Aku meninggalkan bangsal Cindy, lalu aku naik lift untuk turun ke lantai bawah dengan cepat. Sebelum aku keluar dari lift, aku dikejutkan oleh sebuah tatapan masam. Tiba-tiba aku mendongak dan melihat ibunya Candra, Bherta dan Rinaldi berdiri di depan lift.
Begitu Bherta melihatku, dia memarahiku dengan suara lantang, "Kamu lagi Yuwita, cuih, kamu tidak pantas menggunakan nama ini! Kamu yang merekam video itu, bukan? Apa kamu ingin membunuh Candra dan Stella? Wanita jalang, kenapa kamu masih tidak mati di penjara?"
Bherta mengutukku dengan kejam. Jika Rinaldi yang berada di sampingnya tidak menangkapnya, aku yakin dia akan menerkamku dan mencekik leherku.
Rinaldi berkata dengan nada rendah, "Cukup!"
Terlintas percikan api di mata Bherta, dia sangat ingin menghancurkan tubuhku hingga berkeping-keping, tapi Rinaldi menariknya dan dia tidak bisa menerkamku. Rinaldi meminta maaf kepadaku dengan malu, "Yuwita, aku minta maaf."
Kadang-kadang aku benar-benar merasa aneh, bagaimana mungkin seorang pria yang lembut dan cerdas seperti Candra memiliki ibu seperti Bherta yang begitu menjijikan dan ceroboh. Sementara Rinaldi, kenapa dia bisa memiliki seorang istri seperti Bherta?
Harus diketahui jika Rinaldi adalah profesor jurusan hukum yang paling terkenal di Universitas A. Dia sangat cerdas dan memiliki temperamen yang luar biasa. Meskipun usianya sudah setengah baya, temperamennya yang bijak dan elegan dari dalam dirinya sama sekali tidak berkurang. Aku belajar hukum karena mengagumi Rinaldi.
Jika hubungan kedua orang yang karakter dan temperamennya sama sekali tidak mirip ini adalah pilihan mereka sendiri, mati pun aku tidak percaya akan hal itu.
Rinaldi masih memanggil nama yang diberikan Candra kepadaku. Dia tidak tahu bahwa aku telah mengganti namaku. Sekarang namaku adalah Clara Kistanto. Aku juga tidak mengingatkannya. Tidak peduli kapan pun, Rinaldi adalah seseorang yang seharusnya aku hormati. Dia adalah idolaku di perguruan tinggi dan dia juga diam-diam telah memengaruhi pandangan hidupku.
Setelah pernikahan aku dengan Candra, dia juga seorang ayah yang anggun dan baik, dia tidak hanya memberiku banyak nasihat tentang pengetahuan yang berhubungan dengan profesiku, tapi juga menoleransi aku yang merupakan menantu tidak berperasaan dan ceroboh.
Rinaldi menarik Bherta ke dalam lift sambil menegurnya dengan pelan. Rinaldi bertanya pada Bherta dari mana dia melihat aku merekam video itu. Selain itu, dia berkata meskipun direkam oleh Clara, itu karena Stella menerima suap terlebih dulu, hal ini tidak bisa menyalahkan orang lain.
Tiba-tiba aku memiliki perasaan yang rumit di hatiku, ternyata tidak semua orang berhati busuk.
Saat aku sampai di rumah, waktu sudah tengah malam. Aku mandi dan berbaring di ranjang untuk tidur. Saat aku terbangun di pagi hari, aku pergi ke rumah sakit terlebih dahulu.
Di bangsal, Cindy menopang tubuh bagian atasnya dengan satu tangan dan satu tangannya meraih gelas air. Di tempat tidur lipat di sebelahnya, Dean sedang tidur dengan posisi miring.
Saat itu, aku merasa sedikit tidak senang, aku berjalan dan menyerahkan gelas air itu kepada Cindy. Saat aku hendak membangunkan Dean, Cindy mengangkat jarinya dan memberikan isyarat untuk tidak berisik.
"Biarkan dia tidur, dia telah bekerja keras sepanjang malam."
"Kamu sudah sarapan belum?" tanyaku pada Cindy, di benakku aku tahu ini pertanyaan yang sia-sia, Cindy sudah pasti belum makan. Cindy menggelengkan kepalanya, "Aku belum lapar."
"Tunggu sebentar, aku akan pergi beli."
Aku berbalik dan keluar lagi, ketika aku kembali setelah membeli makanan favorit Cindy, aku bertemu dengan Stella di lift.
Stella masih mengenakan pakaian rumah sakit, wajahnya terlihat pucat pasi. Melihat kondisi tidak sehat semacam ini sepertinya dia tidak berpura-pura. Sisi paling kejam dan jelek terungkap di depan umum. Normal bagi dirinya yang sangat sombong tidak bisa menerima semua itu.
Stella melangkah masuk ke lift sambil menelepon, alisnya berkerut di wajahnya yang tidak sehat, ekspresinya terlihat kesal, "Sudahlah, jangan telepon aku lagi, aku sudah cukup pusing!"
Aku tidak tahu dengan siapa dia menelepon, nada suara Stella terdengar sangat tidak bersahabat.
Setelah menutup telepon, dia melihatku, matanya langsung dipenuhi dengan kebencian, "Kamu yang melakukannya, 'kan? Clara, aku akan membalas dendam padamu!"
Aku tersenyum pada Stella, "Salahmu sendiri, aku hanya mengekspos hatimu yang busuk di depan orang-orang."
Saat berbicara, lift berhenti. Aku melengkungkan bibirku dengan sinis dan berjalan keluar.
Namun yang tidak aku duga adalah pada saat ini, Stella mengulurkan kakinya dan menyandungku hingga terjatuh. Saat ini masih pagi, tidak ada orang lain di lift kecuali kami berdua, aku yakin Stella yang menjulurkan kakinya. Aku tidak siap sedikit pun, tubuhku langsung terpental keluar dari lift.
Saat ini, kebetulan ada bocah kecil yang berlari kemari. Dia berlari sambil memanggil ibunya. Ketika tubuhku jatuh, bocah kecil itu berlari ke arahku. Aku tidak sengaja bertubrukan dengan bocah itu.
Sikuku langsung mengenai dahi bocah itu dan bocah itu jatuh telentang dengan keras. Seketika tangisan menjerit terdengar di telingaku.
Aku juga terjatuh sangat parah. Kaki Stella menyandung aku yang tidak waspada sedikit pun. Aku yang sudah dewasa itu terjatuh menabrak lantai marmer yang keras.
Aku tidak perlu melihat. Aku sudah bisa memikirkan betapa bangganya senyum Stella saat ini.
"Julia!"
Teriakan kaget seorang pria memecahkan gendang telingaku dalam sekejap. Aku langsung mengangkat kepalaku, tetapi aku melihat seorang pria bertubuh ramping berlari ke arah bocah yang tergeletak di tanah. Dalam sekejap, aku merasa dunia sangat kecil sehingga orang yang aku tabrak adalah Julia, putri Candra dan Stella dan pria yang berlari kemari adalah Candra.
"Ayah, dia memukulku!"
Julia mengeluh sambil duduk di lantai dan menangis.
Mata tajam Candra langsung memelototiku. Aku telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Aku hanya tiga kali melihat tatapannya yang begitu menyeramkan, satu kali di kediaman tunangan Tuan Muda Kelima, satu kali di arena pacuan kuda dan sekarang. Sekarang tatapannya bahkan lebih ganas dan menakutkan.
"Apa yang telah kamu lakukan?" Candra terus memelototiku bagaikan macan tutul yang ganas. Begitu aku mengakui bahwa aku memukul anak itu, aku yakin dia akan segera menamparku dan memukuliku dengan keras.
Sebelum aku berbicara, sudah terdengar suara Stella.
"Candra, dia memukul Julia!"
Pada saat ini, Stella sepertinya baru saja bereaksi dan bergegas keluar dari lift, dia menunjuk ke arahku dengan panik. Dia mungkin tidak pernah berpikir dia menyandungku dan malah mencelakai putrinya sendiri. Pada saat ini, mata Stella seakan mengeluarkan api, dia sangat ingin mencabik-cabikku.
Saat itu, aku sudah bangun. Meskipun penampilanku sangat menyedihkan, aku mencibir di sudut mulutku, "Langit benar-benar adil. Jelas-jelas kamu yang menyandungku hingga membuatku terjatuh dan mencelakai putrimu sendiri. Tapi kamu malah menyalahkanku, dunia ini benar-benar sudah tidak ada hukum lagi!"
Candra menatapku dengan curiga, kemudian dia menatap Stella, tapi tetapannya yang kejam kembali mengarah padaku, "Candra, tidak peduli apa yang kamu lakukan, kalau kamu menyakiti Julia, aku tidak akan pernah memaafkanmu!"
Setelah Candra selesai berbicara, dia menggendong Julia yang masih menangis di lantai, lalu berbalik dan berjalan ke ruang perawat. Dahi Julia bengkak, mungkin dia pergi mencari obat.
Stella menatapku dengan marah, "Clara, tunggu saja. Aku tidak akan melepaskanmu."
Bagaimanapun dia pasti mengkhawatirkan putrinya. Stella tidak menggangguku lagi, dia berjalan mengikuti Candra.
Aku menggosok lenganku yang sakit. Saat ini, aku baru menyadari lenganku luka dan lututku berdarah. Sarapan yang aku beli untuk Cindy semuanya berserakan di lantai dan pemandangan terlihat sangat berantakan.