Aku bisa melihat kecemasan dan kekhawatiran yang mendalam di mata Candra, ekspresi ini bukan berpura-pura.
Aku menoleh ke samping, "Aku tidak ingin berbicara denganmu, kalau hari ini aku dan Denis mati, bahkan menjadi hantu pun, aku tidak akan melepaskanmu!"
Sudut mulut Candra berkedut, kata-kataku sudah mengingatkannya. Dia berbalik dan melemparkan tubuhnya ke samping ranjang Denis.
Denis sebentar terbangun dan sebentar tertidur kembali. Bocah kecil ini, beberapa waktu ini telah mendapatkan banyak penderitaan. Dia telah mengalami luka yang mungkin tidak pernah dialami anak-anak lain sepanjang hidup mereka.
Candra tidak berani menyentuh Denis, tangannya yang terulur mendarat lama di kepala Denis. Aku mendengar suaranya yang gemetar dan juga kesedihan yang tidak disembunyikan, "Denis, Ayah minta maaf padamu."
Aku menggigit bibirku. Aku bersumpah, aku tidak akan pernah membiarkan Denis dan Candra memiliki hubungan apa pun lagi.
"Ibu...." gumam Denis pelan.
Candra meraih tangan kecil Denis dan memegangnya dengan pelan, "Denis, Ayah ada di sini."
Denis membuka kelopak matanya dan menatap Candra dengan mata kosong, "Siapa kamu? Sepertinya aku tidak mengenalmu. Ibu.... Bibi...."
Mungkin karena kesadarannya tidak jelas, Denis tidak mengenali Candra, tetapi dia mulai menoleh untuk mencariku.
"Ibu ada di sini."
Aku berusaha keras untuk duduk. Saat Denis melihatku, dia ingin segera merangkak ke arahku, tapi gegar otak membuat penglihatannya menjadi gelap dan dia terjatuh di tempat tidur hingga mengeluarkan bunyi gedebuk.
"Denis?" teriak Candra dengan kaget dan menepuk wajah kecil Denis.
Tubuhku jatuh dengan keras dari tempat tidur, tulang kaki yang patah sepertinya menusuk ke dalam daging. Aku kesakitan hingga pandanganku menjadi gelap.
"Denis!"
Dengan susah payah aku merangkak ke tempat tidur Denis.
Candra berbalik dan hendak menggendongku, tapi aku menamparnya. "Pergi, semua salahmu. Kamu hampir membunuhku dan Denis!"
Aku mengabaikan rasa sakit yang menusuk di kakiku. Aku menopang pagar ranjang dengan kedua tanganku dan perlahan-lahan berdiri, "Denis, Ibu ada di sini."
Denis mengangkat kelopak matanya dengan susah payah dan memanggilku dengan linglung, "Bu."
Aku memeluk tubuh kecil Denis dengan erat.
"Ibu di sini, Ibu akan selalu bersamamu."
"Apa yang kamu lakukan? Apakah kamu tidak menginginkan kakimu lagi?" Dokter berjalan kemari dengan tatapan sangat serius.
"Maaf," kata Candra dengan pelan dan berkata kepada Denis, "Denis, Ibu terluka, biarkan Ibu kembali ke ranjang."
Denis menatap Candra dengan tatapan kosong, lalu menatap wajahku dengan matanya yang gelap, kemudian menarik kembali tubuhnya dengan patuh.
Pada saat ini, Candra menggendongku.
Dia menggendongku kembali ke tempat tidur dan memegang tanganku, "Jangan bergerak, sekarang yang terpenting adalah menyembuhkan lukamu."
"Dokter, tolong beri mereka obat yang terbaik," pinta Candra pada Dokter.
Dokter hanya berdehan pelan dan datang untuk memeriksa kakiku.
Pada saat ini, Gabriel datang. Candra keluar untuk berbicara dengan Gabriel. Aku mendengar Gabriel berkata, "Para pengawal semua telah dibius, mereka masih tidur di sekitar rumah. Bibi Siti sudah siuman. Untungnya, dia sangat kuat dan bisa menjadi saksi. Berengsek, Stella ini benar-benar ular berbisa...."
Baguslah Bibi Siti sudah siuman, selama Bibi Siti bersedia mengatakan Stella telah menangkap anak-anaknya, dia dipaksa untuk mencekikku dan Denis sampai mati, kemudian membakar diri sendiri. Stella akan mendapatkan hukuman setimpal.
Namun, situasinya tidak berkembang seperti yang aku harapkan. Setelah bangun, Bibi Siti menolak untuk mengakui dia dipaksa oleh Stella. Dia berkata dirinya bertengkar denganku di siang hari dan menyimpan dendam, jadi dia mengambil kesempatan saat aku dan Denis sedang tertidur. Dia mencekik leherku, tapi aku tiba-tiba terbangun dan menikamnya dengan pisau.
Semua ini membuatku terkejut. Ketika polisi memberitahuku tentang pengakuan Bibi Siti. Aku mencabut jarum infus dan hendak pergi untuk mengklarifikasi dengan Bibi Siti.
Cindy menahanku, "Ini pasti sudah direncanakan oleh Stella dari awal."
Cindy menggelengkan kepalanya padaku, yang berarti tidak ada gunanya jika aku pergi. Stella bukan idiot, dia pasti memikirkan cara untuk melarikan diri dari masalah ini.
Pada saat ini, Stella memasuki bangsalku, matanya yang menawan menoleh ke arahku, "Malam itu Julia tidak terluka, tapi Candra tetap di sisi Julia, apa kamu tahu alasannya? Karena Julia adalah putri kesayangannya, putramu tidak ada apa-apanya, haha.... Clara, kamu terlalu lemah untuk berurusan denganku. Tapi kali ini kamu beruntung, nikmati hidupmu sekarang, mungkin suatu saat semua ini akan hilang."
Stella terkikik dan pergi sambil tertawa puas.
"Wanita jalang ini!" umpat Cindy dengan marah.
Wajahku menjadi pucat dalam sekejap. Semua kemarahanku hilang karena beberapa kalimat yang diucapkan Stella. Candra tetap berada di sisi Julia dan Stella mengambil kesempatan ini untuk menyerangku. Artinya, jika Candra tidak tinggal di sisi Julia. Bibi Siti tidak memiliki kesempatan untuk menjalan aksinya.
Bagaimanapun, Candra-lah yang memberi Stella kesempatan untuk menyakiti kami. Tanganku mengepal erat. Pada saat itu, seluruh tubuhku bergemetar.
Malam semakin gelap, Candra datang ke sini. Beberapa hari ini, dia datang setiap hari, terkadang dari tengah malam hingga pagi. Terkadang dia datang saat fajar dan ketika dia datang, dia akan bermain dengan Denis. Terkadang dia akan bertingkah seperti perawat yang merawat kami. Aku menerima perawatannya, tapi di dalam hatiku, aku masih tidak bisa memaafkannya. Semuanya karena dia.
Candra pertama kali mencium wajah Denis, bocah kecil itu diam-diam menggoyangkan kaki kecilnya dan berbaring di tempat tidur sambil membaca buku cerita. Lukanya sudah sembuh, tapi aku tidak merasa nyaman menyerahkannya kepada siapa pun. Jadi, aku membiarkannya tetap di sisiku. Saat malam hari, aku akan tidur bersamanya.
Camdra meminta dua perawat untuk menjaga kami. Pada malam hari, ada pengawal yang menjaga pintu bangsal.
"Bagaimana kondisimu?" tanya Candra padaku, alisnya sedikit mengernyit yang merupakan tanda kekhawatiran.
Aku menoleh padanya dengan dingin, "Candra, kamu hanya perlu menjawab satu pertanyaanku."
"Apa?"
Candra mengerutkan kening.
Aku, "Apakah Julia benar-benar terjatuh dan terluka?"
Mata Candra menjadi gelap, "Tidak."
"Lalu apakah kamu terpikir ini adalah tipuan yang mereka buat? Julia tidak terluka, tapi mereka memberitahumu Julia jatuh dari tangga dan kamu menemukan Julia tidak jatuh dari tangga, tapi masih tetap berada di sana. Kamulah yang memberi kesempatan Stella menyakitiku dan Denis. Candra, semua ini salahmu!"
Semakin banyak aku berbicara, aku semakin marah. Dalam sekejap, semua keluhan mengalir keluar dan dadaku menjadi sesak napas.
Mata Candra semakin menggelap, "Ya, ini salahku. Aku seharusnya tidak tinggal di sana bersama Julia. Aku hampir membunuhmu dan Denis. Maafkan aku."
Ekspresi sangat masam, rasa bersalahnya yang mendalam telah menyiksanya selama beberapa hari, tapi aku hanya memikirkan cara untuk melampiaskan amarahku.
"Jangan munafik di sini. Kalau Denis dan aku dicekik sampai mati oleh Bibi Siti, kemudian dibakar sampai mati. Sekarang yang berada di hadapanmu hanyalah sepasang mayat."
Hatiku merasa sangat sedih, suaraku yang marah menjadi terisak.
Candra mengangkat kepalanya dan mengambil napas dalam-dalam, "Kalau itu terjadi, aku akan membunuh mereka semua. Terakhir, aku akan bunuh diri di depan makam kalian."
Aku berkata, "Candra, aku tidak ingin Denis mati dan aku juga tidak ingin mati. Jadi tolong, menjauhlah dari kami!"
Mata Candra menatapku dalam-dalam dengan rasa sakit yang terlihat jelas, "Aku akan keluar dulu, kamu jaga dirimu baik-baik."
Dia memilih untuk menghindari kemarahanku.
"Bibi, apakah Bibi bertengkar dengan Paman?"
Denis merangkak turun dari ranjangnya, lalu berlari dan naik ke ranjangku dengan kekhawatiran melintas di matanya yang gelap.
"Tidak apa-apa. Denis jangan khawatir, ya?"
Aku menepuk kepala Denis. Cintaku yang dalam pada putraku membuatku tidak tega menyakiti hatinya. Anak ini masih terlalu muda dan dunia ini benar-benar terlalu rumit untuknya.
"Aku teman Clara, aku ingin bertemu Clara."
Suara yang akrab datang dari luar, pengawal itu berkata, "Bos memerintahkan untuk tidak membiarkan siapa pun yang masuk."
"Aku tidak peduli siapa bosmu, dengarkan baik-baik!" Hendra menunjuk kepala kedua pengawal itu, "Aku teman Clara. Aku harus melihatnya!"
Setelah Hendra selesai berbicara, dia melangkah masuk dan para pengawal buru-buru menghentikannya, tapi Hendra sangat terampil, dia mengalahkan para pengawal dengan cepat. Hanya sekejap mata, dia sudah berhasil menaklukkan kedua pengawal itu.
Aku terkejut melihat Hendra masuk. Dia mengenakan jas dan sepatu kulit, seolah-olah dia baru saja kembali dari tempat yang jauh. Di belakangnya, kedua pengawal itu berdiri dengan cemas dan mulai menelepon Candra.
"Kenapa kamu datang ke sini?"
Aku menopang diriku dan duduk.
Alis tebal Hendra terangkat. Dia menatapku dengan sepasang mata lembut dan bercampur dengan rasa kasihan, "Aku baru saja kembali dari Kota Bandar, aku mendengar tentangmu dan segera datang. Bagaimana kabarmu, kakimu terluka?"
Saat Hendra melihat kakiku sedang gips, dia mengerutkan kening.
Aku tidak mengerti mengapa dia menunjukkan ekspresi gugup seperti itu, aku hanya tersenyum, "Sudah hampir sembuh."
Alis Hendra tetap mengernyit, "Katakan padaku apa yang terjadi,? Apakah seseorang menindasmu? Jangan khawatir, aku tidak ada maksud apa pun padamu, aku hanya ... memperlakukanmu sebagai adikku."
Hendra menambahkan kalimat terakhir.
Aku menghela napas, nadaku dingin dan tak berdaya, "Stella, dia menculik sepasang anak dari Bibi Siti, lalu menyuruh Bibi Siti membunuhku dan Denis, tapi dia tidak berhasil. Sekarang, Bibi Siti menyangkalnya. Dia berkata semuanya tidak ada hubungannya dengan Stella. Hal ini karena pertengkaran denganku, jadi dia ingin membunuh kami."
"Hal ini sangat mudah."
Hendra mengeluarkan ponselnya dan mulai menelepon.
Aku mendengar dia menelepon Kapten Eki, mungkin kapten polisi. Hendra berkata, "Aku tidak berbasa-basi denganmu lagi. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu, kasus resor yang terbakar beberapa hari yang lalu...."
Hendra berbicara dengan Kapten Eki di telepon untuk waktu lama dan aku mendengar kata-kata apakah menggunakan "pendeteksi kebohongan". Aku tidak tahu bagaimana Kapten Eki menjawabnya, tapi alis Hendra mengernyit lebih kuat.
Denis berbaring di samping tempat tidurku, kepala kecilnya memandang ke arah Hendra, mata hitamnya berbinar-binar seolah-olah sangat penasaran dengan pria bertubuh kekar ini.
"Bibi, siapa orang ini?" tanya bocah kecil ini padaku dengan suara pelan. Akhir ini dia masih memanggilku Bibi.
"Dia adalah Paman Hendra."
Aku mengelus kepala Denis dengan lembut. Di mataku, Hendra telah menutup telepon dan wajah terlihat sangat masam.