Sesampainya di rumah Airin langsung memotong tempe dengan cepat. Menggoreng dengan dengan sedikit minyak, setelah setengah matang Airin langsung mencampurkan dengan dengan kecap manis dengan sedikit air. Tempe kecap adalah makanan sederhana yang sangat disukai oleh Alna. Setelah semuanya selesai. Segera Airin menyiapkan nasi panas di piring lalu meletakkan sedikit tempe kecap yang baru saja masak ke pinggir piring.
"Alna, makanya, yuk, Nak," ajak Airin pada putrinya yang fokus menonton acara kartun kesayangannya.
"Makan yang banyak, ya, Nak, abis itu tidur," minta Airin sembari menyuapkan Alna dengan nasi dan tempe kecap buatannya tadi.
"Iya, Bun," jawab Alna tanpa memalingkan wajahnya dari layar televisi.
Setahun selesai makan, Airin langsung membersihkan badan Alna, lalu menuntunnya ke kamar, dan membaringkan pada kasur busa yang tergeletak di lantai berkeramik putih.
Dengan lirik-lirik senduh mengandung zikir Airin menidurkan Alna, perlahan-lahan mata kecil itu terpecam dan mulai terbuai mimpi. Sementara Airin mulai terdiam, menyapu setiap sudut kamar, wanita bertubuh kurus itu terbayang lagi akan kenangan bersama Mas Dimas. Lima tahun mengayuh bersama batra rumah tangga nyatanya tidak bisa membuat dua insan yang berbeda suku itu saling memahami dan melengkapi.
Airin bangkit dari pembaringannya, memilih duduk di sudut kamar. Airin paling suka posisi sudut kamar, dia bisa menyenderkan bahu dan kepalanya pada kedua sudut yang saling bertemu, seakan dua sisi tembok mengambil semua beban masalah dalam hatinya.
Airin menarik napas dalam, menahannya sejenak didada lalu menghembuskan perlahan, sangat perlahan. Seolah rasa sakit hatinya dapat berkurang sedikit demi sedikit. Namun, nyatanya perasaan itu semakin membuat dadanya sesak. Airin menarik lututnya lalu memeluknya erat. Membenamkan kepalanya.
Airin kembali menangis. Terisak. Namun, ditahannya sekuat mungkin. Dia tidak ingin Alna terbangun karena suara tangisannya.
Airin mengangkat wajahnya, memiringkan pada dukul, air mata keluar dengan sangat deras ketika matanya beradu melihat wajah Alna yang tertidur pulas.
Airin tak kuasa lagi menahan beban hatinya, kali ini dia menangis dengan sedikit meraung seperti anak kecil.
"Mamak, maafkan aku," ujarnya lirih pada diri sendiri.
Airin menyesali keputusan sendiri. Kini, setelah lima tahun pernikahan baru kali ini dia menyalakan dirinya akan semua yang terjadi.
***
6 tahun yang lalu.
"Nanti, kalau ada yang lamar dalam seminggu ini terima aja," ujar Cik Wina pada Airin setelah memandikan gadis berbadan langsing itu dengan air kembang.
Airin yang menggunakan sarung sebagai basahan hanya mengangguk mengerti.
Wanita yang telah mengganti pakaian itu, keluar dari kamar mandi. Airin mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk yang diberikan oleh Cik Wina pada Airin. Setelah selesai Airin menghampiri Cik Wina yang berada di ruang tamu dengan beberapa orang temannya.
Beberap hari yang lalu Airin menemani seorang temannya yang sengaja menemui Cik Wina untuk meminta beberapa syarat untuk membuka salon kecantikan. Dan tanpa disadari Cik Wina menatap Airin dengan tatapan serius.
"Kamu siapa?" tanya Cik Wina. Tatapannya tidak seramah saat pertama kali mereka bertemu di depan pintu.
"Saya Airin, Cik," jawab Airin dengan kening berkerut.
Airin merasa heran akan sikap Cik Wina, mengapa dia bertanya lagi nama Airin, padahal tadi Airin memperkenalkan diri pada Cik Wina dan disambut dengan wajah rama wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang senja.
Saat Airin menyebutkan namanya, Cik Wina mengeleng-mengelengkan kepalanya beberapa kali. Lalu menutup rapat matanya.
"Farhan, minta rokok."
Airin dan beberapa orang temannya terhentak mendengar suara Cik Wina yang berubah, suara yang tadinya terdengar lembut khas seorang ibu kini, berubah menjadi suara lelaki tua, sesekali Cik Wina terbatuk-batuk dan mengubah posisi duduknya.
Seorang lelaki muda yang tadi dipanggil dengan Farhan datang dengan sebatang rokok yang telah dibakar dan satu asbak rokok. Farhan memberikan rokok yang sudah dibakar tadi pada Cik Wina. "Lama sekali, kau," ujar Cik Wina dengan suara laki-laki dengan aksen Melayu.
Airny memandang Farhan dengan tatapan mata bertanya. Lelaki itu hanya menjawab dengan senyum yang sulit untuk diartikan. Rina teman yang mengajak Airin ke sini, menyenggol lengannya. Menatap Airin dengan tatapan penuh tanya.
Airin mengangkat kedua bahunya, menjawab tatapan matanya yang tidak jauh sama bingungnya dengan Airin.
"Kemarilah," ujar Ci Wina. Dengan mata tertutup.
"Siapa, Cik?" tanya Rani heran.
"Dia!"
Cik Wina menunjuk ke arah Airin. "Saya?" tanya Airin memastikan.
Dia heran mengapa Airin yang harus berhadapan langsung dengan Cik Wina. Sementara yang mempunyai hajat adalah Rina teman Airin.
"Iya, kamu," ujar Cik Wina kembali.
Dengan perasaan takut Airin yang tegah duduk bersilang manju sedikit hingga duduk berpapasan dengan Cik Wina.
"Saya, Atuk, jangan takut," ujar Cik Wina, memperkenalkan dirinya sebagai Atuk.
Airin sama sekali tidak mengerti akan semua yang sedang terjadi. Airin tadi berpikir kunjungan ini hanya sekedar untuk menemani Rina yang telah membuat janji terlebih dahulu dengan Cik Wina. Namun kini, mengapa harus dirinya yang berhadapan dengan Cik Wina yang seperti sudah dirasuki oleh jiwa yang lain.
"Siapa kau, nih?" tanya Cik Wina yang bersuara Atuk. Wanita yang mengenakan jilbab itu mengisap rokoknya dalam, lalu setelah itu beberapa kali Cik Wina terbatuk-batuk. Dengan cepat Farhan menyodorkan cangkir besar yang berisi air putih.
"Tadi, Mamak pesan, jangan terlalu banyak merokok, Mamak sedang batuk," bisik Farhan pada Cik Wina. Namun, masih dapat terdengar oleh Airin.
"Kau, ini sama cerewetnya dengan, mamakmu, ambil ini."
Cik Wina memberikan potongan rokok pada Farhan, lalu remaja tanggung itu meletakkannya pada asbak yang ada di depannya.
Masih dengan mata terpejam, Cik Wina menatap Airin yang terlihat sedikit ketekutan.
"Mana dia Farhan?" tanya Cik Wina masih dengan suara lelaki, yang terdengar sudah sepuh.
"Uda pergi, Tok," jawab Farhan. Mata anak lelaki itu menatap Airin tajam.
Wanita yang mengenakan jilbab hitam itu, merasa bingung. Mengapa kedua orang ini bersikap aneh padanya.
"Sini, Nak." Tangan Cik Wina melambai pada Airin, terpaksa gadis yang mengenakan celana panjang itu menggeser sedikit bokong agak maju menghadap Cik Wina yang duduk dengan melipat dukulnya keatas.
Wanita yang terbatuk-batuk di hadapannya menjulurkan tangannya ke hadapan Airin. "Atuk minta tangan kakak," jelas Farhan pada Airin
Airin mengangguk pelan. Lalu sedetik kemudian memberikan tangannya pada Cik Wina.
Setelah Airin memberikan tangannya pada Cik Wina. Wanita itu langsung menekan jempol Airin, membuat gadis itu Menjerit-jerit histeris. Meraung memohon pada Cik Wina untuk melepaskan tekanan jempolnya dari Cik Wina.
"Siapa, kau?" tanya Cik Wina masih dengan suara lelaki.
"Sakit, sakit ...
!" jerit Airin lagi, membuat kedua temannya merasa takut.