Chereads / Istri Sementara Tuan CEO / Chapter 4 - Stun Gun

Chapter 4 - Stun Gun

Velisa memeriksa bekas memar di kakinya, mengangkat kaki jenjangnya keatas wastafel. Terlihat bekas memar itu mulai membengkak. Vei meringis kesakitan saat ia menekan-nekan dengan perlahan luka memar itu.

Bruck...

Suara itu hampir saja membuat jantung Velisa copot. Velisa menoleh, mendapati Afran sedang berdiri dihadapannya. Menatapnya dengan sinis.

Velisa berusaha untuk melarikan diri dengan menerobos tubuh Afran. Walau Vei tau dengan tubuh kekar pemuda itu, kekuatan Vei bukanlah apa-apa. Tapi setidaknya Vei harus bisa melawan atau hidupnya akan berakhir di tangan Afran.

"Kau sungguh gadis yang tidak tau berterimakasih..." Arfan menahan tubuh Velisa.

"Ve-li-Sa jadi namamu Velisa." Membaca name-tag gadis tersebut.

Dengan segera Vei menutup name-tag nya dengan kedua tangannya. Saat itu Vei teringat dengan Stun gun yang diberikan Bibi Margareth. Vei langsung mengarahkan Stun gun itu kehadapan Afran.

"Sebaiknya jangan ganggu aku. Atau kau akan menerima akibatnya. Kali ini aku tidak main-main."

"Apa kau pikir..." Belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Stun gun itu sudah terlebih dahulu menancap di perut Afran. Tubuhnya langsung bergetar dan lemah. Seketika Afran meringkuk di hadapan Vei.

Vei melihat Afran yang bertekuk lemah di hadapannya. Ia masih terkejut tidak percaya bahwa ia baru saja menyetrum Afran. Gerakan refleks yang Vei lakukan terjadi karena dia terlalu takut kepada Afran.

Vei mendorong tubuh Afran dan berlari meninggalkan Afran di dalam toilet.

Melihat Vei keluar dari toilet sendiri, Dev yang saat itu berjaga-jaga diluar kamar mandi langsung mengejar gadis itu. Vei yang sadar dengan kehadiran Dev dengan cepat bersembunyi kerumunan orang yang sedang asik berjoget. Dev berusaha keras untuk menangkap Vei, namun kegelapan di dalam klub itu berhasil menyembunyikan Vei dari pandangan Dev. Gadis itu lenyap entah kemana.

Dev mengurungkan niatnya untuk mengejar Velisa. Dev memilih untuk memeriksa kondisi Afran yang belum juga terlihat keluar dari kamar mandi. Betapa terkejutnya Dev saat melihat Afran sudah terbaring lemah di lantai dan saat itu ada beberapa gadis mengelilingi Dev. Tentu saja ada banyak gadis, karena saat itu Afran berada di dalam toilet khusus wanita. Dev langsung membopong tubuh Afran untuk keluar dari toilet.

Vei berlari keluar dan memilih kembali kekediaman Bibi Margareth. Sangat bahaya baginya untuk kembali kedalam klub malam itu setelah apa yang sudah terjadi.

Setelah tiba di rumah Margareth, Vei dikagetkan dengan keadaan rumah yang sangat berantakan. Terlihat Margareth meringkuk di ujung ruangan. Wajahnya dipenuhi luka memar dan rambutnya terlihat berantakan.

"Bi... bibi apa yang terjadi?" tanya Vei khawatir.

Saat itu Margareth hanya bisa menangis sembari memeluk Vei. Air matanya mengalir deras, suara Isak tangisnya semakin memenuhi ruangan.

Vei tidak mau bertanya banyak melihat kondisi Margareth. Dia hanya diam dan ikut membalas pelukan Margareth. Sesekali mengelus pundak wanita itu agar ia bisa merasa lebih tenang.

Selang beberapa waktu, Vei merasa Margareth sudah merasa sedikit tenang. Vei membopongnya untuk duduk di sofa. Tak lupa Vei menuangkan segelas air putih untuk Margareth.

"Vei... hiks.."

"Siapa yang melakukan ini kepada bibi?"

"Mantan pacarku. Namanya James, dia sering memperlakukan ku seperti ini."

"Kenapa tidak bibi laporkan saja dia ke polisi?"

"Percuma, dia adalah orang yang cukup berpengaruh di kota ini. Tidak akan ada yang membela ku, semua adalah salahku Vei... aku sudah membiarkan bajingan itu masuk ke kehidupan ku. Aku terlalu bodoh karena percaya dengan cinta. Wanita seperti aku... mana mungkin dicintai oleh pria manapun."

"Bibi..." Vei memeluk Margareth.

"Kenapa tidak pindah saja bi."

"Sudah aku coba Vei, tapi dia berhasil menemukanku. Dimana pun aku berada dia akan mencari ku."

"Tidak... bi, setelah ada aku dia tidak akan bisa memperlakukan mu seperti ini lagi. Aku akan melaporkannya kepada polisi." Ucap Vei dengan tegas.

"Tidak Vei, kita tidak akan bisa melawannya. Lagi pula aku baik-baik saja, jangan jadikan kejadian ini suatu hal yang mengganggu pikiran mu." Ucap Margareth.

"Ayo, aku akan mengantar bibi ke kamar, aku akan membantu bibi membersihkan luka ini."

Setelah selesai membersihkan luka lebam di wajah Margareth. Vei berjalan keluar dari kamar Margareth. Vei yakin bibinya butuh waktu untuk beristirahat.

"Vei jangan matikan lampunya. Bibi takut gelap." Kata Margareth saat melihat Vei berniat mematikan lampu kamarnya.

"Selamat tidur bi, jika ingin sesuatu jangan sungkan memanggilku. Aku akan tidur di sofa."

"Thanks Darling."

Sambil menatap langit-langit Vei mulai termenung. Sesekali ia memperhatikan pintu kamar Margareth. Entah mengapa di dalam kehidupan Vei semua laki-laki begitu kejam. Tidak ada yang benar-benar baik seperti di dalam dongeng. Hampir semua pria yang Vei jumpai memiliki sisi buruk yang sangat mengerikan.

Jika semua laki-laki memang sekejam itu, aku berharap aku tidak akan pernah jatuh cinta atau bahkan sampai menikah. Aku tidak mau putri ku lahir dan berakhir tragis seperti diriku atau seperti bibi Margareth. Batin Velisa.

Seketika Velisa teringat Afran. Velisa berharap pria itu akan baik-baik saja. Bukan karena kasihan, tapi Vei hanya tidak ingin terjerat masalah dengan pria itu lagi. Vei berharap tidak akan pernah bertemu lagi dengan pria itu seumur hidupnya.