Jujur dan benar seringkali pahit, tapi menjalaninya lebih terasa ringan daripada melangkah dalam irama kebohongan.
Apalagi, kebahagiaan semu yang pastinya tak akan bertahan lama. Silva sadar. Sehebat apapun Vlad, ia tak akan dapat abadi memengaruhi pikiran Rendra untuk menjadi sesuai harapan Silva.
Lagipula, mustahil menentang takdir.
Demi keselamatan Rendra, dan tentu keselamatannya juga, Silva memutuskan kesadaran Rendra harus kembali seutuhnya. Usapan tangannya tiga kali dengan kesungguhan dan harapan, mengembalikan Rendra seperti semula.
Selamat datang, derita. Lebih terasa akrab dibanding bahagia.
๐ ๐๐
Rendra tentu tak sesakti Vlad dan Cristoph menghadapi serangan para buruh. Setidaknya, kemampuan bertahan dan beladirinya, membuatnya segera dapat bangkit begitu kesadarannya pulih. Pukulan dan tendangan masih dapat bersarang. Melihat Rendra mulai memberikan perlawanan, para buruh sedikit menahan diri. Telinganya mendengar suara-suara teriakan, makian dan aduan. Segera ia mampu mengambil kesimpulan.
"Apa aku selama ini kejam pada kalian, heh?!!" bentaknya. "Aku selama ini tepat waktu memberikan gaji dan bonus!"
"Tapi Pak Rendra menghilang begitu saja! Kami harus nanya ke siapa, Pak?!" Gatot bertanya putus asa.
"Katakanlah, aku lalai. Tapi apa pantas kalian memperlakukanku seperti ini?" Rendra menatap orang-orang di sekelilingnya tajam. Ke arah Gatot terutama.
"Enak ngomong!"
"Duit kami mana?"
"Dasar orang kaya!"
"Kalau gak ada duit, gak usah maksain bikin proyek!"
"Sita aja mobilnya! Jual buat gaji!"
Gatot menahan napas.
Ia meregangkan tangan. Menahan kemarahan orang-orang.
"Kapan Bapak bisa bayar gaji kami?" Gatot bertanya lugas.
Rendra mengusap bibir. Menatap sekeliling. Pikirannya pun bertanya-tanya : mengapa kehidupan serasa berjalan di atas rel yang bukan miliknya? Matanya beralih ke Silva yang bersimpuh ketakutan, memeluk diri sendiri. Bagaimana mungkin di tengah kekacauan ini, ada Silva di sana?
"Pak! Bapak gak bisa bayar gaji kami, tapi bisa belanja begitu banyak?!" Gatot bertanya keras, kesal dan putus asa. Bagaimanapun, ia telah lama menjadi buruh Golden Stone dan tak tahu harus ke mana mencari pekerjaan baru. Berdiri menjadi corong teman-temannya namun takut kehilangan sumber penghasilan, membuat Gatot kebingungan.
Rendra berjalan terhuyung ke mobilnya yang pecah. Menatap kursi belakang. Tertegun menyaksikan tumpukan barang-barang belanjaan yang tidak dikenalinya. Matanya beralih ke Silva yang mengkerut ketakutan. Berpindah ke arah kelompok buruh yang protes. Melihat Silva lagi, menatap ke arah kerumuman lelaki berotot yang masih menggulungkan lengan baju, siap berkelahi. Silva. Buruh. Kenapa semua ini?
Lelaki muda itu menarik napas pendek. Memijit dahinya yang berdenyut-denyut. Sejurus kemudian ia memberikan isyarat pada Gatot untuk mendekat.
"Ambil semua barang-barang ini. Bagikan," perintah Rendra.
Gatot menatap tak mengerti.
"Aku tau ini gak sesuai dengan kalian tapi ambillah. Ini barang branded bermerek semua. Kasih oleh-oleh buat orang di rumah," Rendra berucap tegas.
Gatot masih bingung, namun tangannya bergerak menerima uluran Rendra. Membagikannya pada para buruh yang masih diliputi kemarahan dan keheranan, juga keterkejutan.
"Besok kalian akan dapat gaji kalian," Rendra berjanji.
Orang-orang berbisik sinis.
"Pak Gatot, itu nama Bapak kan?" Rendra menebak-nebak.
Gatot terdiam tegang.
"Kalau Bapak gak percaya, malam ini ikut saya ke apartemen. Besok pagi-pagi semua kita bereskan!"
Orang-orang tegak mematung.
"Semua barang di mobil sudah saya bagikan!" tegas Rendra. "Saya punya kesungguhan membayar kalian! Apa kalian nggak percaya?"
Mata-mata dipenuhi keraguan.
Rasa lelah dan amarah.
Mendekap tas-tas berisi barang yang selama ini tak pernah terjangkau untuk dibayangkan, apalagi dimiliki. Sedikit hadiah yang tak diharapkan semula, mungkin mengobati. Kerumunan bubar membawa secercah harapan.
Tubuh sakit, kesalah pahaman, penganiayaan yang justru dilakukan oleh bawahan; semua bisa diselesaikan. Tapi apa penjelasan yang bisa dinalarvatas kejadian-kejadian yang terlihat tak punya ujung pangkal jawaban?
Rendra memacu mobil menuju Casablanca bersama Silva dan Gatot di dalamnya. Entah mengapa, ia yakin Silva punya hubungan dengan semua ini!
๐ ๐๐
Rendra lebih banyak berdiam diri.
Silva apalagi.
Beruntung kehadiran buruh seperti Gatot di antara mereka, meredam keinginan Rendra untuk melampiaskan kemarahan.
Keadaan tidak bertambah baik ketika bu Candra menelepon keesokan hari. Suara di seberang terdengar ringan dan ceria.
"Rendra! Kamu mau oleh-oleh apa? Lusa Mama balik dari Maroko. Kalau Silva malah aneh-aneh aja permintaannya."
Rendra menatap Silva.
Gadis itu selalu memojok. Walau tidak diajak bicara, Silva dapat menerka-nerka dengan siapa Rendra berbincang. Ia menggigit bibir sekuatnya. Memainkan cincin di jari manis. Memutar-mutar. Melepas. Memasangnya lagi.
"Mama seneng banget liat kamu udah mulai akrab sama Silva. Vira bilang, kalian akur banget nginap di Casablanca. Malah sempat ngajak teman cewekmu juga. Kata Vira namanya...siapa ya? Norma? Nana? Nila?" tanya bu Candra.
Rendra menghela napas.
"Itu pacar kamu, Ren? Mama dikenalin, dong. Udah waktunya kamu juga mikir pasangan hidup."
Tanpa tanggapan, sosok di seberang terus bersuara.
"Silva mana? Masih tidur? Atau lagi kelas online? Titip Silva ya, Ren. Ohya, kamu mau kita bertiga hang out ke Lombok? Atau Labuhan Bajo?"
Rendra menatap Silva.
"Silva itu anaknya sebetulnya lucu lho, Ren. Sensitif tapi. Kalau Silva ud..."
"Ma? Aku lagi banyak urusan. Ngomongin anak mama yang namanya Silva itu nanti aja. Ohya, aku gak minat hang out bertiga."
Klik.
Rendra membanting ponsel. Matanya menatap tajam ke arah Silva dan Gatot bergantian. Urusan dengan para buruh, sepertinya cukup diselesaikan dengan pencairan gaji. Urusan dengan Silva, sepertinya akan lebih panjang.
๐ ๐๐