat pipi perempuan berwajah oval itu penuh dengan cipratan lumpur.
Anne pulang dengan gaun kotor. Dengan kepala menunduk, bibir mengerucut dan kata - kata yang tajam, ia menyapa Earl dengan dingin.
"Ada apa denganmu, Anne?" tanya lelaki tinggi kurus dengan helm kudanya yang masih terpakai di kepala.
"Maaf, Earl. Aku tidak fokus," jawabnya menunduk memberi salam hormat kepada suaminya. Salah satu kakinya ditekuk sedangkan kaki yang lainnya mengikuti.
"Kau belum menjawab pertanyaanku," balas Earl dengan penuh tatapan penasaran.
"Aku habis terjatuh di kolam," jawabnya agak malu - malu. Kemudian, perempuan itu pun berlari menuju ke belakang.
Earl Dunkins menyadari istrinya sedang dalam masa perkenalan. Wajar, bila perempuan muda yang baru dinikahinya tiga tahun lalu membutuhkan waktu untuk beradaptasi di lingkungan baru.
Remington adalah kota yang jauh dari ibukota. Relatif pedesaan, tanah berbukitan dan mayoritas dihuni para petani dan peternak.
Kondisi yang lebih damai dan stabil ini berbanding jauh dengan Mallis. Kota yang dekat dengan ibukota negara. Penuh dengan hingar bingar kemewahan dan rakyat sosialita yang membuat Anne tersenyum.
"Janet, kapan kita bisa kembali ke Mallis?"
Perempuan berkulit putih bersih melepaskan gaun kotornya di depan pelayan pribadinya.
Tangan - tangan kasar dari para wanita itu bergegas mengambil gaun kotornya, memasukkan ke dalam keranjang dan membawanya keluar untuk diganti dengan gaun baru. Sementara sisanya akan menemani Anne untuk mandi dan bersiap.
Salah satu pelayan wanita berambut merah tersenyum lembut kepada Anne. "Nona, kita masih satu minggu di sini. Kenapa Nona sudah merindukan Mallis? Bukankah di sini lebih tenang, Nona?" bujuknya pada perempuan pirang untuk duduk di dalam bak mandi. Ia pun bergegas mengambil penggosok tubuh.
"Remington sangat sepi." Wajah Anne menatap ke luar jendela dengan murung. "Tidak seperti di Wallis. Ada Mampis, Gloria dan Delavone yang setia menemaniku kemana pun aku mau pergi."
"Sayangnya, ketiga teman bangsawan Nona sudah menikah bukan?" Janet menaburkan kelopak bunga - bungaan segar di dalam bak mandinya. Kemudian, dia menuangkan sabun mandi cair ke dalam air hangat dan membantu para pelayan wanita lainnya yang sedang menggosok tubuh mulus Anne. "Saya yakin mereka sudah pindah ke kota lain mengikuti suami mereka. Siapa tau Nona adalah perempuan yang paling beruntung mendapatkan tempat yang baru. Percayalah pada Earl, Nona. Beliau tidak mungkin mengambil tempat dinas yang salah."
Semua orang mendukung keputusan Earl Dunkins. Pilihan yang tepat tak membuat Anne segera berhenti berkeluh kesah. Nyonya muda rumah itu berulang kali membuat masalah. Hujan - hujanan, berlariam di bukit yang curam, melemparkan topinya di ujung tebing, hingga menunggang kuda liar yang membuat pinggulnya patah dan kedua kakinya di perban.
Earl menggangap semua itu hal yang wajar.
Pegawai pemerintah kerajaan yang sedang bertugas ini memberikan kotak - kotak hadiah berisikan perhiasan permata sepanjang masa penyembuhan Anne. Tak pernah terlewat sehari pun, bagi Earl untuk berhenti berburu di pasar perhiasan.
"Tuan, Anda banyak sekali memesan perhiasan akhir - akhir ini. Apakah Nyonya sedang mengidam, Tuan?" goda pembuat perhiasan pada lelaki berblouse putih itu.
"Tidak."
"Apa? Apa saya tidak salah dengar, Tuan?" ucap tukang perhiasan itu sekali lagi. "Tuan kalau ingin merahasiakan berita ini tidak apa - apa. Saya bisa menyimpannya rapat - rapat."
"Kau ini bisa saja."
Earl Dunkins agak malas menanggapi guyonan tukang perhiasan itu. Rumor yang mengabarkan bahwa Anne sedang hamil jelas ditampik oleh Earl sendiri. Selain belum menyentuhnya di ranjang, Ia sama sekali belum pernah memegang tubuh mana pun dari istrinya Anne.
Usia pernikahan mereka sudah berkepala tiga. Ratu mengirimkan sebuah surat rahasia yang memerintahkan agar Earl Dunkins bergegas memiliki keturunan. Sebab, pemimpin negeri ini memiliki keinginan untuk mengambil anak keturunannya sebagai calon perdana menteri dari putra mahkota kelak.
Dengan perasaan gelisah, cemas dan bercampur ketakutan, Earl masuk ke dalam kamar Anne.
Saat itu, ia sedang duduk di depan meja rias. Pelayan wanita sedang menyisir rambutnya yang setengah basah. Sementara, punggung gaunnya masih belum tertutup dengan rapat.
"Tuan Dunkins!"
Suara tinggi Anne melihat wajah lelaki halalnya membuat kedua mata hijau Anne membulat. Perempuan kurus berambut pirang terurai sepanjang punggung itu hentak berdiri dari kursinya.
"Kalian semua pergilah."
Tak banyak tanya macam - macam, wanita - wanita itu pun berlari keluar dari kamar Anne.
"Tuan Dunkins, sudah kubilang, jangan pernah Anda masuk ke dalam kamar ini tanpa ijin dariku," cecar Anne berlari ke arahnya dengan penuh kemarahan.
"Aku minta maaf, Anne. Tapi ini sangat darurat," menunjukkan sepucuk surat dari sang Ratu.
Anne duduk di ranjang membaca surat rahasia berstempel itu dengan saksama. Matanya menatap coretan tangan dengan lekat - lekat. Sementara otaknya sedang mencerna isinya dengan khidmat.
Disampingnya ada Earl Dunkins yang berdiri cemas. Ia takut istrinya akan bereaksi berlebihan.
"Ratu menginginkan anak?"
Anne menatap Earl dengan penuh ketegasan. Pancaran sinar di wajahnya membuat Earl membaca bahwa istrinya benar - benar menolak.
"Seperti yang tertulis di sana, Anne. Aku tak bisa menolak."
Earl tidak akan mengirimkan surat penolakan kepada Ratu. Penjaga di sana pasti bakal langsung menegurnya keras di parlemen dan partainya bakal mengucilkannya. Sebagai bangsawan kelas rendah, ia tak mau mengambil risiko itu.
Merasa frustasi ide dalam otaknya di tolak mentah - mentah. Anne mulai melayangkan gugatan dan desakan yang lebih parah.
"Apa Tuan akan berdiri di sini? Diam saja saat Ratu menindas privasi rumah tangga kita?" tatap Anne pada wajah datar itu. "Lakukan sesuatu, Tuan!"
"Sudah kubilang tidak ada jalan lain, kecuali membuatmu positif hamil, Anne."
"Aku. Aku tak mau hamil." Dia katakan dengan jelas sambil terduduk menangis. Ia tak mau mengandung anak dari suaminya. "Sakit, lelah dan itu membuatku jadi menua."
Terseret - seret menuju ke arah Earl. Perempuan muda yang cantik jelita itu meminta di bawah kaki suaminya agar permintaannya dikabulkan. Dia akan melakukan apa pun. Asalkan tidak membuatnya hamil demi memenuhi perintah sang ratu.
"Baiklah, Anne. Aku akan melepaskan tanggung jawab itu darimu. Sekarang, kau boleh beristirahat."
Suasana hatinya yang suram langsung ceria. Perempuan bergaun merah muda terang itu bercingkrak ceria dan tertawa.
Earl yang kecewa itu hanya bisa berjalan keluar dari kamar istrinya. Seraya memikirkan bagaimana cara mendapatkan permintaan itu dengan segera.
***