Idu Geni adalah sebuah sumpah berapi
Mengalir keluar dari hati yang berdarah
Dan jiwa yang terluka
Akibat geram dan dendam yang menyala.
Akan membakar habis
Padang ilalang, hutan rimba, hingga tujuh samudera
Menjadi serpihan abu yang berserakan
Dan terbawa badai
Sampai batas antara surga dan neraka.
Pesanggrahan Bubat. Arya Dahana masih termangu mangu. Tak tahu apa yang harus dilakukannya. Kejadian memilukan di depan matanya ini begitu hebat. Begitu miris dan tragis. Ini bukan peperangan terbuka yang adil. Namun sebuah pembantaian besar besaran.
Masih terbayang bagaimana amarah Dewi Mulia Ratri menyala seperti api neraka. Dari sorot mata dan sumpahnya, nampak gadis itu menyimpan dendam yang luar biasa dalamnya. Bagaimana tidak? Rombongan Galuh Pakuan yang datang dengan niat begitu mulia. Menyatukan sebuah tali menjadi ikatan perjodohan agar tidak terjadi perang yang pasti akan menyengsarakan rakyat jelata, malah mendapatkan balasan malapetaka sedahsyat ini.
Pemuda ini mengangkat mukanya. Lapangan Bubat masih menyisakan kengerian yang sama. Mayat bertumpuk-tumpuk bergelimang genangan darah. Senjata-senjata yang patah berserakan seperti jerami. Pohon-pohon yang bertumbangan dihantam petir dan badai membuat lapangan itu porak-poranda. Pendopo yang sebelumnya berdiri gagah dan megah, kini tinggal puing-puing berserakan.
Orang-orang Sayap Sima masih berdiri di ujung lapangan. Memperhatikan dirinya yang tinggal seorang diri. Ki Gularma sudah menghilang pergi begitu Dewi Mulia Ratri tadi pergi. Dia lah sisa satu-satunya orang di Lapangan Bubat selain orang-orang Majapahit. Arya Dahana tidak memperdulikan itu. Dia malah melangkah ke tengah lapangan sambil mengambil sebuah tombak yang tergeletak, lalu mulai menggali kuburan.
Madaharsa hendak melangkah maju. Namun Ki Tunggal Jiwo mengangkat tangannya mencegah. Membuatnya menghentikan niat untuk menyerang pemuda yang sedang sibuk menggali itu. Tokoh yang telah membunuh Raja Galuh Pakuan ini berbisik kepada Ki Tunggal Jiwo.
"Ki, apakah kau sadar bahwa musuh yang tersisa itu adalah Arya Dahana? Anak dari Arya Prabu? Orang yang menyebabkan putri tunggalmu tewas di puncak Merapi?...."
Ki Tunggal Jiwo tersentak kaget bukan main mendengar itu. Sebelumnya dia memang tidak tahu siapa gerangan pemuda tangguh yang sanggup melayani Panglima Kelelawar itu tadi. Mata orang tua tangguh ini memerah secara perlahan. Amarahnya mulai bangkit. Jadi ini pemuda yang dikabarkan telah mempengaruhi putrinya sekaligus menyebabkan kematiannya? Tangannya sudah tidak sabar untuk menghajar pemuda itu. Namun tokoh ini berusaha menahan hatinya. Dia akan menunggu sampai pemuda itu selesai melakukan penguburan. Dia hanya akan berjaga-jaga jangan sampai pemuda itu kabur.
Arya Dahana melanjutkan pekerjaannya menggali kuburan di bawah tatapan mata ingin tahu banyak orang Majapahit. Satu persatu lubang kuburan digalinya. Setiap satu lubang selesai, dia menguburkan beberapa orang prajurit. Tidak peduli apakah itu prajurit Majapahit atau Galuh Pakuan.
Lubang yang digalinya memang sangat besar sehingga cukup untuk mengubur beberapa orang sekaligus di dalamnya. Begitu terus dikerjakannya hingga akhirnya semua mayat yang tadinya bergeletakan tidak karuan sekarang bersih dari lapangan. Hanya tertinggal beberapa mayat tokoh-tokoh Galuh Pakuan yang masih belum terkubur.
Kali ini, Arya Dahana menggali satu lubang untuk satu mayat bagi tokoh-tokoh Galuh Pakuan. Dimulai dari Nini Papatong. Lalu Ki Sampaga. Setelah itu Ki Mangkubumi, dan Maesa Suro.
Pemuda ini lalu berjalan persis di tengah lapangan bekas pohon Maja raksasa berdiri kokoh sebelum ditumbangkan petir dan puting beliung. Digalinya tiga lubang berjajar di sana. Setelah lubang-lubang itu siap, dikuburnya Andika Sinatria, Putri Dyah Pitaloka di samping kanan kiri Baginda Raja Linggabuana.
Tidak berhenti sampai di situ. Arya Dahana kemudian mendekati sebuah panggung besar dari batu yang biasanya untuk upacara dan ritual Raja-Raja Majapahit. Pemuda itu berhenti sejenak mengumpulkan hawa murni, lalu menghantamkan pukulan Busur Bintang ke panggung besar itu.
Terdengar bunyi memekakkan telinga ketika panggung itu roboh. Arya Dahana menghantam sekali lagi. Bongkah-bongkahan batu besar menggelinding kesana kemari. Panggung besar itu tidak lagi berbentuk panggung. Hanya tumpukan batu-batu besar yang berserakan.
Para tokoh Sayap Sima dan prajurit Majapahit yang sedari tadi menyaksikan tingkah polah Arya Dahana, merasa takjub dan kagum bukan main. Tenaga pemuda dekil itu luar biasa hebat. Panggung itu sangat besar dan kokoh kuat. Dibangun oleh tukang-tukang batu paling ahli di Majapahit. Tapi pemuda itu menghancurkannya dengan dua kali pukulan. Madaharsa yang tadinya memandang remeh, kini berpikir ulang mau cari perkara dengan putra Arya Prabu itu.
Arya Dahana mendorong tiga batu yang paling besar itu ke tengah lapangan satu persatu. Didudukkannya batu-batu besar di tiga makam keluarga kerajaan Galuh Pakuan. Batu yang paling besar diletakkannya di tengah, di makam Baginda Raja Linggabuana.
Belum selesai sampai di situ, Arya Dahana menggerakkan jari-jarinya di ketiga batu penanda makam. Pemuda itu menulis menggunakan tenaga dalam, kata-kata di setiap batu penanda makam.
Di makam Putri Dyah Pitaloka ; 'Kesetiaan menumpahkan darahnya..langit dan bumi akan bersujud kepada Sang Putri'
Di makam Andika Sinatria ; 'Keberanian membawa nyawanya pergi...seorang pangeran tiada tara di dunia'
Di makam Baginda Linggabuana ; 'Keperkasaannya tiada tanding...seorang raja besar tiada banding'
Setelah selesai menulis, Arya Dahana terpekur menundukkan kepalanya di hadapan ketiga makam keluarga kerajaan Galuh Pakuan. Memanjatkan do'a terakhir bagi kepergian orang-orang pilihan Sang Hyang Widhi. Lalu membalikkan badan untuk pergi dari tempat yang melukai sejarah itu.
Namun langkahnya terhenti. Di hadapannya berdiri Ki Tunggal Jiwo yang menatapnya dengan berapi-api.
"Hentikan langkahmu anak muda! Aku menuntut pertanggungjawaban atas kematian putriku!"
Arya Dahana menghela nafas panjang. Rasa sakit itu kembali menerpa dadanya.
"Maaf Ki, aku sama kehilangannya dengan dirimu. Dyah Puspita adalah bagian dari hidupku semenjak kecil. Aku sangat berhutang budi kepadanya. Kalau kau ingin menuntut pertanggungjawabanku, apa yang kau inginkan Ki?"
Ki Tunggal Jiwo tidak menjawab, tapi malah menggerakkan tangan mengirimkan pukulan maut ke arah Arya Dahana yang tentu saja terkejut bukan main. Pukulan itu sangat dahsyat karena dilakukan dengan sepenuh hati. Angin bersiutan keras mengiringi pukulan maut itu.
Arya Dahana tidak bisa bermain-main. Pukulan Ki Tunggal Jiwo mengarah nyawanya. Orang tua ini rupanya sangat dendam kepadanya. Pemuda ini menghindar dengan sigap. Namun Ki Tunggal Jiwo menyusulkan lagi pukulan bertubi-tubi. Terpaksa Arya Dahana melompat kesana sini untuk menghindari pukulan.
Ki Tunggal Jiwo adalah tokoh sakti yang kemampuannya luar biasa. Tentu saja Arya Dahana tidak akan sanggup bertahan jika hanya menghindar. Suatu saat dia pasti akan terkena pukulan-pukulan maut itu. Terpaksalah pemuda ini melayani serangan-serangan tiada henti tersebut.
Terjadi saling serang yang hebat antara Ki Tunggal Jiwo dan Arya Dahana. Bedanya, Ki Tunggal Jiwo mengarah kematian Arya Dahana, sedangkan pemuda itu sebisa mungkin tidak menjatuhkan tangan maut. Dia bisa ikut merasakan rasa kehilangan seorang ayah terhadap putrinya yang pergi menghadap Sanghyang Widhi tanpa dia tahu apa yang terjadi. Apalagi tidak bisa menguburnya dan bahkan tidak tahu di mana makamnya.
Semua orang yang menyaksikan pertarungan dahsyat itu terkagum-kagum. Ki Tunggal Jiwo menemukan lawan yang sepadan. Dua bayangan yang sedang bertarung itu berkelebat kelebat. Angin pukulan tidak lagi bersiutan, namun sudah menderu-deru. Pukulan Braja Musti Ki Tunggal Jiwo yang berhawa panas membuat udara di Lapangan Bubat menjadi gerah. Diimbangi oleh Arya Dahana dengan pukulan Busur Bintang yang luar biasa dingin yang membuat orang-orang menggigil kedinginan.
Pertarungan ini seperti pertarungan antara dua musim yang berlawanan. Musim panas dan musim dingin. Dalam sekejap udara sangat panas, di kejap yang lain udara jadi membekukan. Ki Tunggal Jiwo telah menguasai Braja Musti dengan sempurna. Ilmu apapun yang telah dikuasai dengan sempurna, maka ilmu itu seperti telah bersenyawa dengan empunya. Arya Dahana belum sepenuhnya sempurna dalam menguasai pukulan Busur Bintang, namun kedahsyatan pukulan itu cukup bisa mengimbangi Braja Musti.
Arya Dahana masih mempunyai ilmu pukulan dahsyat lainnya. Geni Sewindu dan Bayangan Matahari. Geni Sewindu sudah dikuasainya dengan sempurna, sedangkan Bayangan Matahari baru-baru saja dipelajarinya. Bisa saja dia mengadu Geni Sewindu dengan Braja Musti. Namun dia takut itu akan membuat cedera parah atau bahkan kematian karena ilmu pukulan yang sama-sama mendasarkan diri pada hawa panas bertemu.
Tenaga dalam Arya Dahana lebih tinggi dari Ki Tunggal Jiwo. Semua berkat mustika api yang ditelan pemuda itu. Hal ini mendukung kesempurnaan ilmu-ilmu pukulan berhawa panas yang dimilikinya. Arya Dahana menyadari itu, dia tidak ingin beradu tenaga dengan Ki Tunggal Jiwo. Orang tua itu bisa tewas dan dia juga bisa terluka parah. Oleh sebab itu, Arya Dahana sedapat mungkin melayani serangan-serangan Ki Tunggal Jiwo dengan pukulan Busur Bintang yang berlawanan sifat.
Puluhan jurus telah berlalu. Pertarungan itu semakin seru. Ki Tunggal Jiwo benar-benar penasaran. Dia adalah termasuk dari sedikit tokoh silat nomor satu di dunia persilatan, namun kini mendesak pemuda konyol itupun tidak bisa dilakukannya. Pemuda ini luar biasa tangguh. Untuk mengalahkannya dia tidak bisa sendirian. Ki Tunggal Jiwo melompat ke belakang sambil berseru lantang,
"Arya Dahana!...kau telah membantu musuh Majapahit. Oleh karena itu kau harus dihukum karena berani membangkang kepada kerajaan...!"
Tokoh ini memberikan isyarat kepada Madaharsa, Maesa Amuk dan Bledug Awu-awu untuk maju bersama-sama.
Semua yang diberikan perintah menyerang, segera berhambur maju menerjang Arya Dahana, kecuali Maesa Amuk. Madaharsa langsung saja memainkan jurus-jurus Bayu Lesus yang mengerikan. Bledug Awu-awu menggunakan kekuatan sihirnya untuk coba memperlemah kekuatan pemuda itu. Ki Tunggal Jiwo juga meneruskan serangannya kepada Arya Dahana sambil melirik kesal kepada Maesa Amuk yang masih berdiri tanpa berbuat apa-apa.
Maesa Amuk memang terkenal sebagai seorang tokoh yang tidak suka main keroyok. Apalagi sekarang yang terjadi adalah urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kerajaan Majapahit. Dia berani membangkang perintah pimpinannya di Sayap Sima itu karena memang tidak sesuai dengan nuraninya.
Kali ini Arya Dahana diserang habis-habisan oleh tokoh-tokoh tertinggi Sayap Sima. Sihir Bledug Awu-awusama sekali tidak mempengaruhinya karena dia kebal sihir maupun racun. Serangan-serangan Bayu Lesus awalnya membuat kerepotan. Ilmu pukulan Madaharsa ini mengandung unsur angin yang dahsyat. Arya Dahana seperti sedang dikepung oleh badai di sekeliling tubuhnya. Sementara pukulan pukulan Ki Tunggal Jiwo juga semakin berbahaya.
Pemuda ini mau tidak mau akhirnya harus mengerahkan ilmu pukulan Geni Sewindu bersamaan dengan Busur Bintang. Tubuhnya menjadi berubah aneh. Bagian tubuh sebelah kanan menjadi berwarna keperakan, sedangkan sebelah kiri berubah hijau kepucatan. Gerakannyapun berubah lambat. Namun jauh lebih bertenaga dibanding sebelumnya.
Bledug Awu-awu akhirnya mundur dari pertempuran karena merasa ilmu sihir tidak ada gunanya melawan pemuda itu. Dia bisa saja menciptakan binatang jadi-jadian, namun melihat pemuda itu tidak mempan sihir, maka itupun akan percuma saja.
Madaharsa mengerahkan Bayu Lesus sekuat tenaganya. Ki Tunggal Jiwo juga mengeluarkan Braja Musti yang paling tertinggi. Arya Dahana perlahan-lahan mulai terdesak. Sehebat-hebatnya tenaga yang dia punya, pemuda ini masih kurang pengalaman. Ilmu Busur Bintang pun masih belum mencapai tingkat tertinggi. Geni Sewindulah yang membantunya bisa bertahan dengan baik meski tidak bisa sepenuhnya menyerang balik.
Hari sudah menjelang malam. Namun pertarungan tidak ada tanda-tanda akan selesai. Arya Dahana memang terdesak, tapi dia bisa bertahan dengan baik. Sambil bertarung, pemuda ini berpikir. Jika pertarungan ini dilanjutkan terus, maka dia pasti akan kelelahan. Dan itu berbahaya. Masih untung Maesa Amuk tidak terjun dalam pertempuran itu. Jika tokoh berangasan itu ikut maju, belum tentu dia bisa bertahan sampai sejauh ini.
Arya Dahana kemudian memutuskan, dia harus mengakhiri ini dengan cepat. Yaitu segera pergi dari tempat ini. Tapi kedua tokoh itu tidak mau memberinya kesempatan untuk melarikan diri dengan mengalirkan serangan-serangan dahsyat yang tidak berkesudahan.
Putra mendiang Arya Prabu ini kemudian merubah gaya bertarungnya. Perlahan dia mulai mengerahkan tenaga murni tubuhnya untuk menpersiapkan pukulan kejutan. Bayangan Matahari. Tubuhnya yang tadi terbelah menjadi dua warna, kini utuh berwarna keperakan. Gerakannya semakin lambat. Bahkan sekarang berhenti sama sekali. Diam seperti arca, namun tiba-tiba cahaya yang sangat menyilaukan mata keluar dari kedua tangannya mengarah kepada kedua tokoh yang masih bernafsu menjatuhkannya itu.
"Blaaaar...blaaarr!"
Dua larik sinar perak menghantam tanah di depan Ki Tunggal Jiwo dan Madaharsa. Keduanya melompat mundur dengan tergesa-gesa. Pukulan pemuda itu sangat mengerikan. Tanah berubah merah menyala saat pukulan mengenai. Bahkan tanah itu sampai berlubang sekian depa akibat pukulan tersebut.
Memanfaatkan kekagetan mereka, Arya Dahana berbalik cepat dan berkelebat lenyap dari tempat itu. Ki Tunggal Jiwo dan Madaharsa tidak sempat menghadang, karena mereka benar-benar terkejut dan jerih dengan kehebatan pukulan terakhir yang dilancarkan pemuda itu tadi.
Mereka akhirnya pasrah pemuda itu melarikan diri. Untuk mengejarnya akan menemui banyak kesulitan. Malam sudah jatuh di Lapangan Bubat. Kegelapan akan menyembunyikan pemuda itu.
Ki Tunggal Jiwo memerintahkan agar pasukan berjaga di pesanggrahan yang kini menjadi kuburan raksasa. Orang tua ini juga memberikan perintah agar kejadian ini segera disampaikan ke pasukan perbatasan supaya mereka bersiaga penuh untuk berjaga-jaga jika pasukan besar Galuh Pakuan menyerang untuk balas dendam.
Maesa Amuk dan Bledug Awu-awu diperintahkan untuk kembali ke Sungai Cipamali. Mengawasi secara ketat pergerakan Galuh Pakuan sekaligus memimpin pasukan jika terjadi serangan. Ki Tunggal Jiwo sendiri dan Madaharsa kembali ke Ibukota Majapahit malam ini juga untuk melaporkan semuanya kepada Mahapatih Gajahmada.
*