Dunia seolah berhenti bersama kematian Garanggati.
Napas masih berjalan, namun hidup tak lagi berseri.
Hanya Nistalit yang terus bekerja, sebab kedua belah tangan dan kaki memang ditakdirkan tak pernah berhenti. Nami, menyelesaikan pengerjaan tombak ketiga dengan sepenuh hati hingga menjadi senjata indah yang berbahaya. Jauh di lubuk kalbu, gadis itu tak memahami untuk siapa peruntukan tombak tersebut.
❄️💫❄️
Jubah malam perlahan melambai turun bersama kedipan sabit bulan.
Para Nistalit yang lelah bekerja, beristirahat di tenda-tenda sekitar benteng Aswa sementara Nami teronggok bagai bangkai, kelelahan terkulai di samping tombak ketiga. Sindu belum bergabung kembali, entah di mana keberadaannya. Apakah masih mengabdi sebagai hulubalang Sabuk Emas ataukah bergabung bersama pasukan Milind. Tanpa Gosha, Nami berlatih sendiri sesuai arahan sang guru. Memperkuat pijakan kaki, mengokohkan seluruh bagian tangan, membiasakan menggunakan senjata panjang sebagai pengganti pedang.
Mimpi suram.
Bayangan gelap.
Cekikan mimpi.
Tak ada tidur yang tenang sepanjang hidup sebagai Nistalit.
Teriakan. Jeritan.
Tetiba tersadar, semua bukan berasal dari alam bawah sadar.
"Namiiiiii!"
Terbangun tetiba. Suara Aji dan Usha! Berapa lama sudah ia tak membersamai dua kakak beradik itu?
Seketika menyambar tombak pendek, mengeluarkannya dari sarung. Berlari ke luar dari bilik Garanggati, menuju tenda Nistalit. Samar kerlip lampu yang menerangi tepian benteng dan tenda-tenda, darah terpercik membasahi kain-kain pelindung.
Satu sosok mengerikan mengejar Nistalit yang kalang kabut mencari perlindungan.
"Aji! Ushaaaa!"
Langkah ringan Nami bergerak cepat, tombak menyasar penyusup ganas, pembunuh Nistalit yang tengah terkulai beristirahat. Senjata berbahan baku mahatarundara atau poorva auriga memberikan hasil cepat : tubuh lawan tertembus, meninggalkan jejak mengepul di lubang luka.
Lekas tombak dicabut kembali, dengan kedua belah tangan, Nami menggenggam erat tombak menyongsong musuh yang berikut.
"Nistalit bercakar!?" gumam Nami berkeringat. Bimbang harus membunuh wangsa sendiri, namun mereka bukan lagi kaumnya. Nistalit tak akan membunuh sesama!
"Nami!" Aji dan Usha memburu ke arahnya, berpegangan pada pakaiannya.
"Aji! Bawa Usha masuk ke benteng!" perintah Nami. "Bawa yang lain juga!"
Walau Aji masih muda, pengalaman berada di berbagai medan sulit membuatnya cepat dewasa. Saat Nistalit yang lain ragu dan malu memasuki benteng Aswa, Aji justru meyakinkan dengan bergerak cepat. Membimbing Nistalit yang ketakutan, kalang kabut menghadapi penyerang.
"Nami!" teriak Dupa menghampiri. "Kita diserang!"
Melihat senjata di tangan gadis itu, Dupa terbelalak. Meski tanpa banyak cakap, keduanya saling mengangguk, memberikan isyarat maju bersama-sama. Prajurit Nistalit tumbang beberapa terkena sabetan Nistalit bercakar yang tetiba muncul dari dinding malam.
Pedang Dupa dan tombak Nami menyerang musuh dengan segera.
Mata merah. Taring mencuat. Tubuh bagai mayat hidup yang terlihat liat namun lunglai, berjalan tanpa sadar, hanya menyasar Nistalit demi menghabisinya. Lengan-lengan bercakar tajam mencabik tanpa ampun.
"Hati-hati, Dupa!!"
Menghadapi lengan bercakar, jangkauan pedang Dupa tak terlalu menguntungkan. Sebaliknya, tombak di tangan Nami justru bermanfaat menjauhkan tubuh dari jangkauan kuku-kuku berbisa.
"Dupa, masuklah!"
"Aku tak akan membiarkanmu sendirian!"
"Berbahaya bagimu!" teriak Nami khawatir.
Dupa tak mengindahkan. Ia maju dengan pedang di tangan, menyasar Nistalit bercakar yang membabi buta, mencabik, membunuh Nistalit pekerja yang tak berdaya. Perkiraan Nami tak meleset. Dupa kerepotan hingga Nami harus membagi perhatian antara melindungi para Nistalit serta melindungi Dupa.
"Arrrgggh!"
"Dupaaa!"
Teriakan kesakitan menyengat pendengaran.
Satu Nistalit bercakar berhasil mengayunkan lengan panjangnya ke arah Dupa, menyayat bahu. Serta merta Nami memburunya, mengayunkan tombak dengan lincah dan kuat ke arah Nistalit yang seketika roboh tertembus tombak.
"Bertahanlah!" sebuah suara memecah keheningan.
Gosha dan para hulubalang segera bergabung, mencoba menyelamatkan Nistalit yang tersisa. Tombak panjang buatan Garanggati dan tempaan Nami berada di tangan Gosha, berkelebat ringan. Keahlian panglima Aswa tak pernah luruh dari dirinya, hingga dalam beberapa jurus, para Nistalit bercakar bertumbangan.
"Selamatkan semua Nistalit!" perintah Gosha.
Seluruh Nistalit berlarian masuk benteng, yang masih sehat ataupun terluka.
Kekacauan malam itu benar-benar mencengangkan. Darah, bau anyir, aroma busuk, uap terbakar campur aduk menjadi satu. Nistalit pekerja yang menempa senjata poorva auriga, tewas berjumlah puluhan. Jika dihitung, hampir mencapai angka seratus.
Hati Nami berdesir pilu. Mengapa hingga saat ini, kehidupan Nistalit selalu di ujung tanduk?
❄️💫❄️
Hingga pagi, Nami beserta Nistalit yang masih tersisa menggali lubang-lubang pemakaman bagi saudara-saudara mereka. Isak tangis kehilangan, sumpah serapah tertahan. Ratapan nasib. Nami termenung saat menguburkan mayat terakhir, teringat bagaimana ia menyandarkan mayat Ki Dam dahulu. Tetua Nistalit yang mati karena cambuk Kuncup Bunga dan mayatnya harus dihadapkan matahari agar melebur menjadi debu bersama angin.
Dupa telah mendapatkan pengobatan serbuk poorva auriga dan tertidur. Nami memandanginya penuh rasa iba. Hulubalang Anan, pengawal Gosha di benteng Aswa Girimba memberikan beberapa pakaian putih kepada para prajurit Nistalit termasuk Nami.
"Tuan Gosha memerintahkan agar pakaian kalian yang tercabik digantikan pakaian ini," Anan memberikan setumpuk baju.
Nami tertegun melihatnya.
"Hulubalang Anan," ujar Nami, "apakah ini tidak melanggar peraturan? Nistalit tidak diperbolehkan mengenakan pakaian yang sama dengan pakaian Akasha dan Pasyu."
"Tak masalah bagi Tuan Gosha, Prajurit Nami," Anan tersenyum. "Lagipula, apa kau mau mengenakan terus pakaianmu yang berbau busuk itu?"
Nami menciumi lengannya dan benar, pakaiannya bercampur bau anyir darah Nistalit serta bau busuk Nistalit bercakar.
"Bila kau sudah melepas penatmu," ujar Anan khusus kepada Nami, "Tuan Gosha memintamu segera bergabung. Pagi ini ada hal penting yang akan dibicarakan."
Bahkan, hanya sejenak terlelap di malam tadi, pikir Nami. Setelah membasuh diri dan menyandarkan kepala sejenak, undangan Anan untuk segera bergabung bertalu memanggil di gendang telinga.
❄️💫❄️
Meski kuyu dan lelah, dalam balutan pakaian putih serta celana panjang gelap khas Nistalit, penampilan Nami terlihat berbeda.
Gosha tersenyum melihatnya.
"Kau pasti lapar," tebaknya.
Benar.
Ketika Gosha mempersilakannya duduk, lahap Nami menyantap hidangan yang disajikan. Sepiring umbi rebus berbagai jenis masuk ke perut. Tak disadari oleh gadis itu, ada sosok lain yang tengah berdiri di bilik Gosha, berdiri tenang dalam diam.
"Tuan tak makan?" tanya Nami.
"Tidak," Gosha menggeleng. Sembari bergurau melanjutkan, "Kau menghabiskan jatah makanan Dupa."
Nami terbatuk.
"Makanlah yang banyak," Gosha menenangkan. "Kau harus sekuat Turangga dan Sembrani."
Terdiam sejenak, Nami berujar pelan, "Hamba harus sekuat Vasuki."
Gosha menatapnya dalam, memperingatkan, "Hati-hati dengan bicaramu, Prajurit."
Nami meneguk minuman. Menarik napas panjang, memandang piring makannya yang kosong. Mengingat Nistalit bercakar semalam yang demikian ganas membuat nyalinya sedikit menciut. Bagaimana memiliki kekuatan seperti itu, tapi tak membahayakan? Bisakah menjadi Vasuki tanpa menjadi jahat?
Sebuah suara menegurnya dari arah belakang.
"Kau ingin seperti Vasuki, Nistalit?"
Tenang.
Datar.
Dingin.
Aroma dedaunan yang khas menyambar indera penciuman.
Terkejut, seketika terbangun dari duduk, Nami terkesiap. Mengapa ia tak menyadari kehadiran sosok yang sekilas dilihatnya saat masuk, namun tak terlalu diperhatikan? Sosok itu berpakaian gelap, hingga Nami beranggapan ia adalah salah satu Nistalit yang melayani Gosha atau prajurit biasa.
Suara yang didengar, membuat tubuh Nami gemetar.
Kedua belah tangannya merapat di depan dada, memberikan hormat yang dalam.
"Menghaturkan salam pada Panglima Milind," bisik Nami.
Gadis itu terdiam kemudian.
"Kau kehilangan rasa hormatmu pada Panglima Gosha?" tegur sosok tegap di depannya.
"Milind!" tegur Gosha mengingatkan.
Nami menunduk, merasa sangat tak enak hati. Ia terlalu lancang ketika berhadapan dengan Gosha dan sering melupakan kedudukannya sebagia ksatria tinggi.
Seketika, ia mengulangi memberi hormat pada Gosha sembari mengucapkan kalimat yang sama.
"Aku adalah guru Nami sekarang," Gosha menjelaskan, seolah membela, "sebagai ganti Pandhita Garanggati."
Milind menatap Gosha dalam.
Apa yang akan dipikirkan Vanantara bila tahu Gosha melatih Nami? Vanantara berseberangan dengan Garanggati di akhir hidup sang pandhita. Raja pun berkeinginan menjodohkan Yami dan Rakash, sembari mejauhkan Gosha dari kehidupan Wanawa.
"Kau keberatan, Milind?" pancing Gosha, menangkap kegelisahan di wajah sahabatnya. "Andai kau ada di sini malam tadi, kau akan melihat bahwa kemampuan memainkan tombak menjadi keuntungan tersendiri bagi Nami. Ia bisa mengajarkan itu pada Nistalit lain."
Tersenyum sembari menunduk, Milind menggeleng ke arah Gosha. Memberikan isyarat bahwa tak ada kesalahan yang telah dilakukan mantan panglima Aswa.
Keheningan sesaat menimbulkan kekakuan yang mengganggu. Nami berdiri tegak, tak berani beranjak. Gosha mempersilakan Milind duduk.
"Hamba undur pamit, Tuan Gosha," Nami memberikan hormat sembari menarik diri.
"Pamit?" Gosha mengernyitkan kening. "Kau tak ingin mendengar kabar dari Panglima Milind?"
Nami menghela napas. Mengapa ia merasa sang guru tombaknya berusaha menggoda atau menyindirnya? Sebelum menjawab apapun, terdengar Milind bersuara.
"Gosha, bisakah kau ke luar sebentar?" pinta Milind.
Tertegun, baik Gosha atau pun Nami. Walau Gosha segera menyadari, bahwa Milind pasti memiliki tujuan tertentu ketika meminta satu hal. Sebaliknya, Nami berharap Gosha tetap di tempat agar dirinya mampu berdiri tegak menghadapi Milind.
Ketika Gosha ke luar ruangan, seluruh dinding terasa dipenuhi uap beku yang menggigilkan. Nami bahkan perlu mengepalkan tangan keras-keras agar hawa panas menjalari tubuhnya.
"Duduklah," perintah Milind yang lebih dahulu duduk.
Nami menurut, berada jauh di ujung meja, berusaha menyembunyikan diri.
"Kau takut padaku?" pancing Milind.
Ternganga mendengarnya. Perlukan itu ditanyakan? pikir Nami. Seluruh Nistalit menaruh hormat dan rasa takut pada panglima Wanawa. Bahkan raja Vasuki pun demikian! Apatah lagi dirinya yang hanya gadis lemah.
Tanpa menjawab, seolah Milind telah mendapatkan gambaran.
"Kalau kau takut padaku, apakah kau akan berkata jujur?"
Hembusan udara ke luar dari mulut Nami pelan-pelan.
"Apa yang ingin Tuan Panglima tanyakan?" bisikan Nami bergetar pelan.
Milind terdiam sejenak, mengulur sedikit waktu demi menancapkan rasa tunduk di hati lawan bicara.
"Aku turut berduka atas kematian para Nistalit, saudara-saudaramu," ucap Milind lembut.
Tanpa sadar, Nami mengangkat wajah, terkejut dengan kalimat yang meluncur dari mulut sang panglima. Mata mereka bersinggungan sejenak, mengakibatkan Nami segera menundukkan pandangannya kembali.
"Jika di kalangan Akasha terdapat pengkhianat, aku pun menduga ada pengkhianat di kalangan Nistalit," ujar Milind tegas.
Tersedak.
Tak percaya.
"Kau tahu Pangeran Ananta hal Vasuki?"
❄️💫❄️