Ekspresi Candra berubah tak menentu dan urat birunya berkedut. Akan tetapi, pada akhirnya dia tidak mengatakan apa-apa. Sementara aku sudah membawa Denis pergi tanpa memedulikan mereka.
"Bu, kenapa Kak Julia mengambil blok bangunanku. Kenapa dia selalu memarahiku anak haram?" Denis tidak mengerti. Alis kecil itu berkerut tampak sedih dan teraniaya.
"Bu, bukankah aku anak ayah? Bukankah Kak Julia adalah kakakku?"
Kata-kata Denis membuatku berhenti. Aku membungkuk dan membelai kepala putraku dengan lembut, "Denis, memang benar kamu adalah anak ayah, tapi tidak semua orang pantas menjadi kakakmu. Ingat, kelak kalau ada yang memarahimu seperti itu lagi, kamu bisa menamparnya. Siapa pun yang mencuri barang-barangmu, kamu bisa merebutnya kembali. Kamu adalah kesayangan ibu, kamu tidak dilahirkan untuk ditindas."
Denis berpikir keras dan tidak berbicara. Aku meraih tangan Denis, lalu menghentikan taksi dan meninggalkan mal itu.
Beberapa orang mungkin berpikir aku salah karena memukul Julia. Bagaimanapun, dia hanyalah seorang anak, tapi aku pikir anak itu harus dipukul. Dia sangat sombong karena tidak ada yang pernah mendisiplinkannya. Menurutku, aku tidak salah mendidik Denis untuk membalas jika ada yang menindasnya. Aku bukanlah orang tua yang mendidik anakku untuk menahan ketika dia ditindas. Ketika ditindas, kamu harus melawan sehingga pihak lain akan takut padamu.
Aku membawa Denis pulang. Denis pergi berlatih piano dan aku sedang menyiapkan makan malam di dapur. Candra kembali, tapi dia tidak sendirian. Dia juga membawa Julia kembali.
Ketika Candra memasuki pintu, wajahnya terlihat masam. Dia menarik tangan Julia dan memerintahkan dengan sangat serius, "Pergi, minta maaf pada adikmu!"
Pada saat ini, Denis mendengar suara mobil. Dia tahu Candra telah kembali, dia sudah berlari ke bawah. Dia melihat pemandangan di depannya dengan kaget dan takut.
Julia menggelengkan kepalanya sambil menangis, "Tidak, Julia tidak mau minta maaf. Julia tidak salah bicara, dia hanya si jelek, anak haram. Ini yang dikatakan nenek ...."
Urat biru di wajah tampan Candra berdenyut-denyut dan auranya menjadi semakin dingin. Jari-jarinya mengepal erat, tapi dia tidak bisa menampar gadis yang sama sekali tidak mengerti apa kesalahannya ini. Dia menyeret Julia ke gudang di vila, "Kamu tinggal di sini. Kamu akan dibebaskan kalau sudah menyadari kesalahanmu!"
Candra membanting pintu hingga tertutup. Aku mendengar tangisan menyayat hati Julia datang dari ruangan itu. Aku juga mendengar suara gedoran pintu, "Ayah, buka pintunya! Ayah ...."
Apakah Candra membawa Julia kembali untuk mendidiknya di hadapanku? Aku menatapnya dengan curiga. Aku melihat Candra mengeluarkan ponselnya, lalu memutar nomor dan berkata dengan marah, "Bu, Julia sedang bersamaku. Dia menyebut Denis si jelek dan anak haram. Dia masih tidak mau mengakui kesalahannya. Aku menguncinya di gudang. Ya, aku memang mau memberinya pelajaran dan membuatnya sedikit lebih manusiawi. Bu, kelak kalau aku mendengar kata anak haram keluar dari mulut kalian, jangan salahkan aku karena tidak mengakuinya lagi!"
Setelah Candra selesai berbicara, dia menutup telepon dan melemparkan ponsel ke sofa. Mungkin karena tangisan Julia yang membuatnya sangat khawatir. Dia tidak tahan, jadi dia naik ke lantai atas.
Tangisan Julia berubah menjadi "Ayah, aku minta maaf."
Baru saat itulah Candra membuka pintu gudang.
Aku melihat air mata di wajah Julia dan tenggorokannya menjadi serak. Candra meraih tangannya dan menghampiri Denis, "Minta maaf pada adik."
Suara Julia masih serak, dadanya yang kecil naik turun, "Maafkan aku, aku salah. Aku tidak seharusnya memarahimu."
Denis berkata, "Tidak apa-apa, jangan menangis lagi."
Denis menyerahkan saputangan kepada Julia. Julia mengambilnya dan menyeka air matanya, "Ayah, aku ingin pulang, aku ingin ibu dan nenek."
Candra memeluk Julia dan berkata, "Ayah akan membawamu kembali."
Pada saat ini, ekspresi Candra telah membaik. Dia pergi sambil menggendong Julia.
Meskipun aku menghela napas lega di hatiku, ada kekhawatiran yang tidak dapat dijelaskan terus menyelimutiku sepanjang waktu, membuatku tidak merasa aman.
Saat hampir tengah malam, Candra baru kembali. Pada saat itu, Denis sudah tertidur. Aku masih mempersiapkan berkas untuk pengadilanku besok, aku sibuk di dalam ruang kerja.
Setelah Candra kembali, dia langsung kembali ke kamar sampai tertidur. Aku bekerja di depan komputer untuk waktu yang lama. Akhirnya, aku tidak tahan dengan rasa kantuk, jadi aku tertidur di depan meja komputer.
Setelah tidak tahu berapa lama berlalu, aku yang mengantuk seperti digendong oleh seseorang. Aku membuka mata dengan linglung dan melihat wajah tampan Candra yang sangat khawatir, "Kenapa kamu bisa tidur di ruang kerja? Ingat, tidak peduli seberapa mengantuk, kamu hanya boleh tidur di kamarmu."
Dia menggendongku ke kamar tidur, membantuku melepaskan pakaian, kemudian memelukku tidur.
Ketika aku bangun di pagi hari, aku melihat Candra berdiri di depan cermin, dia sedang berpakaian.
Aku bertanya, "Kamu pasti merasa sangat sedih berbuat seperti itu pada Julia kemarin, 'kan?"
Tamparanku kemarin dan tindakannya yang mengunci Julia di gudang, pasti membuatnya merasa sangat sedih.
Candra menatap mataku dalam diam, "Julia memang salah. Aku sibuk dengan pekerjaan selama bertahun-tahun dan lalai untuk mendisiplinkannya. Dia dibesarkan oleh ibuku, jadi tidak dipungkiri dia akan belajar beberapa hal yang seharusnya tidak dia pelajari. Tapi Yuwita, dia masih anak-anak. Bolehkah kamu memberiku waktu, aku akan membuatnya menjadi anak yang pengertian?"
"Baik."
Aku merasa lega Candra dapat berbicara begitu tenang denganku. Dia tidak menyalahkanku karena menampar putrinya yang berharga.
Kemarin karena aku sangat marah, jadi aku menampar gadis itu. Sekarang aku pikir dia hanyalah anak-anak dan aku sudah dewasa, aku juga bersalah.
"Baik."
Bibir Candra tersungging. Wajahnya menunjukkan senyum penuh pengertian dan hangat. Dia datang dan mencium keningku, "Aku akan mengantar Denis ke taman kanak-kanak, kamu istirahatlah sebentar lagi."
Candra pergi.
Aku berbaring di ranjang sambil mendengarkan suara ayah dan anak dari luar, "Ayah, aku sudah mengganti pakaian."
"Yah, apakah kamu sudah sikat gigi?"
"Sudah, lihatlah."
"Oke, ayo pergi."
Candra pergi bersama Denis. Sudah tiba waktunya aku untuk bangun, aku berpakaian dan turun ke bawah. Sebelum aku meninggalkan pintu vila, sesuatu membanting kepala dan wajahku.
"Wanita inilah yang menindas putri tirinya. Bunuh dia!"
Telur dan batu dilempar ke wajahku. Aku tidak sempat mengelak. Tubuhku telah dilempar beberapa kali dan sebutir telur mengenai wajahku. Aku berbalik untuk bersembunyi di rumah, bagian belakang kepala dan punggungku dilempar beberapa kali oleh mereka.
"Lempar dia sampai mati, dasar penyihir busuk!"
Orang-orang itu berteriak dan memarahiku sambil melempar barang-barang di tangan mereka. Ponsel di tasku berdering. Aku tidak menjawabnya. Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kemudian, aku menjawab telepon dan mendengar suara Candra yang bersemangat, "Yuwita, tetap di dalam dan jangan keluar, aku akan segera kembali!"
Ternyata Candra tahu aku tertimpa masalah. Candra baru saja menutup telepon, Cindy sudah menelepon dengan tidak sabar, "Clara, apakah kamu memukul putri Stella? Ada banyak berita di Internet sekarang ...."
Pelipisku berdenyut-denyut dan jemariku buru-buru mengetuk layar ponsel. Judulnya adalah video yang diambil di mal anak-anak berjudul, "Ibu Tiri Jahat Menganiaya Anak Perempuan Mantan Istri". Di layar, aku mengangkat tangan, lalu sebuah tamparan mendarat ke wajah Julia.
Julia menangis.
Sementara, aku berbalik dan pergi.
Video tersebut menangkap adegan di mana aku menampar Julia, tapi tidak adegan Julia yang merampas mainan dan memarahi Denis. Sangat jelas, ini dilakukan oleh seseorang dengan sengaja.
Jantungku berdegup kencang. Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku telah melompat masuk ke dalam jebakan orang lain.
Cindy berkata dengan penuh semangat, "Clara, jangan keluar hari ini, sebentar lagi aku dan Kak Hendra akan ke sana."
Setelah Cindy menutup telepon, Jasmine juga menelepon. Dia juga telah mengetahui masalah aku menampar Julia.
Dia sangat khawatir.
Aku sangat kesal sehingga aku hanya bisa menghiburnya, "Candra akan segera kembali, aku akan baik-baik saja, jangan khawatir."
Aku merasa seperti terjebak dalam jebakan seseorang, sementara orang yang mengaturnya sedang tertawa dalam kegelapan.
Candra segera kembali, diikuti oleh penjaga keamanan di area vila. Mereka yang berteriak ingin membunuhku sudah bubar dan Candra bergegas ke atas.
"Yuwita?"
"Aku di sini."
Suaraku sedikit tercekat, wajah dan rambutku penuh dengan telur. Sekujut tubuhku terlihat menyedihkan. Aku tidak menyangka sikap gegabahku kemarin akan berdampak sangat besar.
Candra melihat aku yang sangat menyedihkan, dia segera pergi untuk mengambil handuk basah, lalu menyeka wajah dan rambut aku. Akan tetapi, cairan telur itu lengket dan tidak bisa dibersihkan sama sekali. Jadi, dia meraih tanganku dan berkata, "Pergi. Mandilah, aku akan mengurus masalah ini."
Dia mengantarku ke kamar mandi dan bergegas pergi.
Aku berdiri di kamar mandi untuk waktu yang lama. Air hangat tidak bisa menghapus bayangan di hatiku, dunia ini benar-benar terlalu gelap untukku.
Aku keluar dari kamar mandi dan mengenakan pakaian bersih, Hendra dan Cindy juga sudah tiba.
Cindy sedang hamil, tapi perutnya masih belum terlihat. Hendra merawatnya dengan baik. Dapat dilihat bahwa Cindy menjalani kehidupan yang sangat bahagia.
Melihat ekspresi putus asaku, Cindy sangat tertekan, "Clara, jangan khawatir. Candra pasti akan menyelesaikan masalah ini. Kalau dia tidak bisa menyelesaikannya, kita bisa akan meminta bantuan Kak Hendra."
Aku mengangguk. Hatiku merasa sangat tidak nyaman.
Hendra berkata, "Dalam hal ini, sangat jelas seseorang dengan sengaja ingin mempermalukan Clara. Orang itu ingin membuat Clara menanggung julukan ibu tiri yang kejam dan menjadi sasaran kritik publik. Akhirnya, Candra akan meninggalkannya."
Cindy, "Pasti Stella dalangnya!"
Hendra, "Mungkin. Orang yang paling bahagia melihat Clara tersiksa adalah Stella. Rencana wanita ini benar-benar sangat dalam."
Candra kembali, ekspresinya tertekan dan suasana hatinya tampak sangat sedih.
Hendra berkata, "Bagaimana kamu akan menyelesaikan masalah ini? Sekarang opini publik di luar memihak yang lain, hal ini tidak baik untuk Clara."
Candra berkata, "Kalau ingin menyelamatkan reputasi Yuwita, mungkin dia hanya bisa keluar dan meminta maaf."
"Bagaimana mungkin?"
Sebelum aku berbicara, Cindy sudah berdiri dengan marah, "Putrimu sangat kejam. Clara memukulnya juga membantumu mendidiknya. Selain itu, putrimu yang mengumpat terlebih dulu, memukulinya sudah termasuk hukuman ringan untuknya."
Candra langsung melemparkan pandangan masam ke Cindy. Julia adalah putrinya yang paling berharga dan Candra secara alami tidak suka mendengarkan kata-kata Cindy yang mengatai Julia.
Hendra menarik Cindy dan memberi isyarat padanya untuk tidak bersemangat, "Aku pikir tidak pantas bagi Clara untuk meminta maaf. Permintaan maaf itu akan membuktikan dia memang ibu tiri yang kejam. Candra, kamu yang paling paham dengan wanitamu. Apakah Clara adalah seorang wanita yang kejam? Seharusnya, kamu tahu lebih baik daripada orang lain. Apakah kamu tega membiarkannya memikul ketidakadilan ini?"
Hendra sudah menekan amarahnya, tapi ekspresinya masih masih terlihat kesal.
Candra berkata, "Lalu bagaimana menurutmu? Kalau Kepala Biro Hendra memiliki cara untuk meredakan opini publik ini, aku akan dengan senang hati mendengarkan perintahmu."
Mata Candra dingin dan nadanya terdengar sarkastik. Dia jelas memiliki prasangka besar terhadap Hendra.
Hendra berkata, "Aku tidak punya cara yang lebih baik, tapi aku pasti tidak setuju Clara meminta maaf!"
"Oh? Kenapa? Mungkinkah Kepala Biro Hendra masih menyimpan perasaaan pada Clara?"
Ironi dalam kata-kata Candra menjadi lebih kuat.
Dia benar-benar mengungkapkan hal lain dan ada duri dalam kata-katanya. Wajah Hendra berubah. Dia terlihat sangat kesal, "Ternyata Pak Candra adalah orang yang berhati kecil. Sungguh disayangkan Clara memilih untuk rujuk denganmu!"
Melihat situasinya tidak benar, Cindy berdiri dengan marah, "Candra, apa yang kamu katakan? Clara adalah sahabat baikku. Sudah sepantasnya Kak Hendra dan aku peduli padanya. Sedangkan kamu sebagai suaminya, apakah kamu sudah bisa memberikan Clara hidup yang damai? Tanyakan pada dirimu sendiri!"
Candra terdiam, alisnya berkerut. Tidak tahu apa yang dia pikirkan. Namun, aku khawatir tentang janin dalam kandungan Cindy, jadi aku membujuknya, "Cindy, kamu dan Kakak Hendra kembalilah dulu. Aku akan membahas masalah ini dengan Candra. Masalah ini pasti akan terselesaikan dengan baik."
Cindy mendengus dan meraih tanganku, "Clara, kalau dia melakukan sesuatu yang tidak adil padamu. Kamu bawa Denis pergi, jangan hidup bersama dengan orang seperti ini!"
"Oke, aku mengerti."
Aku tidak ingin melihat kedua belah pihak berdebat lagi. Saat ini, menyelesaikan masalah adalah hal yang paling penting.
Hendra membawa Cindy pergi dengan wajah masam. Aku duduk di sofa dengan berat hati dan bertanya pada Candra, "Apakah kamu benar-benar ingin aku meminta maaf?"
Candra duduk di sampingku sambil mengerutkan keningnya, "Aku tidak terpikirkan cara yang lebih baik sekarang. Aku akan menjelaskan masalahnya apa adanya, kemudian kamu keluar dan meminta maaf. Katakan itu hanya karena gegabah dan marah, jadi kamu memukul Julia. Seperti ini akan lebih baik."
Aku tidak mengatakan sepatah kata pun.
Apa pun itu, gelar ibu tiri yang kejam tampaknya telah ditetapkan.
Di luar, bel pintu terus-menerus berdering. Candra bangkit untuk membuka pintu. Bherta bergegas masuk bersama Julia dengan marah, "Clara! Clara, keluar kamu!"
Alisku berkedut. Bherta adalah wanita yang sulit dihadapi. Malam ini, mungkin hariku akan menjadi lebih sulit.
"Bu, apa yang Ibu lakukan?"
Candra tampak tidak senang dan meraih tangan Bherta. Dia tidak ingin membiarkan Bherta memasuk ke dalam rumah, tapi Bherta meronta dengan keras dan menunjuk Candra dengan marah, "Hari ini kamu usir dia atau selamanya kamu tidak akan bertemu dengan Julia lagi!"
"Bu, ini urusan kami, tolong jangan ikut campur!"
Candra juga sangat kesal.
Bherta mencibir, "Kenapa? Punya ibu kandung, kamu sudah tidak membutuhkan ibu angkat lagi? Apa yang aku katakan tidak berguna lagi? Candra, akulah yang telah membesarkanmu dengan susah payah!"
Bherta mulai menggunakan topik untuk membesar-besarkan masalah. Dia mengungkit masalah tentang ibu kandung dan ibu angkat. Candra tidak mengatakan apa-apa. Mengenai ibu kandung dan ibu angkat, apa pun yang dia katakan, dia akan tetap disalahkan. Setelah Bherta sudah cukup membuat onar, dia duduk di sofa. Akhirnya, Rinaldi yang mendapat berita, bergegas kemari dan menariknya pergi.
Aku menderita sakit kepala yang hebat. Aku bisa membayangkan setelah menikah lagi dengan Candra, jalan yang aku lalui tidak akan mudah. Namun, aku tidak pernah berpikir akan sesulit ini.