Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 135 - ●Gelombang Hitam (12) : Latihan Pertama

Chapter 135 - ●Gelombang Hitam (12) : Latihan Pertama

Latihan mantra, gagal.

Latihan menunggang angin, kacau.

Latihan senjata, sia-sia.

"Mereka tak berguna sebagai prajurit," gerutu Sin. "Lebih baik kembali menjadi buruh dan budak!"

Janur menarik napas panjang. Panglima Milind dan Hulubalang Sin telah menjadi saksi keahlian Nistalit mengalahkan berpuluh Pasukan Hitam dari gelombang Mandhakarma yang misterius. Apakah mereka hanya sekedar bermanja dan merajuk, menolak untuk dibawa ke Girimba?

"Berlatihlah lebih keras, Nistalit!" bentak Hulubalang Janur.

Nami dan Dupa berpeluh. Tubuh mereka basah dari ujung rambut hingga mata kaki karena keringat.

Apa yang diharapkan dari para Akasha? Nistalit tak akan mampu menaiki pucuk-pucuk pohon tertinggi hanya dengan menunggangi angin yang tak tampak. Mustahil mencapai awan dengan kaki telanjang. Tak masuk akal menggunakan senjata yang tak biasa digunakan. Mereka bukan Akasha! Mereka hanya Nistalit, budak hina yang selama ini hanya terbiasa bekerja kasar menggunakan alat-alat seadanya membelah batu!

Berhari-hari berlatih di Girimba, tak ada hasil yang mengembirakan. Bukan hanya Sin dan Janur yang putus asa lalu marah dengan keadaan yang dihadapi, Nami dan Dupa pun demikian.

Malam hari, saat tubuh lelah usai latihan seharian yang belum membuahkan hasil, Dupa dan Nami duduk di jembatan kayu yang menghubungkan kedua bilik mereka. Mereka menjulurkan kaki, bersandar pada pembatas jembatan yang terbuat dari tali-tali sulur tanaman yang terjalin liat. Melepas letih. Membebaskan pikiran. Sayup senandung para penyanyi terdengar menyentuh telinga.

"Apa yang harus kita lakukan?" Dupa mengeluh. Kedua tangannya menebal kapalan. "Apakah hanya kebetulan saja kita mampu melawan Pasukan Hitam saat di Gangika?"

Nami menggaruk rambut. Menepuk-nepuk kepala sendiri, ingin meloloskan kebodohan dari sana.

"Besok kita coba lagi," bisik Nami.

"Besok? Coba lagi?"

"Ya."

"Kalau tidak ada hasilnya?"

"Kita coba lagi."

"Kalau tetap tidak bisa?"

"Kita coba lagi. Coba lagi. Coba lagi! Dan coba lagi, Dupa! Kita coba sampai Nistalit bisa sesakti Akasha dan sekuat Pasyu!" Nami bangkit berdiri dengan marah. Marah pada dirinya sendiri.

Sesakti Akasha. Sekuat Pasyu? Kepalanya sendiri tak mempercayai kebohongan mulutnya. Yang dapat diramalkan hanya segera kembali ke Gangika. Bergabung bersama Soma dan seluruh Nistalit untuk menuntaskan Bendungan Gangika, lalu melanjutkan hidup dengan menjadi buruh di Gangika, di tempat lain, atau kembali ke Giriya.

Di pembaringan, meski tubuh remuk redam, mata tak mudah terpejam.

Teriakan-teriakan Nistalit yang meronta-ronta. Menghindari cambuk Kuncup Bunga. Melolong kesakitan. Meregang nyawa. Giriya telah mengambil nyawa Nistalit entah berapa banyaknya. Gangika? Beberapa kali Nami menyaksikan mayat Nistalit usai tercebur ke sungai, mati mengenaskan saat tak ada yang tahu untuk memberikan bantuan. Esoknya, ketika mayat mengambang, angkat dan kuburkan saja dengan penutup ilalang kering dan dedaunan layu.

"Latihan mantra agar tubuhmu lebih terlindungi!" bentak Sin. "Kau menjadi kebal dan sulit mati!"

"Menunggang angin agar gerakanmu lebih cepat!" Janur tak kalah galak. "Kalian butuh bergerak lincah dan cepat agar mudah berkelit. Mudah menghindar. Mudah berpindah!"

"Latihan beragam senjata agar kalian tahu, musuh bisa dikalahkan dengan cara apa!" teriak Sin. "Aku tak bisa lama-lama di Girimba! Kalau kalian tak semakin mahir, aku akan meninggalkan kalian di sini! Habiskan usia kalian untuk merangkak ke luar menuju Gangika!"

Nami nyaris tertidur dengan mata masih terbuka.

Tubuhnya lelah, namun pikirannya bekerja.

Antara lelap dan terjaga, ia menemukan mimpi-mimpi Jalma dan Suta, juga mimpi Nistalit terwujud : pemukiman yang nyaman, ladang untuk ditanami, pakaian yang cukup dan makanan yang selalu ada setiap hari. Mungkinkah mereka memililki wilayah untuk diatur sendiri? Seperti kerajaan wangsa Akasha dan Pasyu. Nami menelan ludah kering. Hanya lewat mimpi, bayangan paling liar pun dapat diwujudkan.

Suara Sin dan Janur berulang-ulang hadir terngiang.

Mantra untuk melindungi.

Angin agar lebih cepat.

Senjata untuk mengalahkan.

Nami menguap lebar hingga matanya berair.

Terlindung. Bergerak cepat. Persenjataan. Bisakan semua dilakukan dengan cara-cara Nistalit? Bukan dengan cara Akasha yang tak masuk akal?

❄️💫❄️

Milind menatap Gosha yang terbaring lemah di bilik pengobatan Paksi, bilik berbentuk mirip kubah lengkung pelindung Aswa. Bedanya, kubah Paski tersusun dari serat-serat kayu pepohonan yang direkatkan menggunakan liur mujarab pandhita* Paksi.

Untuk sementara ini, Mandhakarma membeku di titik Jaladhi dan Gangika. Melahap benteng utara Aswa, lalu tegak bagai dinding pekat yang mengepung. Bisa dipastikan, kerajaan dalam kondisi babak belur ketika para panglimanya sendiri terluka parah. Para panglima muda dipersiapkan sebagai pengganti, walau salah satu panglima muda terbaik Aswa pun tewas tergulung Gelombang Hitam.

"Dia akan selamat. Bukankah begitu, Haga?"

"Kurasa demikian, Milind," Haga mencoba menguatkan, melawan keraguan hati sendiri.

"Masa depan kita benar-benar samar," gumam Milind.

"Kau panglima terhebat Akasha. Kau pasti punya jawaban."

"Kau mengejekku?"

"Demi Jagad Paksi," seru Haga tertahan. "Aku bersumpah, tidak demikian maksudku!"

Milind tersenyum letih.

Haga menatap Milind, menarik napas panjang. Ia berkata penuh kehati-hatian, "Milind, kurasa kau bukan hanya akan menjenguk Gosha."

"Tujuanku adalah menjenguknya, Haga. Ia sahabat terbaikku. Seperti dirimu juga," Milind berkata.

Haga tersenyum samar.

"Raja Ame hal Paksi dan para pandhita kami ingin berbicara hal penting denganmu di balairung suci Rasamala," ujar Haga pelan.

Milind menatap Haga penuh selidik. Walau panglima Wanawa dan Paksi pernah terlibat perseteruan atas perintah raja masing-masing, Raja Ame hal Paksi dikenal sebagai sosok bijak dan ksatria. Di pertarungan lampau, Haga membela Kundh hal Vasuki dalam pertarungan melawan Aswa dan berseberangan dengan semua sekutu Wanawa. Desas desus beredar, Raja Ame tidak lagi bersekutu dengan Vasuki walau mereka berada dalam persekutuan wangsa Pasyu.

❄️💫❄️

Balairung suci Rasamala adalah tempat para pandhita Paksi bersemedi. Menuliskan mantra-mantra kerajaan pada serat-serat batang kayu yang disebarkan setiap pagi oleh prajurit Paksi yang bertugas untuk menempelkannya di sarang-sarang dan tempat-tempat benih serta tunas bertumbuh.

Ame dan pandhita tertinggi, Wihangga, menunggu.

Milind memberikan hormat yang dalam, diikuti Haga.

"Kuharap, kerajaan Wanawa dan Paksi tetap dapat bersaudara walau keadaan serba rumit dan tak pasti, Panglima Milind," Ame berkata lembut. "Aku menyesalkan pernah ada perselisihan di antara kita."

"Kebesaran hati Raja Ame telah merekatkan persaudaraan wangsa kembali," Milind segera menyela.

"Milind, kita tak punya banyak kesempatan. Pandhita Wihangga akan menyampaikan beberapa kabar kepadamu."

Balairung suci Rasmala adalah ruang melingkar yang memiliki dinding dan atap yang tersusun dari helai-helai kapuk pohon randu, warna putih gading yang kuat dan liat. Diperkuat jejaring rumit alang-alang, ruang suci itu tak mudah ditembus, apalagi setelah dilapisi mantra ajaib pandhita Paksi. Beberapa pintu dibuat untuk mengecoh pandangan, lubang palsu yang mengelabui penjahat atau pengkhianat yang berniat buruk menyusup masuk. Tangga ulir ke atas mengarahkan tujuan ke puncak teratas istana Paksi. Hiasan anyaman rumput, sulur, atau mahkota bunga tertempel indah di sepanjang jalan rahasia yang ditunjukkan Wihangga.

Sebentuk lingkaran besar di atas kepala, telihat kokoh dengan warna daun dan batang bersilangan.

Wihangga mengangkat telapak tangan kanan ke atas, menyentuh lingkaran yang berputar pelan, seperti kunci raksasa pembuka. Suara gasing dan putaran angin. Penutup ruang suci Rasmala terbuka seperti mahkota bunga bergeser dari kelopak, menampakkan langit biru dan putih cemerlang bersilangan. Benteng Aswa terlihat bagai jajaran lilin berukir di kejauhan.

"Ada dua penguasa angkasa, " ujar Wihangga tanpa bermaksud sombong, "Pasyu Aswa dan Pasyu Paksi."

Milind menatap ke arah pandang pandhita Wihangga terlempar ke kejauhan. Ame menoleh ke arah Haga.

"Tapi ada yang membangun benteng baru di sekeliling Mandhakarma," Haga menjelaskan.

"Benteng baru?"

"Tidak tepat disebut benteng," sahut Raja Ame, meralat. "Hanya seperti pilar atau mercusuar, tempat mengintai."

"Siapa yang membangunnya?" tanya Milind.

"Vasuki."

❄️💫❄️

__________________________

*Pandhita (bahasa Jawa) : sosok terpandang dalam bidang spiritual