Chereads / Wanita Bertopeng Badut / Chapter 4 - Sosok berjubah Hitam

Chapter 4 - Sosok berjubah Hitam

"Siapa kau?" tanya Cik Wina dengan sedikit mengerang.

Airin yang menangis menahan sakit, sesaat kemudian tertawa, lalu kembali menangis lagi dengan begitu seduhnya, hingga membuat beberapa orang yang ada di ruangan itu merinding.

"Jangan usir aku," minta Airin dengan suara lirih. Lalu beberapa menit kemudian dia tertawa lagi. Cik Wina yang masih memanggang tangan Airin kembali menekan jempolnya.

"Kau ini siapa?" tanya Cik Wina kembali. Cik Wina merubah posisi duduknya namun tangannya masih memang jempol Airin, lalu menekannya kembali.

"Ampun, Tok!" jerit Airin kembali.

"Katakan!"

"Aku hanya menemani dia, aku suka sama dia," ujar Airin dengan suara lirih.

"Kau ini dan dia berbeda, biarkan dia hidup dengan normal, jangan kau ganggu lagi hidupnya. Dengar!!"

Kali ini Cik Wina menekan tapak tangan Airin dengan kedua jempolnya, hingga membuat wanita itu berguling-guling di lantai. Setelah beberapa lama Cik Wina memang tangan Airin, wanita yang berumur sekitar 45tahun itu, melepaskan Airin yang sudah berhenti menangis. Perlahan-lahan Airin membuka matanya yang basah karena sedari tadi menangis, lalu tatapannya menyapu ke semua sudut ruangan dengan bingung. Airin bangkit dan duduk di pembaringannya denga lemas.

Badanya masih sangat lemas, seolah baru saja mengangkat beban berat berton-ton. "Minum, kak," tawar Farhan pada Airin yang masih tampak bingung.

Dalam keadaan bingung Airin melihat Cik Wina yang telah membuka matanya, dan tersenyum tipis padanya.

"Gimana?" tanya Cik Wina menambah kebingungan Airin.

"Saya kenapa, Cik?" Airin meletakkan gelas yang sudah tandas ke nampan yang ada di depannya.

"Tadi dia di mana, Farhan?" tanya Cik Wina pada Farhan yang duduk tidak jauh dari mereka.

"Sewaktu kakak ini sudah masuk, bayangan hitam itu naik ke atas atap," jawab Farhan pelan.

'Bayangan?' Airin merasa terbodoh dengan apa yang mereka katakan.

"Begini … siapa tadi namamu?" Cik Wina seakan sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Airin, Cik," jawab Rina yang berada di sebalah Airin.

"Airin, tadi itu saya melihat bayangan hitam yang terus saja menempel pada badanmu, dia hanya menempel tidak bisa masuk, tapi dia selalu berusaha untuk masuk. Namun, selalu gagal." Penjelasan Cik Wina sama sekali tidak bisa meredakan rasa penasaran Airin atas apa yang baru saja terjadi.

"Ada sesuatu yang mengikutimu dari kecil, sepertinya itu dari keluarga," jelas Cik Wina menyadari kebingungan dimata Airin.

"Dia tidak suka melihatmu dengan laki-laki, karena itu setiap kali kamu dekat dengan laki-laki pasti kamu dibuat tidak suka, atau kebalikannya," jelas Cik Wina kembali.

Airin terdiam sejenak. Kata-kata Cik Wina kerap kali dia dengar setiap kali dia bertemu dengan seseorang yang bisa melihat dengan mata batin. Beberapa kali dia juga pernah melakukan rukiah terhadap dirinya, keganjilan-keganjilan yang terjadi dalam dirinya membuatnya mencari seorang ustands untuk melakukan rukiah dengan syariat agama itu pada dirinya. Hal yang sama juga pernah dikatakan oleh Ustands Zakaria, lelaki yang melakukan rukiah pada Airin. "Ada bayangan yang sedari tadi saya liat menempel pada tubuh kamu," ujar Ustands Zakaria pada Airin setelah selesai merukiah gadis itu.

Dia juga mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh Cik Wina tadi. "Sosok itu tidak mau kamu menikah." Ingat Airin kembali.

Tiba-tiba saja bulu kudu Airin meremang, entah sudah berapa banyak orang yang mengatakan hal sama padanya.

Airin teringat kali peristiwa beberapa minggu sebelum kejadian hari ini. Saat dia sedang berkunjung pada warung temannya. Ada seseorang wanita tua yang menggunakan kebaya rapi. Nenek itu menghampiri Airin, lalu menengadahkan tangannya pada Airin, berharap gadis itu memberikannya sedikit rupiah padanya. Airin melihat dari atas hingga bawah penampilan wanita tua itu, dia tidak menyangka Nenek ini adalah seorang peminta-minta, dari penampilannya yang sangat rapi, Airin berpikir kalau Nenek ini pikun, dan hanya berjalan-jalan. Lalu Airin merogoh kantung celananya dan mengambil selembar uang lima ribu. Saat itulah keanehan kembali terjadi. Setelah mengambil selembar uang lima ribu dari tangan Airin, Nenek itu meraih tangan Airin dan membalikkan tangannya, melihat telapak tangan gadis itu, seperti sedang membaca garis-garis yang ada di telapak tangannya, pikir gadis itu.

"Anak susah mendapatkan jodoh, ada sosok hitam yang menghalangi aura, Anak."

Airin mengeritkan kening, menatap temannya yang ada di sebelahnya dengan tatapan bingung. Vina menaiki bahunya, satu jawaban kalau dia juga tidak mengerti apa yang sedang dikatakan oleh Nenek itu.

"Anak, akan menikah tapi dengan laki-laki yang berasal dari pulau Jawa," ujar Nenek itu kembali.

Saat itu Airin tidak terlalu memedulikan perkataan dari Nenek itu, setelah kejadian itu dia seakan melupakannya. Namun, kali ini, ucapan Nenek itu seolah sedang diaminkan oleh Cik Wina.

Airin menatap ubin lantai yang tertutup tikar tipis dibawahnya. Pikirannya jauh mengingat semua peristiwa aneh dalam hidupnya.

"Besok datang lagi ke sini, bawa kembang tujuh rupah, Mak Cik mandikan kamu pakai air kembang, biar dia pergi," ujar Mak Cik Wina yang kerap disapa Cik Wina ini.

Dan hari ini, di sinilah Airin berada, di rumah Cik Wina yang baru beberapa saat yang lalu tubuhnya diguyur air yang bercampur dengan kembang tujuh rupa.

Cik Wina menatap Airin dengan segurat senyum tipis. "Gimana perasaannya sekarang?"

Airin terdiam sejenak, dia mencoba merasakan apakah ada sesuatu yang berbeda yang aku rasakan dari sebelum Airin dimandikan tadi. "Lebih lega, bahu yang tadinya berat sekarang terasa lebih ringan," jawab Airin. Airin mengakui bila bahunya terasa amat berat beberapa waktu terakhir ini, tapi dia tidak pernah berpikir yang aneh-aneh, dia hanya berpikir mungkin saja jam kerja yang sering pulang larut malam membuatnya kerap masuk angin.

"Iya semoga aja, dia ngaak balik lagi," ujar Cik Wina, mengatakan sosok bayangan hitam yang kerap menempel pada punggungku.

"Ini minum dulu." Segelas teh panas disodorkan Cik Wina pada Airin yang tampak sedikit kedinginan. Udara malam dan air yang dingin yang diguyurkan Cik Wina tadi membuat bibir Airin sedikit bergetar karena menahan dingin.

"Iya, terimakasih, Cik," balas Airin, sembari mengambil gelas yang berisi teh panas itu. Sebelum meminumnya Airin menempelkan gelas itu pada kedua tapak tangannya, mencoba mengusir rasa dingin yang hinggap dibadanya uda.

"Nanti satu minggu setelah ini, bila ada yang melamar terima aja," ujar wanita berkeruduk segitiga itu pada Airin yang tegah meneguk sedikit, demi sedikit teh panas itu.

Airin menatap Cik Wina bimbang. Apakah itu isyarat atau hanya sebuah saran semata.

"Karena kalau kamu menolak yang ini, kamu akan susah buat nikah," jelas Cik Wina semakin membuat Airin gusar akan keadaan dirinya.

"Kemungkinan nanti yang datang melamar laki-laki dari tanah Jawa."

Airin menatap Cik Wina tidak percaya. Perkataan itu sama percis seperti ucapan yang pernah dikatakan oleh seorang nenek yang sempat di temui di pinggir jalan beberapa waktu yang lalu.