Setelah Candra menggendong Denis untuk waktu yang lama, dia baru berjalan masuk. Bocah kecil itu tersenyum dengan sangat manis, dia kembali ke penampilannya yang ceria lagi.
Setelah sarapan, Candra mengajak Denis bermain di halaman belakang. Mungkin karena halaman belakang menghadap pegunungan dan tidak mudah ditemukan. Saat pertama kali aku datang ke sini, Candra juga menemani Denis bermain di halaman belakang.
Ada parit kecil di halaman belakang, Candra bertelanjang kaki dan menginjak air di parit. Dia mengajak Denis menangkap ikan kecil. Aku menyaksikan dengan tenang di tangga batu dari kejauhan. Aku berharap Denis bisa terus menjalani saat-saat tenang dan berbahagia seperti ini selamanya.
Namun, semua ini hanya angan-anganku saja. Bibi Siti berlari ke sini sambil memegang ponsel Candra dengan tergesa-gesa, "Pak, Nona Julia jatuh dari tangga."
Wajah Candra yang tadinya masih penuh senyuman, seketika langsung berubah.
Dia menggendong Denis keluar dari sungai, lalu berjalan ke sisiku dan menurunkan Denis di hadapanku. Kemudian, dia mengambil ponsel yang diberikan Bibi Siti dan bergegas pergi.
"Kapan kamu kembali? Denis akan mencarimu."
Aku sedikit gugup untuk sementara waktu dan tidak tahan untuk mengajukan pertanyaan.
"Aku tidak tahu, kamu jaga Denis dulu." Candra sudah tidak lagi memedulikan kami.
Tiba-tiba aku merasa konyol. Apanya waktu yang tenang dan berbahagia, semua itu hanya karena tidak ada Julia.
"Bibi, apakah Paman akan kembali?"
Mata Denis yang seperti bintang itu dipenuhi dengan rasa kesepian.
"Ya, jangan khawatir."
Aku menarik tangan kecil Denis, "Bibi akan membawamu untuk menangkap ikan kecil."
Kami berpegangan tangan dan datang ke parit dengan kaki telanjang. Di baskom kecil di tepi parit, ikan kecil yang ditangkap Candra sedang berenang dengan lincah.
Denis berjongkok di tepi parit sambil melihatku membungkuk untuk menangkap ikan.
Aku memegang jaring yang sebesar mangkuk dengan pegangan panjang. Ketika aku melihat beberapa ikan berenang, aku mengambil keuntungan dari situasi ini untuk menangkapnya. Setelah beberapa gagal, aku akhirnya mendapatkan beberapa ekor ikan.
Denis bertepuk tangan dan berteriak, "Ibu hebat!"
Bocah kecil ini sama sekali tidak menyadari dia telah salah memanggil nama, dia sudah tenggelam dalam kegembiraan yang sederhana ini, wajah kecilnya penuh dengan cahaya matahari yang cemerlang.
Aku menatap putraku dengan senyum manis di sudut bibiku. Aku sangat gembira untuk panggilan ibu yang tidak dia sadari ini.
'Nak, Ibu menantikan hari ketika kamu benar-benar menganggapku sebagai seorang ibu," batinku.
Tidak terasa sepanjang hari telah berlalu. Matahari sudah tenggelam ke barat dan Candra masih belum kembali.
Denis mulai tidak senang, dia duduk di bangku kecil dengan kepala kecil tertunduk dan wajahnya yang kesepian, "Kenapa paman belum kembali? Denis merindukan Paman."
Beberapa hari ini, Candra telah merawat bocah kecil ini. Bocah kecil ini telah terbiasa tinggal bersama dengan Candra. Di bawah alam sadarnya, dia mungkin sudah menganggap Candra sebagai seorang ayah.
Namun bagaimana dengan Candra? Dia berada di sisi putrinya.
Aku menyentuh kepala Denis dan berkata dengan lembut, "Denis, paman memiliki sesuatu untuk ditangani, dia juga rindu kepada Denis, tapi dia harus menyelesaikan masalah ini baru bisa kembali, mengerti?"
"Aku tahu, Kak Julian terluka. Paman sedang merawatnya. Aku akan menunggu Paman kembali."
Bocah kecil ini ingat dia memiliki seorang kakak bernama Julia dan dia memanggilnya dengan sebutan kakak. Hatiku merasa sedih untuk sementara waktu. Bocah kecil yang polos ini tidak tahu kakaknya yang bernama Julian mungkin tidak akan mengakui dia sebagai adiknya.
Hari sudah gelap dan Candra masih belum kembali. Aku membawa Denis tidur lebih awal. Ketika aku tertidur, aku masih berpikir bagaimana Candra tidak kembali besok pagi? Bagaimana aku akan pergi bekerja? Aku tidak bisa meninggalkan Denis di sini sendirian.
Tidak tahu berapa lama, aku yang mengantuk merasa tercekik seperti seseorang mencekik leherku. Aku tidak bisa bernapas, jadi aku menepis dengan tanganku. Hal yang tidak aku duga adalah aku benar-benar menyentuh kedua tangan orang. Tangan itu mencekik leherku dengan erat. Tiba-tiba aku membuka mataku dan melihat wajah Bibi Siti yang masam, tangannya sedang mencekik leherku.
"Kamu ... um...."
Aku tidak tahu alasan kenapa Bibi Siti ingin membunuhku, naluriku ingin berteriak minta tolong dan mati-matian mencoba untuk melepaskan tangan Bibi Siti dengan kedua tanganku. Wanita yang siang hari ini masih memiliki matanya dan ekspresinya masih bersahabat, juga baru meneteskan air mata simpati untuk Denis bahkan ingin membunuhku.
"Tidak perlu berjuang lagi, hari ini kalau bukan kamu yang mati maka keluargaku yang akan mati. Orang yang bernama Stella menangkap putra dan putriku. Aku tidak bisa membiarkan anak-anakku mati, jadi aku harus membunuhmu!" gumam Bibi Siti sambil mencekik leherku dengan keras dan menggertakkan giginya.
Hatiku tiba-tiba terkejut, dalangnya adalah Stella. Dia mulai membuat masalah lagi, tidak heran wanita yang siang ini masih sangat baik sekarang hendak membunuhku.
"Ibu!" panggil Denis tiba-tiba. Bocah kecil ini sudah terbangun.
Dia melihat wajah Bibi Siti yang dipenuhi dengan urat, dengan ekspresi mengerikan dan tangannya yang mencekik leherku. Denis segera mendekat dan mencoba untuk melepas tangan Bibi Siti, "Jangan bunuh ibuku! Jangan bunuh ibuku!"
"Bibi!"
Bibi Siti mengangkat pergelangan tangannya dan melambaikannya dengan keras, "Minggir!"
Pada saat ini, wanita yang dulu baik kepada Denis benar-benar telah kehilangan kebaikannya. Dia hanya memiliki keinginan untuk membunuhku.
Denis didorong hingga terjatuh, tubuh kecilnya tiba-tiba berguling ke lantai. Tidak tahu bagaimana Denis terbentur, Denis berteriak keras, kemudian tidak ada suara lagi.
Adegan ini seperti sepuluh ribu jarum baja yang tiba-tiba menusuk hatiku. Mataku memerah, aku berusaha untuk mengeluarkan tenaga terakhirku dan memasukkan tanganku ke bawah bantal. Aku menyembunyikan sebuah pisau di sana. Aku memegang pisau itu dan tanpa ragu-ragu menusuk ke dada Bibi Siti.
Sejak hari itu Joan tiba-tiba datang dan aku menggendong Denis untuk bersembunyi di ruangan gelap. Aku selalu khawatir Joan akan datang lagi. Jadi, aku pergi ke dapur dan mengambil pisau ini, lalu meletakkannya di bawah bantal untuk berjaga-jaga. Aku tidak menyangka hari ini, pisau inilah yang menyelamatkan hidupku dan Denis.
Pisau itu menusuk dada Bibi Siti. Bibi Siti melepaskan tangan dari laherku sambil berteriak dan jatuh ke belakang.
Aku tidak peduli apakah aku telah membunuh seseorang atau tidak. Aku melompat dari ranjang dan berguling ke sisi lain ranjang. Denis dalam keadaan pingsan, ada benjolan besar di dahinya, tapi tidak ada pendarahan.
Aku menggendong Denis dan menemukan ponsel. Dengan cepat aku mencari nomor telepon Candra.
Tidak ada yang menjawab panggilan itu.
Aku berlari keluar sambil menggendong Denis. Ada suara rintihan dari Bibi Siti di belakangku, "Kamu tidak akan bisa melarikan diri. Aku sudah membakar vila ini. Aku membunuh kalian dan aku tidak akan bisa hidup lagi, jadi aku menyalakan api."
Kepalaku berdengung sejenak, hatiku tiba-tiba menjadi dingin.
Bibi Siti telah lama bertekad untuk mati. Dia tahu jika dia membunuh kami, dia pasti tidak akan bisa bertahan hidup lagi. Jadi, dia memilih membakar dirinya sendiri untuk mengakhiri hidupnya.
Pada saat ini, aku berdiri di pintu kamar tidur, apa yang aku lihat adalah api yang membara. Semua peralatan kayu di aula luar telah terbakar, api menjalar ke mana-mana dan asap tebal menyelimuti kami.
Aku memeluk Denis dan terbatuk sebentar karena asap tebal. Aku segera menutup pintu. Telepon yang tidak aku ditutup tiba-tiba terhubung dan suara rendah Candra datang dari dalam, "Halo, bicaralah."
Aku kembali tersadar dari lamunanku, lalu aku menoleh ke telepon dan berkata dengan suara sedih, "Candra, hari ini Denis dan aku mati karenamu!"
Ponsel jatuh ke lantai. Api sudah mencapai ke pintu kamar tidur. Aku mendengar pintu kayu yang kokoh terbakar dan mengeluarkan suara berderak. Aku ,menggendong Denis yang sedang pingsan dan meletakkan Denis di atas ranjang. Kemudian, aku merobek sambil menggigit seprai dengan gigiku. Seprai menjadi berlubang dan aku merobeknya menjadi beberapa potongan panjang.
Aku menyambungkan potongan kain ini dari ujung ke ujung, mengikatnya dengan simpul mati, kemudian mengikat salah satu ujungnya ke tubuh Denis. Aku membawanya ke jendela dan menurunkan Denis dengan kain itu perlahan-lahan.
Dari lantai atas ke tanah, ketinggian sekitar lima meter. Aku dengan hati-hati menurunkan tali kain di tanganku sambil mengamati Denis turun ke tanah dengan panik dan hati-hati. Sampai tubuh kecil Denis mendarat dengan mulus di tanah, aku melepaskan kain itu. Lalu, aku menginjak ambang jendela dan melompat turun.
Dengan suara derit, saat aku mendarat, akuu mendengar suara patah dari kaki kiriku. Aku mengalami patah tulang. Namun aku tidak peduli, aku tertatih-tatih ke sisi Denis, lalu melepaskan tali kain dari tubuhnya dan memeluk bocah kecil yang masih tidak sadarkan diri di pelukanku.
Satu demi satu truk pemadam kebakaran berbunyi dan memecah kesunyian malam di pegunungan. Aku tidak tahu siapa yang memanggil pemadam kebakaran. Tidak banyak penghuni jangka panjang di tempat ini kecuali mereka yang sesekali berlibur. Semua pengawal yang diutus Candra untuk menjaga vila tidak terlihat.
Seluruh bangunan vila telah dilalap api, asap tebal keluar dari jendela kamarku dan Denis. Air mata mataku mengalir sambil menutupi mulut dan hidung Denis. Aku menggendong dan tertatih-tatih menuju gerbang vila.
Mobil polisi dan truk pemadam kebakaran menderu. Saat aku melihat seorang polisi mendekat, aku sudah tidak bisa menopang tubuhku lagi. Aku terjatuh ke tanah sambil memeluk Denis.
Aku berkata, "Masih ada orang di dalam rumah."
Setelah aku selesai berbicara, aku sudah kehilangan kekuatanku. Aku membiarkan seorang polisi mengangkatku di punggungnya dan memasukkanku ke dalam mobil polisi. Denis digendong oleh seorang polisi. Aku mendengar polisi itu memanggil, "Ada yang terluka di sini, kirim ambulan!"
Sepuluh menit kemudian, aku dan Denis dibawa ke rumah sakit. Luka Denis telah diobati dan dia masih koma. Lutut dan pergelangan kaki kiriku patah. Tubuhku basah kuyup oleh keringat dingin karena menahan sakit, tetapi aku sangat beruntung, karena baik Denis maupun aku tidak ada yang meninggal.
Ketika Denis dan aku didorong ke unit gawat darurat, Candra datang dengan tergesa-gesa. Tubuhnya dipenuhi dengan aura dingin dan matanya yang jernih dipenuhi dengan kekhawatiran yang mendalam. Dia memegang dokter yang merawatku di pintu bangsal dan berkata, "Dokter, apa yang terjadi pada wanita dan anakku?"
"Istrimu mengalami patah tulang dan anakmu mengalami gegar otak ringan."
Dokter mengira aku benar-benar adalah istri Candra.
Candra tampak lega, lalu dia melangkah masuk.
Pada saat ini, Denis sedang berbaring di tempat tidur di sebelahku. Aku memohon kepada dokter untuk mengirimnya ke bangsal lain.
Candra datang memeriksa keadaanku terlebih dulu, dia berjalan ke arahku dengan cepat, "Clara?"