Serangan sengit yang berikut menyasar titik Rakash dan Arumya. Walau memiliki hubungan tak baik dan kebencian tertahan, Nami tak ingin Gosha Hitam berhasil membunuh tamu-tamu penting di Girimba malam ini. Rakash, lebih banyak melindungi Arumya daripada berusaha menghadapi musuh-musuh yang menyerang Nami.
Sebuah lingkaran, terbentuk bagi Nami dan Gosha Hitam.
"Kau tahu, kau tak akan mungkin melawanku, Nistalit?!" Gosha Hitam tersenyum sinis. "Jangan bangga dengan kemampuanmu yang tak mencapai seujung kukuku!"
"Gosha Hitam, walau harus mati malam ini, aku tak akan mundur menghadapimu!" ujar Nami teguh.
Nami menggenggam pedang dengan kedua belah tangan, melompat ke samping ketika tombak hitam mengarah ke tubuhnya. Tombak itu bagai menyusuri seluruh tubuh Nami yang melenting ke atas, mencari titik lemah lawan dan mencoba menembusnya.
Trrrnggggg.
Srrrrrttttt.
Gosha Hitam menyerang gencar, mengarah ke bagian-bagian berbahaya. Tenang dan lincah Nami melayani, menahan tombak, mengikuti arus kekuatan musuh sembari melepas tendangan. Sekali waktu tombak itu hampir mengenai bahu, gesit dan bertenaga Nami menangkis, menahan agar tombak tak bergerak mencecar lebih jauh. Kali lain, pedang Nami hampir mengenai leher musuh, tertahan tombak yang tampak bagai lengan lentur.
"Nami!" terdengar suara yang dikenalnya dengan baik.
Nami panik mendengarnya.
"Tuan Gosha! Menjauhlah!" pinta Nami.
"Aswa dan Giriya!" ujar Gosha Hitam. "Akan aku habisi semua malam ini, berikut keturunan mereka!"
Tanpa terlihat Gosha, musuh mengarah kepadanya, dikejar Nami sekuat tenaga sembari mencoba menahan laju kaki lawan agar tak melepaskan serangan. Beralih dari Arumnya, Nami menjadi perisai Gosha. Denting senjata, logam dan kristal beradu, percikan nyala api di malam hari bagai bunga-bunga bintang di kegelapan.
Pertarungan seimbang, walau Nami mulai merasa kepanikan menyerang dan pikirannya terkuras oleh dugaan. Satu pekikan lembut membuatnya teralihkan.
"Prajurit Nistalit Giri! Hati-hati!" suara itu terdengar khawatir.
Nami terhenyak.
Nistalit Giri. Tak banyak yang tahu sejarah para Nistalit dan menyebutnya secara khusus sebagai Nistalit Giri, Nistalit budak yang menghuni gua-gua di Giriya. Nistalit disebut sebagai 'Giri' bukan 'Giriya' sebab Akasha Giriya tak sudi disamakan sedikitpun dengan apapun yang melekat pada Nistalit.
Arumya terlihat khawatir, sesaat Nami lengah hingga berhasil membuat Gosha Hitam mengambil kesempatan. Satu tendangan melayang ke arah perut Nami, membuatnya mual dan terbanting keras ke bawah. Bergulingan, sembari berusaha menghindar tikaman tombak yang membuat lubang di tanah. Pedang Sin terlepas. Gosha Hitam tertawa penuh kemenangan, mencoba melayangkan pukulan tombak pada lawan yang mencoba berkelit sembari bangkit.
"Heaaaaaagh!"
Tombak tertahan kekuatan pedang.
Nami terkejut melihatnya.
"Ambil pedangmu, cepaaat!" teriak Dupa.
Dupa menahan gempuran lawan, memberikan kesempatan Nami untuk meraih pedangnya kembali dan bangkit berdiri. Mata Nami nanar memandang pedang Janur berada di tangan Dupa, sekuat pedang Sin di tangan Nami.
"Dupa mendapatkan pedang Janur dan aku mendapatkan pedang Sin," pikir Nami, bukan dipenuhi rasa iri. Hatinya justru berkecamuk pedih. Pedang-pedang telah berpindah tuan.
"Majulah kalian!" desis Gosha Hitam. "Lebih mudah bagiku menghabisi semua!"
Nami dan Dupa berdiri bersisian, menghunus pedang Sin dan pedang Janur.
"Jangan membunuhnya!" teriak suara lantang.
Nami menahan napas.
"Jangan membunuh Gosha Hitam," suara itu terdengar memohon.
Milind berdiri di belakang Nami dan Dupa.
"Lumpuhkan dia!" perintah Milind.
Nami dan Dupa berpandangan, mengangguk.
Gosha Hitam memainkan sangat baik tombak di tangan, menghadapi Nami dan Dupa yang tampak bersungguh-sungguh melayani. Pertempuran berjalan sengit dan tak dapat diramalkan. Dupa cepat dan bertenaga, Nami lincah walau tampak ragu.
"Nami! Pusatkan pikiranmu!" Dupa berbisik.
"Dupa! Jangan lengah!" Nami pun berbisik. "Mereka punya banyak rencana busuk!"
Sebagian besar perhatian saat ini tertuju pada pertarungan Nami dan Dupa. Walau pergerakan Gosha Hitam tak terlihat mata Akasha dan Pasyu, jejak angin dan kekuatannya dapat teraba. Pertempuran pasukan hitam dan prajurit Akasha Wanawa – Nistalit masih berlangsung di beberapa titik. Gosha Hitam tampaknya tak berniat menyerah walau berhadapan dengan para panglima yang bisa sewaktu-waktu menghabisinya. Milind benar-benar berpesan agar Gosha Hitam tak dihabisi, membuat banyak pihak bertanya-tanya dan ragu untuk maju.
"Aswa dan Giriya berikut keturunannya akan mati malam ini!" gumam Gosha Hitam, berulang kali.
Benak Nami berpikir keras. Berpikir! Berpikir! Itu yang selalu dikatakan Sin. Walau tubuhmu lelah dalam pertarungan, kepalamu tetap terus bekerja. Pertarungan ini harus diselesaikan cepat. Mereka harus berpikir bagaimana menyelesaikan pertempuran tanpa harus membuat Gosha Hitam mati. Hati Nami berdoa di sela-sela keletihan dan ketegangan luarbiasa.
"Penguasa Langit," bisiknya, "beri kami jalan."
Bagaimanapun, Gosha seorang panglima. Gosha Hitam, bagai kembarannya yang memiliki kemampuan sama. Nistalit hanya prajurit, meski menjalani pelatihan khusus, tetap memiliki kemampuan jauh berbeda.
❄️💫❄️
"Milind, kau tak bisa membiarkan mereka mati!" Gosha meraih lengan Milind, menghentakkannya.
"Aku juga tak bisa membiarkanmu mati!" desis Milind marah.
"Biarkan Nistalit menguasai pertarungan, apapun hasilnya," Gosha berkata tegas.
"Gosha Hitam mati, kau pun akan mati!" tandas Milind.
"Kau berkata mengangkatku sebagai penasihat," Gosha menatap Milind dalam. "Tapi kau ragukan masukanku."
Milind menarik napas panjang.
Pertarungan mati-matian Nistalit melawan pasukan hitam tetap terjadi, walau sebagian pasukan hitam yang tampaknya hanya ingin mengacau telah dapat dirobohkan. Hanya tersisa beberapa titik, termasuk Gosha Hitam yang tak ingin mundur begitu saja.
Terdengar teriakan kesakitan.
"Dupa!!"
Samar tawa membahana, suara yang tak dapat didengar jelas oleh Akasha dan Pasyu, namun tampak jernih bagi Nistalit. Milind mengerahkan kemampuan, mendengar suara Gosha Hitam.
"Aku menunda menghajarmu, Nistalit perempuan! Hatiku masih memiliki belas kasihan," tawa mengejek yang panjang bergema.
Dupa terbanting. Memegangi dadanya yang kesakitan, tombak hitam menggores beberapa bagian tubuhnya. Merusak pakaian biru tuanya. Nami menghambur ke arah Dupa, berniat menolong.
"Awas!" teriak Dupa.
Pedang Sin menghalau tombak hitam yang akan menghajar Dupa kembali. Nami berbalik, bertahan sekuat tenaga terhadap serangan yang makin gencar.
"Aku harus cari cara!" pikir Nami. "Tak mungkin minta bantuan Panglima Milind! Ia tak mau musuh mati!"
"Dupa?? Keparat kau, Gosha Hitam!!" teriak Soma naik pitam masuk ke arena, demi melihat sahabatnya tersungkur.
"Soma! Tahan kemarahanmu!!" Nami berteriak.
Soma menyerang sekuat tenaga. Pedang di tangannya berkelebatan bagai kilat menyambar. Gosha Hitam terkejut sesaat, melangkah menghindar, namun cepat menguasai pertarungan. Pedang Soma bukanlah pedang istimewa seperti pedang Sin dan pedang Janur. Walau pedangnya kuat dan lentur, tak sehebat pedang milik hulubalang Akasha yang dirancang teliti dari bahan terpilih.
Gosha Hitam berbalik ke arah Soma. Mengayunkan tombak berkali-kali sekuat tenaga. Walau Soma mencoba menahan gempuran, bertahan; tombak dan sosok panglima bukan tandingan. Satu ayunan tombak dengan kekuatan penuh menghajar Soma, tepat ke tengah tubuhnya.
Desis maut memburu bagai kilat.
Nami dan Dupa memburu ke arah tubuh malang yang bersimbah darah.
"Masih ingin melawanku Nistalit?!" ujar Gosha Hitam dingin.
Lengan Dupa menahan kepala Soma yang terkulai. Nami memegangi tangannya, membawa jemari Soma ke pipinya.
"Nami…" bisik Soma,"…pemukiman Nistalit…"
Sebutir air mengalir di ujung mata.
Gosha terlihat berlari ke arah mereka, mengabaikan bahaya yang mengancam. Milind berusaha melindungi dari belakang.
"Nami," tegas suara Gosha, melihat Soma tumbang, "kuperintahkan kau membunuh Gosha Hitam!"
Nami mengusap pipinya kasar. Menatap ke arah Gosha Hitam yang tegak dengan tombak berlumuran darah. Ia menoleh ke arah Dupa yang masih diliputi rasa duka dan marah. Sesuatu di lengan Dupa menarik perhatian Nami, bagian lengan pakaiannya koyak. Simbol cap kerajaan Wanawa berbentuk daun ada di sana. Nami terhenyak.
Dupa pun mengikuti pelatihan Garanggati?
Cepat Nami bergerak ke arah Dupa, menarik tangannya. Ia merasakan sebuah tarikan kuat di lengannya ketika berdekatan dengan cap kerajaan di lengan Dupa. Nami menggenggam tangan Dupa, menariknya bangkit, bersamaan cap kerajaan mereka saling bersentuhan. Kilau hijau samar muncul dari tanda daun, hanya dapat dilihat oleh mata mereka sendiri.
Nami dan Dupa berpandangan, tertegun, menahan napas. Tak sempat berkubang dalam kesedihan.
"Dupa, kau sangat bagus menggunakan pedang dengan kedua tanganmu," ujar Nami. "Bisakah kau menggunakan lengan kirimu untuk melawannya? Aku akan gunakan sisi kanan untuk menghajarnya."
Dupa mengangguk, terengah sesaat, "Ya."
Nami melepas sabuk hitamnya luarnya, menyisakan sabuk utama menahan gaun biru tua yang juga menjadi baju prajuritnya. Ia melilitkan kain itu ke tangan dan hulu pedang Sin. Dupa menatap Nami tertegun.
"Aku tak berniat melepaskan pedang ini lagi," gumam Nami.
Dupa mengangguk, melakukan hal yang sama.
"Kau sudah belajar jurus Gerakan Angin, Nami?" bisik Dupa.
❄️💫❄️