Dean segera mencairkan suasana, "Bu, pekerjaan Cindy sangat berat, jangan katakan apa-apa lagi. Sudahlah, Cindy, ayo bawa Clara melihat rumah kita."
Aku mengikuti Cindy sambil menahan rasa tidak puasku terhadap ibunya Dean. Aku melihat sejenak rumah mereka. Selama aku berkunjung, ibunya Dean terus mengomel.
Mungkin Dean takut Cindy tidak suka dengan sikap ibunya, sewaktu-waktu dia akan mengedipkan mata pada ibunya, tapi ibunya tampaknya tidak peduli dan masih mengomel.
Namun, aku mulai tidak optimis dengan masa depan Cindy dan Dean. Belum lagi Dean yang tidak berkemampuan, hanya ibunya yang tidak tahu malu saja kelak akan membuat Cindy menderita.
Aku benar-benar tidak ingin mendengarkan omelan ibunya Dean, aku memberi tahu Cindy ingin pergi membeli sesuatu di supermarket, lalu aku pergi dari tempat itu.
Setengah jam kemudian, Cindy meneleponku. Aku berada di supermarket sambil termenung pada kedua ibu dan anak.
Sang ibu berusia empat puluhan, wajahnya terlihat tidak ada perubahan, model pakaiannya adalah model beberapa tahun yang lalu. Seorang bocah lelaki berusia sekitar dua tahun menggunakan tangan kecilnya yang gemuk membolak-balikkan dengan penasaran barang kebutuhan sehari-hari di atas keranjang belanja.
Aku ingat wanita paruh baya itu, wajahnya terukir di dalam benakku. Wajah bocah itu tampak seperti seseorang.
Candra.
Betul, bocah ini sangat mirip dengan Candra, terutama saat Candra masih kecil. Di rumah lama Candra dan aku, ada foto Candra saat kecil, bocah di depanku adalah versi asli dari foto itu.
Bocah ini adalah Candra versi kecil.
Wanita itu adalah istri dari pasangan yang membawa anakku pergi dari rumah sakit dua tahun lalu. Tanpa disangka setelah dua tahun, aku bertemu dengan wanita itu dan putraku dengan cara seperti ini.
Aku termenung menatap bocah laki-laki di kereta belanja. Pada saat itu, mataku terasa panas. Hati kecilku berkata, 'Nak, aku adalah ibumu.'
Wanita itu mendorong kereta belanja ke arah kasir, aku tiba-tiba mengejarnya dari belakang.
Meskipun awalnya aku meninggalkan anak itu dengan kejam, dia tetaplah darah dagingku. Aku mengandungnya 10 bulan dan melahirkan melalui operasi caesar. Selama dua tahun terakhir, aku sering bermimpi tentangnya.
Aku tidak tahu apakah pasangan itu memperlakukannya seperti anak mereka sendiri, tidak tahu seperti apa wajahnya. Apakah mirip aku atau Candra? Aku tidak tahu apakah dia baik-baik saja.
Langkah kakiku mengikuti mereka seakan tak bisa aku kendalikan.
Telepon berdering di tasku, tapi aku tidak menjawab panggilan itu. Aku terus mengejarnya hingga berjarak tiga meter dari kasir. Aku melihat wanita paruh baya itu membawa barang-barang di keranjang belanja ke kasir.
"260 ribu," kata kasir.
Wanita itu terlihat ragu, seolah-olah dia sedang memikirkan barang mana yang tidak ingin dia beli. Kemudian, dia mengambil mobil mainan di tangan anak yang gemuk itu dan berkata, "Nona, aku tidak jadi membeli ini."
Aku melihat sudut mulut kasir berkedut dengan wajah penuh dengan ekspresi menghina, lalu dia bergumam pelan, "Sudah tahu tidak mampu membeli, untuk apa mengambil barang sebanyak ini?"
Ekspresi wanita baya itu tampak canggung, tetapi dia hanya menggigit bibirnya dan memasukkan sekantong barang-barang belanjaan ke dalam keranjang belanja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Melihat ibunya tidak mengembalikan mobil mainan, Bocah kecil di dalam keranjang belanja mulai menangis dengan sedih.
"Ibu, aku mau ...."
Tiba-tiba hatiku menjadi sesak karena tangisan bocah itu. Saat ini, aku baru menyadari sedalam apa ikatan darah. Ternyata anak ini selalu ada di dalam hatiku. Meskipun darah Candra mengalir di dalam tubuhnya, aku tetap tidak tega melihat anak ini sedih.
"Clara?"
Pada saat ini, aku mendengar suara teriakan Cindy. Aku melihat ke arah teriakan itu berasal dengan ekspresi panik, aku melihat Cindy berdiri di pintu masuk toko sambil melambai ke arahku.
Air mata tergenang di dalam mataku, aku memalingkan muka dan mengabaikan Cindy, tetapi saat aku melihat kembali, ibu dan anak itu telah pergi. Aku bergegas ke pintu keluar. Namun, malam hari ada sangat banyak pelanggan yang berada di toko. Pada saat ini, orang-orang berlalu-lalang dan aku tidak menemukan ibu dan anak itu lagi.
Ketika aku menghampiri Cindy dengan putus asa, Cindy langsung terkejut, "Clara, ada apa denganmu?"
"Aku melihat anak itu," kataku seakan ada sebuah lubang di jantungku yang meneteskan darah. Aku memegang dadaku dengan tangan tanpa bisa menahannya.
Seketika, mulut Cindy ternganga dan kedua matanya terbelalak. Setelah beberapa saat dia baru mengerti apa yang aku maksud. Beberapa waktu kemudian, dia mengangkat tangannya untuk merapikan rambut di pipiku dan berkata dengan suara sedih, " Clara, jangan sedih."
Aku terisak dan tiba-tiba air mataku langsung mengalir, aku berkata, "Cindy, aku menyesal."
Aku menyesal memberikan anakku pada orang lain.
Aku sudah menyesal.
Cindy meraih bahuku dan menarik tubuhku yang gemetar ke dalam pelukannya. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi aku tahu bahwa dia juga pasti ikut merasa sedih.
Selama berhari-hari, aku seperti orang gila yang selalu pergi ke supermarket itu. Aku berharap bisa bertemu kembali dengan anakku, meski hanya sekali. Namun yang lebih membuatku kecewa adalah aku tidak pernah melihat ibu dan anak itu lagi.
Aku mulai khawatir sepertinya kondisi anak itu dan wanita yang mengadopsinya tidak begitu baik. Dia bahkan ragu untuk membeli barang yang harganya lebih dari 200 ribu. Suami dan istri adalah seorang pegawai, situasi mereka harusnya tidak seperti ini.
Apakah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan? Aku mulai memikirkan hal yang tidak-tidak.
Saat aku akan bekerja, aku tidak sengaja bertemu Stella di pintu perusahaan ekspedisi.
Saat aku hendak masuk, dia berjalan keluar dengan mengenakan gaun Chanel yang indah dan memegang Hermès edisi terbatas di tangannya, riasan di wajahnya terlihat sangat cantik, dia tampak seperti wanita kaya.
Ketika Stella melihatku, tubuhnya yang tinggi dan ramping tersenyum dengan genit, "Aduh, bukankah ini Nona Clara? Kenapa kamu bekerja di sini? Sayang sekali, kalau aku tidak salah ingat, Nona Clara adalah seorang pengacara. Apakah karena pernah menjadi selingkuhan dan merampas suami orang lain, juga menabrak anak orang hingga dipenjara beberapa tahun, jadi tidak dapat menemukan pekerjaan? Ckck ...."
Aku mengernyitkan alisku, terdengar rekan-rekanku mulai berbisik, "Ternyata dia pernah dipenjara, benar-benar menakutkan."
Aku bisa merasakan tatapan aneh rekan-rekanku, mereka menatapku seakan aku adalah monster yang menakutkan.
Aku memelotot ke arah Stella dengan mata dingin, senyum mengejek muncul di sudut mulutku, "Bajingan itu? Aku yang memberikannya padamu. satu adalah seorang bajingan dan satunya lagi adalah wanita jalang. Kalian benar-benar pasangan yang sangat serasi."
Kata-kataku membuat senyum bangga di wajah Stella menegang. Sudut bibirnya terlihat bergetar, wajahnya terlihat memucat. Jelas terlihat dia sangat marah.
Pada saat ini, terdengar suara pintu yang dibanting di belakangku, seseorang dari belakang langsung berbicara, "Siapa yang kamu bicarakan?"