Chereads / Devil Inside Her / Chapter 1 - Bintang Hitam

Devil Inside Her

🇮🇩GeovannyS
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 547
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bintang Hitam

Hanna mengerjapkan berulang kali matanya, merasa ada kesalahan di retina matanya yang mengabur. Asap-asap hitam itu berkabung di langit kamarnya. Tidak mengumpal, tapi menyebar cukup untuk membuatnya terasa pekat. Kabutnya tak berbau, tapi cukup mengganggu.

"Sepertinya aku sudah terlalu lama mengerjakan ini." Hanna mendesah lelah. Kacamata beningnya dilepaskan, kemudian ia mengusap matanya yang cukup berair. "Tapi semuanya belum selesai ...."

Cukup lama mata Hanna terpejam, ingin mengistirahatkan matanya yang berjam-jam bekerja. Setelah terbuka, kumpulan asap itu belum juga menghilang. Masih setia, mengambang, dan bergabung dengan udara malam.

Anehnya, angin yang bertiup kencang tidak membawa kegelapan di langit-langit kamarnya pergi dan menjauh. Malah, yang terjadi adalah kamarnya sudah dipenuhi oleh asap hitam.

Hanna tidak pernah ingin berpikir ke sana. 'Mustahil, mustahil, mustahil!'

Gadis berusia dua puluh tahun itu bergerak ke jendela. Kusen pintu itu didorongnya kasar, masih ingin menyisakan harap untuk hal logis sekecil apa pun itu.

Tak!

Tepat setelah kusen pintu tertutup, seluruh pandangan Hanna dikaburkan. Tenggorokannya tercekik. Asap itu dirasakannya menjalar ke tenggorokannya. Angin berembus kencang ke dalam tubuhnya, mengisi setiap bagian kosong hingga tubuh Hanna beku layaknya es.

Ia tak bisa bernapas. Dadanya terimpit sesuatu yang besar. Lehernya mengerut, susah payah meraup oksigen walau gagal. Hanna yakin matanya memelotot, tapi ia tak dapat melihat apa pun. Tubuhnya mengejang serius, berusaha menepuk dadanya untuk kembali bernapas.

Lambat laun pijakan Hanna turut menghilang. Kakinya melambai-lambai, ingin berpijak karena merasa semakin tersiksa. Memberontak susah payah seakan tiada guna. Hanna yakin hanya ada dirinya di sini, tak terasa ada keberadaan manusia lain.

Kecuali yang bukan manusia.

Diyakininya bahwa kesadaran Hanna semakin menipis. Tenaganya tak sekuat di awal untuk memberontak. Tubuhnya semakin lemas, juga semakin mendingin.

Kabut yang bagai tombak masuk ke tubuhnya seakan tiada habisnya. Mulutnya dipaksa menganga, walau ia tak bisa mendapatkan napasnya kembali.

Semua ini apa?

Detik-detik sebelum nyawanya melayang, hal tak kasat mata itu menjatuhkan lagi tubuhnya ke lantai. Berdebum keras bersentuhan dengan kerasnya keramik.

Hanna terengah kuat. Berkali-kali menepuk dadanya untuk menghilangkan nyeri yang terasa luar biasa.

Di umur ke dua puluhnya, hal aneh dirasakan oleh Hanna. Di umur ke dua puluhnya, mau tidak mau Hanna mempercayai kalau ini bukan sekadar mimpi.

Sejak saat itu, simbol bintang hitam tercetak di bahu kirinya.

***

Enam bulan kemudian.

"Sekian pertemuan hari ini. Kalau sekiranya ada pertanyaan boleh chat saya asalkan tidak lebih dari jam enam malam." Pria di depan itu berkemas cepat, kemudian matanya terjurus pada seorang di antara kumpulan mahasiswa lainnya. "Hanna, tolong ke ruangan saya."

Mendadak semua pergerakan Hanna terhenti. Tasnya tak menjadi hal utama yang diperhatikannya. Keningnya berkerut meminta penjelasan. Merasa tak ada orang lain di barisnya yang diperhatikan, ujung jarinya berbalik menunjuk dirinya sendiri. "Saya?"

"Hanna di sini cuman kamu," katanya lagi. Tangannya sigap menenteng tumpukan buku. "Sekalian bantu saya bawa ini, Hanna. Saya tunggu."

"Pak, tapi-"

"Han, turutin aja. Mungkin dia mau bantu skripsi kamu, Han." Teman yang di sebelahnya menyikut sikunya, menunjuk kepergian dosen itu dengan dagunya. "Kamu kan stuck di bab dua terus nggak jalan-jalan."

"Tapi dipanggil sendiri nggak enak, Man," balas Hanna merengut tak menyenangkan. Apalagi setelah kejadian enam bulan yang lalu.

Matanya sempat menjadi hitam seharian setelah kejadian itu. Pandangannya jelas, tapi seluruh sklera matanya menghitam, layaknya malam yang gelap. Itu membuatnya ketakutan setengah mati. Saat ingin mengadu pada orang lain, maniknya telah kembali seperti semula.

Dia telah membuat kesimpulan kecil. Hal aneh ini akan terjadi di saat sepi.

Hanna tak sanggup membayangkannya. "Ikut aku, Man. Temenin."

"Nggak, ah." Manda, temannya yang berabut panjang nan lebat, langsung menolak. Surai panjangnya dikibaskan ke belakang, berbau harum. Tak mengindahkan tatapan memelas Hanna, ia telah menjinjing tasnya sendiri. "Kelas sebentar lagi diisi sama mahasiswa lain. Mending kamu keluar sekarang."

"Man, please," pinta Hanna memohon.

"Duluan, aku ada janji sama pacarku. Hati-hati, Han." Manda berkedip sebelah mata. Mendadak hilang bergabung dengan kumpulan mahasiswa lain yang berlalu-lalang.

Tapi yang tak disadari Hanna, sepeninggalan Manda, maniknya berubah menjadi gelap.

Sekali kedip lagi, manik Hanna kembali seperti semula. Tepat sebelum Hanna berjalan berlawanan arah dari perginya Manda.

***

Tok! Tok!

Hanna mengatur napasnya agar terkendali. Semoga saja keanehannya itu tak membuat orang lain ketakutan. Cukup Hanna yang mengurung diri satu minggu. Jangan orang lain.

"Masuk."

Penuh kekuatan, pintu kaca itu didorongnya pelan. Kepalanya melongo mendahului tubuhnya. Tangannya hanya berisi dua buku yang ditinggalkan dosennya, untuk memaksanya hadir di sini. "Permisi, Pak. Saya izin masuk, ya."

"Masuk saja, Hanna." Pria itu menyingkirkan segala urusannya ke tepi. Diikuti dengan tanggalnya kacamata bening itu. "Kabar skripsi kamu gimana, Han? Baik?"

"Baik, Pak." Hanna sibuk meletakkan lebih dulu dua buku itu, dilanjutkan dengan mengobrak-abrik isi tasnya. "Sebentar ya, Pak. Saya cari dulu."

"Sebenarnya yang mau saya tanyain ke kamu nggak berhubungan sama skripsi, sih, Hanna." Pria itu mengulas senyum tipisnya lagi. "Saya mau tanya, kamu mau makan malam dengan saya?"

Suara berisik dari dalam tasnya terhenti lagi. Persis seperti bagaimana pria itu menghentikan gerakan memasukkan barangnya.

Darahnya berdesir kuat di dalam tubuhnya. Mengencang, menghantarkan jutaan kupu-kupu berterbangan di perutnya. Terkejutnya tidak terdefinisi. "Maksud Bapak ...."

"Ajakan kencan, Hanna," jawabnya lebih pelan dari tadi. "Saya suka sama kamu, Hanna. Kamu nggak sadar, ya?"

Kebiasaannya untuk berkedip cepat timbul lagi. Kini kepalanya miring kebingungan. "Tapi kenapa saya, Pak?"

"Ya karena kamu adalah kamu, Hanna," katanya sembari terkekeh tipis. Tawanya menghangatkan, lebih dari sekadar keprofesionalan yang pernah dilihatnya. "Kamu bisa pertimbangin tawaran saya, Hanna. Saya nggak terburu-buru untuk menjalin hubungan, kok."

Membayangkan orang yang suka padanya saja sudah mustahil.

Bagaimana bisa dosen yang disegani, disukai mayoritas mahasiswi, bisa suka padanya? "Pak ..., suka atau cinta?"

"Ada perbedaannya?" tanyanya tenang.

"Suka ya ..., tingkatannya lebih rendah dari cinta." Hanna mencicit pelan, menundukkan kepalanya ke bawah. Tak merasa orang sepertinya pantas dan layak untuk dicintai. "Kalau cinta ...."

"Kamu pernah merasakannya?" Pria itu mengulas senyumnya yang meninggi. "Atau ada orang lain sebelum saya?"

"Bukan, kalau cinta nggak akan pernah pudar, setidaknya itu menurut saya," kata Hanna perlahan. "Kalau ada sedikit saja yang menyinggung rasa suka, rasa suka itu sendiri bisa pudar."

Berpikir sejenak, orang di kursi seberangnya mengangkat kedua bahunya. "Mari tentukan hal itu setelah makan malam, Hanna."

Hanna berkedip lambat kali ini. Sekali kedip, ia tak melihat apa pun. Kedua kalinya ia berkedip, lambang bintang itu seakan terpajang di ubin bawah yang dipandanginya.

Apa Hanna berhalusinasi lagi? "Baiklah."