Kemewahan tampak tak berarti saat ini. Istana, pilar-pilar, permadani, peraduan dan bantal empuk, pakaian halus, perhiasan bertahtakan permata; segalanya luruh dalam ketenangan dan kedamaian.
Bagaimana mungkin yang gemerlap luruh ketika gadis itu hadir di hadapannya, hanya tersisa ketulusan dan kesederhanaan. Kavra membalas salam hormatnya dengan anggukan.
"Maafkan mengganggu waktu istirahat Panglima," Nami tampak sungkan. "Hulubalang Han mengatakan hanya sebentar waktu yang hamba miliki."
Kavra menarik napas.
Sebentar?
"Barang yang kau maksudkan, apakah kau bawa?" Kavra langsung ke maksud tujuan.
Nami mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari balik sabuk hitam.
"Apakah Tuan dapat membantu?" Nami bertanya pelan. "Hamba tak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa."
"Milind tak bersedia?" pancing Kavra.
"Hamba sama sekali tak menghubunginya," Nami menjelaskan, menarik napas perlahan. "Bila ini menyangkut salah satu prajurit dan hulubalang Wanawa, Panglima Milind tak mudah menerima."
Kavra menatap bungkusan di tangannya.
Menimbang-nimbang.
"Kau tahu, hubungan Wanawa dan Gangika, Prajurit Nami?" Kavra bertanya tajam.
Nami menunduk, memberi hormat yang dalam.
"Hamba memohon pada Panglima Kavra, bila Tuan berkenan," Nami memohon sangat. "Bila Tuan tidak bersedia, hamba akan cari cara yang lain. Mohon maafkan bila ini menyulitkan."
"Cari cara lain?" Kavra menggumam.
Nami menanti dengan tegang.
"Aku akan memberimu jawaban secepatnya," Kavra memutuskan. "Han akan menghubungimu. Sekarang, kembalilah ke tempatmu di Girimba."
Sebentuk panah beku nan dingin seolah menembus sepanjang tulang belakang Nami. Tempatmu di Girimba, hati Nami berbisik mengulang. Apakah Nistalit punya tempat tinggal? Rumah? Pemukiman? Janji Vanantara masih belum terwujud hingga sekarang, sampai tugasnya selesai.
Kavra menatapnya, menunggu.
"Masih adakah yang ingin kau sampaikan?" tegur Kavra.
Nami tergeragap, tanpa sadar mengangkat wajah. Pasi sesaat, menyadari telah berbuat dan melangkah terlalu jauh sebagai Nistalit. Ketika sosok gadis itu menghilang, Kavra merasakan rongga besar ruang kosong menganga di biliknya yang sepi dan sunyi.
❄️💫❄️
Sebuah pertemuan singkat diam-diam terselenggara di ruang bawah bilik Kavra yang biasa ia gunakan sebagai tempat berlatih.
"Kau gila, Kavra!" sentak Akara.
"Pandhita! Hamba mohon!"
"Apa hubunganmu dengan Nistalit ini?"
"Ia butuh pertolongan untuk mengungkap kejanggalan."
"Gangika tak harus bertanggung jawab terhadap Wanawa!"
"Bila ada pengkhianat di Wanawa, apakah sudah pasti Gangika bersih?"
"Aku tak setuju. Terlalu berbahaya bagimu, bagi Nistalit itu, bagi kita semua."
Kavra menatap Akara, "apa karena ini menyangkut…dayang Yusa?"
Akara menatapnya dengan dada dipenuhi amukan rasa, "Jangan berpikir macam-macam!"
"Pandhita Akara," Kavra menatapnya tajam, "hamba bisa saja menemui dayang Yusa sendirian. Hamba hanya ingin melibatkan Pandhita dalam hal ini."
"Kenapa?" Akara tampak bertanya-tanya.
Kavra melembutkan tatapannya, "Sebab, hamba sendiri ingin menemukan jawaban atas sekian banyak pertanyaan."
"Pertanyaan apa?" Akara mengerutkan dahi.
Kavra menggeleng kepala, mencoba menepis berbagai macam pertimbangan tumpang tindih, "Hamba sedang menghadapi banyak tugas dan masalah. Bisakah Pandhita Akara ikut bergabung bersama hamba malam ini? Di sini, di tempat ini. Akan hadir Han, dayang Yusa dan prajurit Nami."
Akara menatapnya penuh selidik, seolah ingin membelah hati panglima di depannya.
"Ada apa antara kau dengan Nistalit ini, Kavra?"
"Tidak ada apapun, Pandhita," Kavra menegaskan. "Ia pernah menjadi prajurit Gangika, sekarang harus tinggal di Girimba. Ia mempertaruhkan nyawa dengan melawan arus ke Gangika. Hamba sendiri tak tahu bagaimana tanggapan Milind bila tahu salah satu prajuritnya membawa berita rahasia."
Saat mereka saling memunggungi untuk berpisah, Akara memanggil namanya. Tak saling berhadapan, justru berdiri membelakangi.
"Kau ingin mempertemukanku dengan Yusa, Kavra?" tanya Akara, pada akhirnya dapat menyimpulkan. "Apa karena kau ingin mempertanyakan nasibmu ke depan, bila kau mengalami apa yang kualami?"
Kavra tertegun.
Akara tersenyum sedih, menundukkan pandangan.
"Jangan pernah menaruh hatimu pada gadis yang tak pantas," saran Akara. "Kau akan berakhir menjadi pandhita. Yusa beruntung, tak mendapatkan hukuman karena ia seorang dayang Akasha. Akulah yang melepaskan semua jabatanku, demi keselamatannya. Kau harus memikirkan nasib Nistalit ini."
Kavra menarik napas panjang.
"Hamba sudah memerintahkan ia meninggalkan Gangika dan mengabdi ke Girimba, Pandhita," jelas Kavra, mencoba tenang. "Hamba tak punya perasaan apapun pada Nistalit ini. Apalagi, hamba telah bertunangan dengan Putri Padmani."
Ketika mengucapkannya sembari mengatur suara agar tak bergelombang, Kavra merasakan bagai reruntuhan bendungan Gangika mengurung langkahnya.
❄️💫❄️
Yusa, seorang dayang anggun berwajah tenang. Kecantikannya muncul saat ia berbicara dan tersenyum. Kecerdasan akalnya tampak kemudian. Sejak awal bertemu, Nami telah menyukainya.
"Prajurit Nami," Yusa mengangguk hormat, "Panglima Kavra bercerita tentangmu. Apa yang bisa kubantu?"
Nami tersenyum gugup, dalam hati mengumpat kebodohannya sendiri.
"Hamba…ingin mencari tahu tentang sebuah tanaman. Ataukah pohon? Ataukah …hamba sendiri tak yakin," Nami berkata pelan.
Kavra memberikan sebuah bungkusan pada Yusa.
"Yusa adalah seorang dayang yang pandai merawat ganggang di Gangika," jelas Kavra. "Ia sangat ahli dalam segala hal terkait tetumbuhan. Kupikir ia akan bisa membantu kita."
Nami merasa lega mendengar kata 'kita'.
Yusa membuka tali pembungkus, mengamati serbuk kehijauan di dalam bungkusan. Serbuk itu tak banyak, hanya tersisa sedikit remahan kecil yang sangat halus.
"Dari mana Nona mendapatkannya?" tanya Yusa.
"Panggil nama hamba saja, Dayang Yusa," Nami mengangguk hormat. "Hamba mencurigai luka yang dialami Putri Calya dan Putri Arumya. Hamba mengusap tepian luka dengan sabuk hitam dan mendapati serbuk hijau di kedua luka para putri."
"Di luka atau sekitar luka?" Yusa bertanya lagi.
"Sekitar luka, Dayang Yusa," Nami menegaskan.
"Panggil saja namaku, Nami," Yusa tersenyum ramah.
Akara dan Kavra berpandangan, merasakan ketegangan sedikit mencair oleh persahabatan yang dibangun antara Nami dan Yusa.
"Berarti ia serbuk yang menempel di sarung senjata, atau hulu senjata," tebak Yusa.
"Ya, aku pun berpikir demikian," ujar Nami. Bayang belati milik Janur berkelebat, membuatnya merasa sedih.
"Apa sebelumnya, kau pernah melihat serbuk seperti ini?" tanya Yusa.
Nami mengingat-ingat, menggeleng kemudian.
"Aku belum pernah melihatnya," Nami berucap, sedikit ragu. "Tapi bila ada yang teringat, aku akan memberitahumu secepatnya."
"Yusa, apa kau bisa mencari tahu?" tanya Kavra.
"Hamba usahakan, Panglima," Yusa memberi hormat.
"Berapa lama, Yusa?" tanya Nami ingin tahu. "Apakah aku bisa menunggumu di sini agar saat ke Girimba sudah memiliki kepastian?"
Yusa menaikkan alis lengkungnya, menyembunyikan tawa lirih dengan sopan di balik telapak tangan.
"Nami, ini butuh waktu berpekan-pekan. Mungkin satu purnama," Yusa berkata.
"Apa?" Nami terpekik tanpa sadar. "Aku tak punya waktu sebanyak itu!"
Akara menarik napas panjang, menatap Nami yang tampak gelisah.
"Keadaan sangat kacau semenjak Wanawa menyelenggarakan pesta Andarawina," gumam Nami. "Hubungan Wanawa dengan sekutunya sangat tegang. Paduka Vanantara dan Panglima Milind menghadapi banyak tekanan."
"Kupikir, itu bukan urusanmu," pancing Akara.
Nami menarik napas panjang, "Hamba memang prajurit rendah, Pandhita Akara. Namun hamba tinggal di Girimba. Keselamatan Nistalit dan rakyat Wanawa membuat hamba resah. Madhakarma belum dapat ditaklukan, dapatkah dibayangkan bila ternyata ada di antara kami sendiri disusupi pengkhianat –entah siapa?"
Akara mengulum senyum, tanpa sadar memandang Yusa dan Nami bergantian. Ia dapat mengerti mengapa Kavra ingin menolong gadis Nistalit di depannya.
"Yusa, apakah tidak bisa lebih cepat?" tanya Kavra. "Aku pun disibukkan banyak urusan. Sebisa mungkin satu persoalan segera tuntas, agar bisa beralih ke masalah yang lain."
Yusa tampak bingung dan resah.
"Adakah yang bisa kubantu?" Akara berkata pelan pada akhirnya kepada Kavra. "Agar Nami bisa segera menemukan jawabannya."
Kavra menatap Akara yang tampak salah tingkah.
Yusa tampak bimbang menimang bungkusan berisi serbuk hijau milik Nami.
"Baiklah," Kavra tetiba bersikap tegas. "Dayang Yusa, kuserahkan tugas mencari tahu serbuk hijau padamu. Pandhita Akara, tolong bantu Yusa. Han? Ayo segera kembali ke bilik kerjaku. Antarkan Nami kembali ke Girimba segera. Kita harus bergerak cepat."
Akara dan Yusa menatap Kavra tak percaya, ketika tetiba semuanya diputuskan begitu cepat.
Lembut, Nami memegang lengan gadis dayang Gangika di depannya.
"Yusa, aku sangat mengandalkanmu," pintanya, memberi hormat kemudian dan berpamitan.
❄️💫❄️