Sebenarnya bisa merasakan bahwa selain cedera kulit ini, seharusnya tidak ada cedera tulang, jadi lukaku tidak begitu parah. Namun Gabriel terlihat sangat gugup, dia meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh untukku.
Aku tidak ingin diperiksa, aku hanya ingin kembali ke tempat itu dengan cepat dan mencari anakku.
Saat kami berdua saling menolak usulan sesama. Telepon Gabriel berdering, dia mengeluarkannya dari saku celananya dan menjawab, "Kak Candra ...."
Saat itu, napasku langsung terhenti.
Setiap kali seseorang menyebut Candra di depanku, akan membuat jantungku berdetak lebih cepat.
"Kak Candra, sekarang aku tidak bisa pergi, aku tadi mengemudi dan ...."
Gabriel menatapku dan terdiam dengan mulut menganga. Aku tahu, dia tidak tahu harus memanggilku apa sekarang.
"Namaku Clara Kistanto," jawabku dingin.
"Ya, Clara. Aku baru saja menabraknya dengan mobilku."
Alis tebal Gabriel mengernyit, nama baruku jelas membuatnya sangat tidak nyaman, nada bicaranya menjadi sedikit agresif.
Aku tidak mendengarkan lagi. Dokter mengobati lukaku. Obat anti peradangan dioleskan bagian lukaku, aku kesakitan hingga berteriak.
Gabriel segera masuk lagi. Saat dia melihat wajahku memucat karena kesakitan dan dahiku yang berkeringat dingin, dia memegang bahuku dan berkata dengan nyaring kepada dokter, "Pelan-pelan!"
Dokter melirik Gabriel dengan ekspresi yang sangat aneh, "Kalau sakit, cari orang lain untuk obati!"
Gabriel tahu apa dia yang salah, dia tidak bersuara lagi. Dokter terus mengobati lukaku.
Pada saat semuanya sudah selesai, waktu sudah tengah malam. Gabriel mengantarku kembali ke apartemen Cindy. Saat aku turun dari mobil, dia datang untuk memapahku. Aku menolak, "Aku bisa berjalan sendiri."
Gabriel berdiri di samping mobil, dia tampak canggung. Ketika aku hendak pergi, Gabriel berkata di belakangku, "Clara, pernahkah kamu mendengar tentang Joan Purnomo?"
Aku mengerutkan kening. Joan Purnomo, bukankah dia pimpinan mafia di kota ini yang menjalani bisnis putih dan gelap? Aku belum pernah bertemu dengannya, tetapi nama pria itu sudah tidak asing lagi. Saat aku masih kuliah, aku sudah mendengar nama itu.
Konon katanya dia menjalankan semua klub malam di kota ini. Dia tidak mudah bertemu dengan siapa pun, tapi jika seseorang memprovokasi dia, orang itu kehilangan kaki atau tangan adalah hukuman yang ringan.
"Kenapa?"
Aku tidak tahu untuk apa Gabriel menyebut nama orang ini, aku menoleh ke belakang untuk melihatnya.
Gabriel menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa. Sudah larut, kamu naik dan istirahat, aku juga harus pergi."
Setelah Gabriel selesai berbicara, dia berbalik dan berjalan menuju mobil sedang yang diparkir di kegelapan, dia membuka pintu dan masuk. Mobil itu dengan cepat melaju pergi, aku naik ke atas dengan ragu.
Untuk apa Gabriel menyebutkan nama Joan? Aku tidak tahu dan aku juga tidak ingin memikirkannya, jadi aku langsung masuk ke apartemen. Saat aku berbaring di tempat tidur, tubuhku masih terasa sangat sakit, aku berguling dalam waktu lama baru bisa tertidur.
Ketika aku bangun, langit sudah cerah. Aku memeriksa ponselku, sudah jam sembilan pagi. Aku membuka Whatsapp dan langsung melihat postingan dari teman "jika bisa memutar kembali waktu", jual ruko di Jalan Melati dengan luas 30 m, harga 20 juta.
Di telingaku seakan terdengar suara "ting", 20 juta?
Apakah aku salah membaca?
Aku menggosok mataku dan melihat dengan hati-hati, benar harganya 20 juta.
Apakah orang ini gila?
Aku tidak tahu berapa harga ruko di Jalan Melati per meter persegi, tapi aku telah melihat ruko rumah baru Cindy, harganya 100 juta per meter persegi. Bahkan jika bagian Jalan Melati lebih terpencil, seharusnya harganya tidak lebih kurang dari 60 juta per meter persegi.
Jantungku berdebar kencang, aku membayangkan rumah yang begitu murah sambil berpikir hal itu pasti mustahil. Aku mengirim pesan ke "jika bisa memutar kembali waktu", 'Apakah yang kamu katakan itu benar?'
Orang itu dengan cepat membalas pesanku, 'Benar.'
Aku langsung bertanya lagi, "Kenapa murah sekali, bukankah kamu akan rugi besar?"
Tampaknya ada keheningan untuk beberapa saat. Setelah beberapa menit dia membalasku, "Aku akan memberitahumu ketika aku bertemu denganmu."
Aku bersemangat untuk sementara waktu. Jika ini benar, bukankah aku mendapatkan keuntungan besar?
Meskipun agak tercela dengan membeli rumah bernilai ratusan juta dengan harga serendah itu, tapi kedua belah pihak melakukannya dengan suka rela, yang satu bersedia menjual dan yang lain bersedia membeli. Kenapa aku malah merasa sedih seperti ini?
Saat ini, aku membuat janji dengan "jika bisa memutar kembali waktu", aku akan bertemu di depan ruko Jalan Melati pada jam 3 sore ini.
Sebelum aku pergi, aku mempersiapkan semuanya dengan saksama, sebuah kartu bank yang menyimpan tabunganku selama beberapa bulan, sebotol kecil minyak cabai dan minyak mustard dimasukkan ke dalam tasku yang murah. Aku tidak bisa menjamin apakah orang itu adalah pembohong atau cabul, minyak cabai dan minyak mustard adalah untuk berjaga-jaga.
Pada pukul tiga, aku datang ke Jalan Melati sesuai jadwal. Aku menemukan ruko "jika bisa memutar kembali waktu". Melalui pintu kaca tebal, aku bisa melihat kekacauan di dalamnya, seolah-olah seseorang telah menghancurkannya. Namun samar-samar aku dapat mengenali bahwa rumah itu seharusnya adalah tempat salon kecantikan dan kuku.
Ada seorang pria mengenakan setelan hitam berdiri di belakang pintu, dia memegang tas kerja hitam di tangannya. Ketika aku masuk, dia berbalik lalu mengangkat tangannya dan mendorong kacamata berbingkai hitam, kemudian berkata dengan acuh tak acuh, "Kamu sudah datang."
"Kamu adalah "jika bisa memutar kembali waktu"?" tanyaku.
Pria itu berkata, "Betul."
Baru pada saat itulah aku memperhatikan pria ini, dia sangat kurus dengan rambut hitam dan sikap yang sopan.
Melihat aku menatapnya, pria itu membuang muka dan berkata dengan ringan, "Aku adalah seorang guru perguruan tinggi. Istriku membuka sebuah toko kecil. Ketika aku sibuk bekerja, dia pergi berkencan dengan kekasihnya di toko ini. Satu bulan lalu, dia dan sang kekasih pergi tur, mobil mereka terjatuh dari tebing dan keduanya mati bersama. Ketika polisi meneleponku, aku baru mengetahui bahwa istri tercintaku telah berselingkuh selama tiga tahun."
"Toko ini adalah warisan dari orang tua istriku. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Sekarang istriku juga sudah meninggal, toko ini milikku dan aku tidak ingin menyimpan apa pun darinya," kata pria itu sambil menyalakan sebatang rokok. Dia tampak sedikit bersemangat, jari-jarinya yang memegang pemantik bergemetar. Butuh waktu lama dia baru berhasil menyalakan rokoknya.
Pria itu mengisap rokok lagi, sebelum berbicara dia menenangkan emosinya, "Aku membuang semua barang, pakaian dan perhiasannya. Semua yang bisa dibuang sudah aku buang dan aku jual dengan harga murah. Toko ini kalau disimpan hanya menambah kekesalanku. Kalau menjual mahal terlalu mementingkannya. Dia juga tidak sepadan dengan harga 20 juta."
Pria itu semakin berbicara semakin bersemangat. Dia hampir tidak bisa mengendalikan emosinya, sementara aku juga sangat bersimpati pada pria ini.
Dia juga dikhianati. Situasinya tampak lebih buruk dariku. Aku masih memiliki kesempatan untuk membalas dendam pada bajingan itu, tapi dia bahkan tidak memiliki kesempatan untuk menampar bajingan itu.
Setelah beberapa saat, suasana hati pria itu telah stabil. Dia mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya, "Aku membawa kontrak. Kamu dapat menandatanganinya, kemudian kita akan pergi ke departemen manajemen perumahan untuk mengesahkan."
Orang yang sama memiliki nasib yang menyedihkan. Aku dan pria di hadapanku memiliki pengalaman yang hampir sama, yang membuatku merasa simpati yang sama untuk pria sopan ini.