Chereads / Silver Dynasty | Dinasti Perak / Chapter 97 - ●Mandhakarma (10)

Chapter 97 - ●Mandhakarma (10)

Gosha tak mampu mengangkat kepala.

Rasa malu. Tanpa daya. Tak berharga. Tak punya nyali. Dalam kubah kubah pelindung, dua panglima tertidur dalam diam. O, apa yang dilakukannya? Di hadapannya Milind tumbang menahan sakit, dengan bahu tertembus tombak kristal miliknya. Panglima muda Jagra dan Gundha yang segera bergabung demi menyelamatkan situasi, mengirimkan kubah pelindung bagi Milind dan membawanya naik ke Aswa.

Dalam kebingungan dan kehampaan, tak mengerti apa yang terjadi, Gosha merasa menjadi tertuduh bagi tewasnya ratusan prajurit Aswa dan keadaan yang menimpa Milind. Dapat dimengerti, betapa murkanya Shunka.

Para prajurit Aswa memandang panglima mereka dengan ganjil.

"Kau akan digantikan oleh panglima muda Jagra untuk sementara waktu!" ucap Shunka tegas. Urat pelipis sang raja menegang.

Laira menatap Gosha dalam diam. Tatapan sang ratu yang tepat ke arahnya, seakan mencincang semua keberanian Gosha. Apa yang akan dikatakan dunia wangsa : panglima Aswa membantai prajuritnya sendiri dan menyerang sekutunya sendiri?

❄️💫❄️

Ketika keadaan mereda dan Gosha dibiarkan sendiri bersama rasa bersalah yang mengguncang, sang panglima berjuang sekuat tenaga memperbaiki keadaan.

"Yang Mulia Ratu Laira," Gosha berdiri mematung di depan istana ratu, pada jembatan panjang yang menghubungkan istana utama dengan istana kediaman Laira, "Hamba akan menebus semua kesalahan."

Bahkan kali ini, Shunka dan Laira, enggan berbicara dengan panglima kebanggaan mereka. Dari kejauhan, panglima muda Jagra dan Gundha menatap Gosha bersama seribu tanda tanya. Di dunia wangsa yang serba tak pasti saat ini, ketika pengkhianatan dan pengingkaran merayap pelan- pelan, apa yang dilakukan Gosha terlihat masuk akal. Walau hati nurani menolak keras setiap kejahatan ataupun kelalaian yang dilakukan panglima Aswa.

Gosha menanggalkan semua baju kebesaran. Melepaskan wujud perkasa Pasyu, beralih ke wujud A-Pasyu – wujud serupa Nistalit yang menyerupai manusia. Hanya mengenakan jubah kelabu keperakan, layaknya rakyat Aswa pada umumnya.

Gosha bersimpuh di jembatan penghubung.

Butir-butir salju keperakan, kristal putih, yang menguar di sekeliling istana awan Aswa menimpa helai-helai rambut Gosha. Tak ada sambutan apapun dari istana ratu. Para pengawal mengunci rapat pintu, berjaga agar Gosha tak menerobos masuk.

Tubuh Gosha mematung dalam simpuhnya, membeku bersama gumpalan-gumpalan kristal. Walau gigil membirukan bibir dan kulit wajah, tak hendak ia beranjak. Rasa sakit yang dialami ia anggap sebagai penebus rasa sakit yang dialami Milind. Dingin dan beku terasa membakar tubuh, tentu seperti itu yang dirasakan Milind sebelum diselamatkan masuk kubah pelindung. Bahkan jika harus mati di depan istana ratu, akan dilakukan Gosha.

Waktu berlalu. Bumi berjalan. Matahari beringsut.

Hingga Laira luluh dan mengirimkan prajurit istana untuk menjemputnya. Kubah pelindung Laira menghangatkan tubuh Gosha yang nyaris mati tanpa rasa.

❄️💫❄️

"Hamba memohon ampunan Ratu. Cabutlah semua kesaktian dan keistimewaan hamba," Gosha bersimpuh dalam, nyaris bersujud, ketika tubuhnya telah keluar dari kubah.

Laira terdiam.

Di sisinya, putri Calya cemas menatap Gosha.

"Aku tak berniat melakukannya, Gosha, " Laira berujar pelan. "Aku tak berniat membuatmu lumpuh. Keberadaanmu sangat dibutuhkan."

Bukan kebanggaan yang merasuki Gosha. Rasa malu membuat wajahnya merah padam.

"Hamba ingin memberikan mantra panjang usia pada Milind, Ratu. Hamba meminta izin Paduka," tulus Gosha berujar.

Laira tersenyum samar.

"Berapa ratus tahun yang akan kau berikan, Gosha? Berapa ratus tahun tersisa usiamu?" tanya sang ratu.

"Hamba masih memiliki duaratus tahun," Gosha berkata, pelan namun tegas.

"Kau akan membutuhkan mantra itu jika berhadapan lagi dengan Tala," Laira berujar.

Gosha mengatupkan geraham.

Laira berdiri dari kursi peraduannya.

Menuju jendela besar yang menghubungkan biliknya dengan dunia luar Aswa. Gulungan awan. Langit biru. Pilar-pilar. Prajurit bersayap. Bila malam menjelang, kubah raksasa di atas kerajaan Aswa tersemat bermilyar gemintang.

"Kau mengaku bersalah, Gosha?" tanya Laira lembut.

Gosha mengatupkan kedua belah tangan, mengepal kuat, tanda kesungguhan. Walau ia masih diliputi keraguan dan tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Bagaimana mungkin ia melukai Milind, panglima sekaligus sahabatnya? Tanpa menjawab sekalipun, Laira sesungguhnya dapat membaca ketulusan dan rasa bersalah di wajah Gosha.

"Kau bersedia mematuhiku?" tanya Laira lagi.

"Demi Aswa!" Gosha bersumpah.

"Kalau begitu ucapkan janjimu dan pegang teguh rahasia yang akan kusampaikan."

Calya menatap Laira dalam-dalam, penuh tanda tanya.

Baginya, Laira bukan hanya seorang ibu. Ia ratu semua wangsa. Walau Laira milik Pasyu, kerap didengarnya seluruh dinasti dan klan memuji Laira. Bukan hanya kecantikan, tapi juga keluhuran. Kemuliaan. Keteguhannya mendampingi Shunka mengurus segala hal terkait Aswa.

Laira mengucapkan kalimat-kalimat rahasia.

Perlahan.

Jelas.

Jernih.

Calya menatap ibunya tak percaya.

Gosha bahkan mengangkat kepala, menatap ratu di depannya seraya membelakakan mata.

"Ratu! Hamba tak mungkin melakukannya!" lantang suara Gosha.

"Kau sudah bersumpah, bukan?" Laira mengingatkan.

"Ibu!" Calya menyela.

"Diam, Calya! Kau tak ada urusannya dengan ibu dan Gosha!"

Tubuh Gosha bergetar.

"Ratu Laira...?"

"Malam sebentar lagi hadir, Gosha!"

"Hamba...mustahil melakukannya."

Laira menatap pemuda tampan berambut keperakan di hadapannya. Ia menarik napas panjang perlahan.

"Apa kau ingat, saat pertama kali kita bertemu?" tanya Laira bergumam pelan.

Gosha memejamkan mata.

Merasakan ujung pelupuk basah.

Saat itu Laira menelusuri barisan prajurit yang sedang berlatih. Satu sosok canggung dan pemalu terlihat selalu salah langkah dan menjatuhkan senjata.

"Hamba masih ingat nasihat Ratu," suara Gosha tercekat.

Laira memejamkan mata. Mengingat masa-masa silam yang tetiba berkelebatan di pelupuk mata.

"Berlatihlah sendiri. Berjuanglan bersama," pikiran Gosha mengulang-ulang nasihat Laira.

Telinga Laira mendengar pikiran Gosha mendesiskannya. Aswa pemalu yang selalu canggung di hadapan banyak pihak, dan menjadi unggul saat berlatih sendiri. Aswa yang selalu terjatuh dan di kemudian hari menjadi panglima terhebat Aswa.

Laira kembali duduk ke kursinya.

Tangannya melambai ke arah Gosha dan Calya, memberi isyarat agar mendekat.

Bait-bait ucapan Laira membuka rahasia terdahulu wangsa-wangsa mereka. Tentang perjanjian. Tentang perselisihan. Tentang kesepakatan. Tentang keharusan yang tidak terjadi

"Gosha, berjanjilah kau akan mentaatiku," ujar Laira lembut, nada ketegasan tampak di sana.

Gosha mengangguk cepat.

"Calya?" Laira memanggil.

Sang ratu menyentuh dagu putrinya.

"Aku dapat merasakan kepedihan Varesha sekarang," bisik Laira, mengamati setiap inchi wajah di depannya yang jernih bagai embun pagi.

Air mata Calya tumpah. Ia memeluk ibunya terisak.

"Kau mengerti Gosha, kenapa Milind adalah panglima terbaik?" tanya Laira.

Gosha mengangguk dalam diam.

"Ia petarung ulung. Pemberani. Selalu mampu menjadi pemimpin," Gosha jujur berkata.

Laira tersenyum.

"Milind hebat karena memiliki ratu seperti Varesha. Bukan ratu penakut seperti milik Aswa," Laira menggumam.

"Ratu!"

"Ibu!"

Mata Laira menerawang jauh, menatap langit gelap Aswa dalam warna beludru biru tua yang dipenuhi permata. Ia mendorong pelan Calya lepas dari pelukannya.

Sang ratu mengambil pisau kristal kecil dari balik laci.

Memangkas sedikit ujung rambut Gosha.

"Bergurulah pada Milind, Gosha, bila aku tak membersamaimu."

Gosha tak mampu mengiyakan.

"Dan kau juga Calya, belajarlah bagaimana menjadi ratu. Belajarlah pada putri Yami dan putri Nisha," ujar Laira, memangkas sedikit rambut Calya.

"Mengapa harus melakukannya?" leher Calya tercekat. "Apa kata ayah nanti?"

Laira mengelus rambut lebat dan halus Calya.

"Kau akan belajar suatu saat nanti : kepentinganmu, nyawamu dan segala yang berkaitan dengan dirimu tak memiliki harga sebanding dengan harga kerajaan dan rakyatmu."

Laira berbaring di pembaringan.

Tangan kanannya menggenggam rambut Gosha, tangan kirinya menggenggam rambut Calya. Kepalanya menoleh ke kanan, menatap keindahan pilar-pilar benteng Aswa dari balik jendela.

O, ia pernah memimpikan apa yang dialami Varesha.

Tapi saat itu ia masih terlalu muda untuk memahami. Sekarang ia mengerti. Laira menatap wajah Gosha dan Calya sekali lagi, sebelum ia memutuskan untuk memejamkan mata, merapalkan mantra panjang umur dalam hati.

Gosha bersimpuh di sisi Laira.

Menggenggam tangannya. Sebulir air jatuh, menimpa jemari sang ratu.

"Tidurlah, Ratuku. Ibuku. Pelindung pasukan Aswa," Gosha berbisik.

Di luar istana ratu, kubah pelindung panglima berpijar terang.