Gosha dan Calya melesat cepat berusaha meninggalkan benteng utama secara diam-diam melewati pintu rahasia benteng utama yang hanya diketahui para panglima dan bangsawan utama kerajaan. Di ujung jalan rahasia, saat membuka pintu, Jagra tetiba menghampiri. Wajahnya panik.
"Bagaimana istana Raja Shunka?"
"Kita harus meninggalkannya, Jagra!"
"Apa? Panglima Gosha! Meninggalkan Raja Shunka dan Ratu Laira berarti kehancuran kerajaan Aswa!"
Gosha terdiam sesaat. Dalam kebingungan, perkataan Jagra menyadarkannya.
Jagra menatap Calya yang sekuat tenaga menahan tangis. Gosha menatap putri di sisinya, yang tampaknya menahan sakit akibat cengkraman tangan yang terlalu kuat. Sembari meminta maaf, Gosha mengendurkan pegangan dan mendorong pelan Calya ke arah Jagra.
"Persiapkan Turangga di daratan. Jaga Putri Calya sampai ke Wanawa dengan selamat."
"Panglima?"
"Aku akan melindungi istana!"
"Gosha!"
"Jagra, Putri! Temui Milind. Sampaikan salamku padanya. Mintalah perlindungan pada raja Vanantara!"
Gosha membalikkan badan, berlari cepat menuju istana Ratu Laira.
❄️💫❄️
Berdiri berhadap-hadapan. Dua raja perkasa mengukur kekuatan. Selasar istana ratu yang luas tampak sempit, seakan tak mampu menampung kebesaran keduanya. Jubah putih keperakan milik Shunka terlihat sangat berlawanan dengan warna gelap jubah yang dikenakan tamu tak diundang di kerajaannya. Angin dingin nan menikam bertiup menerbangkan pakaian dan rambut.
"Apa ini mengingatkanmu pada masa lalu?"
"Aku selalu mengingat apapun yang berkaitan dengan Laira, Tala."
"Kalau begitu, kau pasti ingat tentang betapa bejatnya kau di masa lalu. Bangsawan sombong yang hanya mengandalkan garis keturunan!"
"Aku merasa bersyukur takdir mempertemukanku dengan Laira. Ia seorang ratu luarbiasa yang bisa mendampingku. Membimbingku menjadi sosok yang lebih baik."
"Takdir?!" Tala tertawa. "Aku tak pernah percaya takdir kecuali yang lewat celah-celah jemariku! Kau mengambil apa yang bukan hakmu, dan seluruh kerajaanmu bersandar pada kecemerlangan Laira. Kau hanya raja lemah, Shunka!"
Shunka menarik napas pelan.
Ya, ia hanyalah putra raja yang dibesarkan dalam limpahan kemewahan dan kemanjaan. Setiap pelayan tunduk padanya, setiap prajurit mengabulkan perintahnya. Jauh di lubuk hati, sebagai pemuda saat itu ia menginginkan seseorang yang dapat membimbing. Bukan pandhita yang hanya menurut pada perintah raja dan panglima yang hanya takut kehilangan jabatan. Sepanjang waktu dihabiskan untuk menantang siapapun, mencari orang yang memiliki keberanian untuk meluruskannya.
Hingga dalam sebuah perayaan, adu tanding ketangkasan mempertemukannya dengan Tala. Tala, prajurit andal yang mahir bertarung dapat diringkusnya dengan tipu muslihat. Diam-diam, orang kepercayaan Shunka menukar pedang Tala dengan pedang tumpul yang tak dapat digunakan saat bertanding.
Tala, melepas jubahnya.
Membuka bagian atas bajunya, memperlihatkan goresan di bahu, dekat leher. Luka cukup dalam yang meninggalkan jejak, dua garis lengkung berjajar.
"Kau melukaiku dengan ujung tombak kristalmu, ketika aku sudah bersimpuh tak berdaya dihadapanmu," Tala berujar dingin.
Shuka menarik napas dalam.
Memejamkan mata sejenak.
Bayang seorang gadis berambut perak, dengan pipi kemerahan dan mata indah; menahan serangan Shunka yang mengayunkan senjata ke arah Tala. Ingatan itu pula yang hadir di benak Tala, saat ini. Laira berlutut di samping Tala, mengobati luka yang ditimbulkan oleh Shunka dengan serbuk kristal. Keberanian Laira pula yang membuat Shunka tertegun, bertanya-tanya, siapa gadis Aswa yang berani melawannya. Tala dan Shunka jatuh hati pada gadis yang sama, namun hanya satu yang dapat memilikinya.
"Aku akan mengambil kubah pelindung Laira dan membawanya ke Vasuki," ringan suara Tala berucap, menyulut amarah Shunka yang berusaha keras menahan diri.
"Untuk apa?"
"Untuk apa?! Aku ingin menghancurkan Aswa yang merasa memiliki kekuasaan tertinggi hanya karena mendapatkan wilayah di awan. Laira adalah lambang tertinggi Aswa, bukan kau Shunka! Rakyat lebih mencintai dan memuja Laira, tapi tak memandang sebelah mata padamu!"
"Kau menyerangku, mendukung Mandhakarma karena dendam lamamu?" Shunka menelisik ingin tahu. "Apakah cinta Ratu Gayi dan Ratu Nagen tak cukup bagimu?"
Tala tertawa keras, merapikan pakaiannya kembali.
"Kau pikir aku melakukan semua ini hanya karena masalah cinta?" ujar Tala tajam. "Sempitnya pikiranmu, Shunka. Laira yang bodoh hanya pantas bersanding denganmu yang dungu!"
Wajah Shunka merah padam.
Ia melepaskan pedang dari sarungnya, menyerang Tala dengan ganas. Lincah Tala menghindar, melompat, membiarkan gerakan Shunka mengenai udara kosong. Walau seorang raja terbiasa duduk di singgasana, Shunka bukan raja pemalas yang menghabiskan waktu menikmati hidangan. Bersama Laira, mereka kerap menyambangi para prajurit berlatih dan melihat bagaimana para panglima muda mereka berlatih ketangkasan.
Tala harus berhati-hati bila tak ingin tertebas pedang kristal yang berkilauan dalam cahaya mentari. Kilatan di ujung senjata dapat membuat matanya buta sesaat, waktu yang tepat bagi musuh untuk menghabisi. Gerakan Shunka yang bertenaga dan cepat membuat ayunan pedangnya sangat berbahaya. Awal pertarungan, Tala dapat mengumbar kata-kata mencela. Beberapa belas jurus berlalu, mau tak mau Tala mengeluarkan pedang miliknya yang terlindung dalam sarung bertahtakan permata mirah delima.
Denting senjata.
Jubah berayun.
Tapak kaki yang menjejak, melompat, berayun di udara.
Tap.
Tap.
Tap.
Puluhan langkah perkelahian berlangsung cepat, hanya menyisakan bayang perak dan hitam berkelebat. Saling menelikung. Sesekali warna cemerlang muncul, kali lain lenyap, digantikan kilatan warna hitam pekat. Bila berlangsung secara ksatria, baik Shunka dan Tala sama-sama berpeluang memenangkan pertarungan.
Satu gerakan tangkas dan kuat keduanya, mengharuskan Shunka dan Tala beradu pedang. Menahan. Bertahan. Mendorong. Kaki menghunjam kokoh pada pijakan. Dahi keduanya berkeringat. Tetiba Tala tersenyum licik. Senyum yang mengalihkan perhatian Shunka dari pertarungan pedang mereka. Tala meludahi sepasang mata Shunka!
Kabut dan kepedihan yang demikian merajam, membuat Shunka terpekik lirih. Menutup kelopak, berusaha mengatasi rasa sakit yang tetiba membuat kepalanya berdenyut nyeri, bersumber dari sepasang matanya.
"Kau pernah berbuat curang. Kau harus membayarnya sekarang!"
Bukan rasa malu yang menyerang Shunka saat ini, meski ia menyesali telah melakukan hal buruk di masa lalu. Kalah dari Tala adalah ancaman besar bagi Pasyu, terutama Aswa. Racun apa yang berada di mulut Tala hingga air ludahnya seperti ribuan jarum panas?
"Paduka Shunkaaa!" teriakan marah menyongsong pertarungan.
Shunka, yang tak dapat melihat sekeliling, mengikuti arah suara yang sangat dikenalnya. Kelengahan yang hanya sesaat namun menyebabkan hal celaka yang dipergunakan Tala untuk melampiaskan dendam ratusan tahun.
Heaaarrrhhhh.
Pedang Tala menembus tubuh di hadapannya.
Tak dapat melihat, ujung mata Shunka basah oleh rasa sakit dan pedih atas ketakberdayaannya mempertahankan Aswa. Tala benar. Laira-lah simbol keberadaan Aswa. Bukan dirinya yang lemah dan dungu. Laira bodoh karena memilihnya menjadi suami, walau berkali Laira berkata bahwa ia mengagumi ketulusan hati Shunka yang tersembunyi di balik sikap angkuh yang dipaksakan.
Ah, mati tak mengapa.
Andaikan dapat memilih cara untuk mati!
Satu sosok memburunya yang limbung.
"Yang Mulia?" suara Gosha parau, memapah tubuh Shunka yang bersimbah darah.
"Raja yang dungu. Panglima yang mudah diperbudak," ejek Tala.
Gosha meletakkan tubuh Shunka hati-hati di selasar istana ratu. Ia meloloskan tombak kristal dari pinggangnya. Luapan amarah membakar seluruh denyut tubuh hingga ia menyerang Tala dengan kekuatan penuh. Lincah Tala menghindar. Ringan berkelit, sembari melemparkan kata ejekan. Serangan Gosha meluluh lantakkan tembok istana, pagar-pagar, jembatan, kubah di menara. Tanpa Shunka dan Laira, istana raja dan ratu tak ada gunanya! Calya pun telah meninggalkan Aswa.
"Kau bukan tandinganku, Gosha!" Tala berujar.
Ia melayang, berputar di udara, mengubah diri menjadi tubuh gilig raksasa. Bersayap, ekor gada dan taring panjang yang lebih tajam dari pedang-pedang para panglima Akasha dan Pasyu. Pukulan ekor Tala menghancurkan dinding istana ratu. Mantra saktinya menarik kubah pelindung Laira, memanggulnya di sepasang kepakan sayap.
"Keparaaaat! Lepaskan ratuku!" Gosha berteriak murka.
Ia mengubah diri menjadi kuda bersayap, Sembrani Kristal warna putih bening yang berubah kebiruan saat marah.
"Hadiahku untukmu dan Aswa, Gosha!!"
Tala membuka mulut. Mengulum lidah, melontarkan bola api oranye yang menghanguskan istana ratu. Api yang memangsa sepasang sayap Gosha.
❄️💫❄️