Chereads / Direktur, Ayo Cerai / Chapter 131 - ##Bab 131 Febi Cemburu

Chapter 131 - ##Bab 131 Febi Cemburu

"Benarkah?"

Meskipun Julian menanyakan pertanyaan ini, dia sudah memiliki jawaban yang pasti di dalam hatinya. Karena jawaban itu pula yang membuatnya merasa bahagia.

"Yah, benar ...."

Terlihat jelas penegasan Febi membuat Julian lebih bersemangat.

Jadi ....

Febi masih miliknya!

Tidak ada yang pernah menyentuhnya!

Julian bukanlah orang pelit, tapi dia tidak pernah bisa bermurah hati untuk masalah tentang Febi!

Selama beberapa hari terakhir, Julian terus memikirkan masalah ini. Dia tidak bisa dan juga tidak mungkin berpikiran terbuka. Setelah sekarang mendengar penjelasan Febi, hatinya akhirnya merasa lega.

"Kenapa berbohong padaku seperti itu? Menyenangkan?"

Julian menyipitkan matanya. Dia terlihat sedikit marah, "Apakah kamu tahu apa artinya ini bagi seorang pria?"

Febi menggigit bibirnya dan tidak mengatakan apa-apa.

Julian mendekat, aura bahaya mengalir dari pupil matanya yang gelap. Bibirnya mendekat dan menggosok bibir Febi dengan ambigu. Suara Julian sangat rendah hingga membuat seluruh tubuh Febi menjadi lemas, "Kenapa kamu tidak berbicara?"

Febi terengah-engah karena Julian. Setelah Febi mencoba menenangkan dirinya, dia baru bertanya, "Bagaimana denganmu? Apa yang terjadi antara kamu dan dia ....?"

Suara Febi terdengar kesal.

Terlihat jelas Febi merasa sangat tertekan.

Julian tidak mengerti sama sekali. Julian mengulurkan tangannya, lalu memeluk Febi erat-erat dan menatapnya, "Aku? Aku dan siapa?"

"... Lupakan saja." Febi tiba-tiba merasa malu.

Pertanyaannya terlalu tidak masuk akal.

Febi menurunkan lengan Julian, lalu melangkah keluar dari pelukannya dan berjalan ke kamar.

Ada sedikit kesuraman dalam ekspresi Febi yang membuat Julian bingung.

Begitu dia masuk, Julian juga mengikuti. Julian menutup pintu, lalu menarik Febi kembali, "Apa maksud perkataanmu tadi? Siapa yang kamu maksud dengan dia?"

Febi teringat koran hari itu, teringat pelukan antara dia dan Valentia, hingga dadanya merasa tidak nyaman.

Semua wanita sangat berpikiran sempit dalam hal perasaan. Selain itu, Febi bukanlah orang yang murah hati.

"Bukankah kamu akan bertunangan dengan Nona Valentia? Aku membaca koran." Febi menatap Julian, berusaha keras untuk membuat nada suaranya sedikit lebih santai, tapi ....

Sebenarnya, Febi sama sekali tidak bisa melakukannya.

Jadi ....

Akhirnya Febi tidak berpura-pura lagi. Dia menatap Julian dengan tatapan sedih, "Pada malam kamu difoto. Setelah kamu meninggalkanku, kamu bersamanya. Apakah kalian telah ... berhubungan?"

Febi bertanya dengan terus terang.

Sudah sejak lama Febi ingin tahu jawabannya. Namun pada saat ini, ketika dia akan mendengar jawabannya, hatinya bergetar.

Dia merasa sedih.

Tanpa dipikirkan pun, Febi tahu jika jawabannya benar, maka itu akan menjadi pukulan besar bagi dirinya sendiri.

"Valentia dan aku?" Julian memandang Febi dengan sedikit tak berdaya, tapi juga menatapnya dengan tatapan lucu, "Menurutmu, aku orang yang sembarangan seperti itu? Aku akan bertunangan dengan wanita mana saja? Atau berhubungan dengan wanita mana saja?"

Febi menatap Julian lekat-lekat, dengan sedikit ketidakpastian di matanya.

Jadi ....

Maksud Julian adalah ....

"Siapa yang mengatakan hal ini?"

Febi menggelengkan kepalanya.

Julian menjadi lebih tidak berdaya, "Koran?"

"... Hmm."

Ekspresinya yang terpuruk dan sedih terlihat jelas oleh Julian. Dia seharusnya tidak merasa senang setelah Febi salah paham padanya begitu lama, tapi ....

Melihat penampilan Febi yang cemburu, suasana hati Julian membaik sedikit demi sedikit.

Hanya saja ....

Wanita bodoh ini bisa menahan cemburu begitu lama?

"Karena kamu sangat peduli, kenapa kamu tidak datang bertanya langsung tentang situasinya? Tapi malah menyimpan hal-hal ini di hatimu begitu lama?"

"Aku bertanya padamu sekarang, apakah kamu ingin menjelaskan padaku?"

Julian menatapnya, "Pertama, Valentia dan aku tidak mungkin bertunangan."

Kata-kata Julian sangat singkat. Namun, itu sangat kuat. Tidak perlu ditekankan pun, Febi sudah memercayainya.

Kabut di hati Febi sedikit mereda.

"Kedua, aku tidak mungkin tidur dengannya. Kamu ingat ini dengan jelas. Alasan kenapa aku tinggal bersamanya malam itu adalah karena nenek sedang tidak sehat, jadi dia meneleponku untuk pergi ke sana."

Febi tersenyum cerah. Perasaan ini seperti hati yang terbang tertiup angin.

Namun, mata Julian menjadi serius dan tegas, "Aku tidak akan menyentuhnya. Sebelumnya tidak pernah, kelak aku juga tidak akan melakukannya. Sementara kamu ... tidak diizinkan untuk membiarkan lelaki lain menyentuhmu, mengerti?"

Senyum Febi semakin melebar. Dia benar-benar menyukai sifat Julian yang sangat mendominasi.

"Hmm?" Melihat Febi tidak menjawab, Julian mengkonfirmasi lagi.

Febi tiba-tiba melingkarkan lengannya di leher Julian. Dia menahan senyumnya dan menatap Julian dengan serius, "Kalau kamu tidak bertunangan dengan Valentia, apakah itu berarti kamu masih lajang sekarang?"

Artinya ....

Febi tidak akan menjadi selingkuhan, jadi dia bersamanya tanpa perlu memikirkan apa pun?

Julian menatap mata Febi, dia tidak dapat menebak apa maksud pertanyaan Febi. Julian melingkarkan lengannya di pinggang Febi dan memeluknya erat-erat, "Aku lajang, tapi sekarang aku ingin memiliki pacar."

Setelah jeda, Julian mengulangi dengan tegas, "Aku benar-benar ingin."

Petunjuk dalam kata-kata Julian benar-benar terlihat jelas.

Jantung Febi berdetak kencang dan terasa hangat, "Aku berjanji, kelak tidak akan ada lelaki yang menyentuhku lagi."

Julian mengangkat alisnya. Dia menyukai janji yang dibuat Febi, tapi dia tidak lupa untuk memperjuangkan haknya sendiri, "Selain aku."

Febi tersenyum, "Ada hal lain yang ingin kukatakan padamu."

Hati bergetar.

"Oke, katakanlah," jawab Julian sambil memainkan ujung rambut Febi dengan santai.

Julian merasa suasana hatinya sangat baik hari ini. Perasaan salah paham yang terpecahkan seperti belenggu berat yang selama ini menekan di hatinya telah dilepas hingga dia merasa senang dan rileks.

"Kalau begitu biarkan aku pergi dulu, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."

Julian mengendurkan pinggang Febi. Febi berbalik dan duduk di sofa. Dia mengambil tasnya dan mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya, kemudian membaliknya sejenak dan menyerahkannya pada Julian.

"Lihatlah."

Julian mengangkat alisnya dan mengambil buku itu dengan curiga.

Febi berdiri tepat di depan Julian dengan jantung yang berdebar kencang. Dia menunggu reaksi Julian.

Mata Julian berhenti sejenak pada dua kata "Surat Cerai". Julian mendongakkan kepalanya, seolah bertanya apakah Febi serius. Febi tersenyum dan mengangguk untuk mengiyakan.

Mata Julian menjadi gelap, keterkejutan dan kegembiraan menyatu di bagian bawah matanya.

Julian memegang kartu itu dengan erat. Kemudian, dia maju selangkah dan menarik Febi langsung ke pelukannya dengan satu tangan. Sebelum Febi kembali ke akal sehatnya, ciuman Julian sudah mendarat di bibirnya. Ciuman itu sangat tergesa-gesa dan kuat, seolah-olah Julian ingin menghisap wanita yang kembali lajang itu ke dalam tubuhnya.

Kali ini, Julian mencium dengan begitu kuat sehingga bibir Febi terasa sedikit sakit. Namun, dia merasa sangat bahagia ... sangat bahagia ....

Febi tidak melakukan perlawanan sama sekali, melainkan dia mencengkram leher Julian, berjinjit dan menanggapi ciumannya dengan antusias.

Tindakan Febi membuat Julian semakin tergesa-gesa. Surat cerai di tangannya terlempar ke lantai. Julian membungkuk, dia menekan Febi duduk ke sofa.

Febi bersandar di sofa dan duduk. Pipinya memerah oleh ciumannya. Karena Julian merasa bahagia, Febi juga senang. Senyum di mata Febi membuat Julian luluh.

Tubuhnya yang tinggi dan lurus menyelimutinya menekan di atas Febi. Matanya terlihat gelap dan ada perasaan kuat yang tidak dapat menghilang, "Kapan kamu bercerai?"

Suara Julian pelan dan lembut.

Seperti bulu yang perlahan menggeletik hati Febi, membuat hati dan tubuhnya menjadi lemas.

"Dua hari sebelumnya." Suara Febi juga sangat lembut.

"Kamu sengaja tidak memberitahuku?"

Febi tidak akan tahu penyiksaan macam apa yang Julian rasakan dari identitasnya sebagai "Nyonya Muda Dinata".

Meskipun dia tidak peduli, dia berharap Febi tidak ada kekhawatiran.

"Yah ..." Febi mengangguk dengan senyum nakal di matanya. Febi meniru penampilan Julian dengan menjentikkan jarinya di dahi Julian, "Kamu yang membuatku marah dulu."

Julian meraih tangan Febi yang nakal dan menggigit bibirnya, tapi Julian tidak mengerahkan kekuatan apa pun, karena takut gigitan itu akan menyakiti Febi.

"Siapa yang membuat siapa yang marah duluan? Hah? Siapa yang bersikeras untuk kembali ke Kediaman Keluarga Dinata?" Julian teringat dengan masa lalu, teringat dengan keraguan Febi hingga memilih untuk mundur, Julian masih sedikit tertekan karena hal ini.

"Aku tidak sengaja." Meskipun Julian mengeluhkan masalah lama, Febi masih merasa sangat bahagia.

Tangan Febi berada di telapak tangan Julian dan terasa hangat. Jari-jari Febi yang ramping menggaruk telapak tangannya sejenak dan berkata dengan sedikit sedih, "Aku terlalu bodoh dan tertipu, itu sebabnya aku tiba-tiba mengucapkan kata-kata itu padamu."

"Apa yang telah terjadi?"

Julian tidak bisa mengerti kata-katanya. Tertipu?

Febi mengangguk, "Hari itu, ketika aku dan Nando pergi ke Pengadilan Agama, dia menyesalinya. Lalu ... setelah dia mengatakan sesuatu, aku hanya bisa mengikutinya kembali ke Kediaman Keluarga Dinata."

"Apa?"

"Dia menunjukkan sesuatu kepadaku, itu adalah data tidak bersih hotelmu."

Julian mengerutkan kening, kemudian dia tiba-tiba mengerti, "Dia mengancammu dengan hal semacam ini?"

"..." Febi terus mengangguk.

Julian menggelengkan kepalanya dengan tidak berdaya, "Kamu tidak bodoh, kenapa kamu tidak berpikir dia tidak akan bisa mendapatkan data ini?"

"Aku melihat polisi datang, jadi aku merasa sedikit bingung. Aku takut terjadi sesuatu padamu."

Mendengarkan penjelasannya, Julian hanya merasakan arus hangat yang menjalar ke hatinya.

Jadi, selama ini mereka saling menyiksa hanya karena mereka tidak menanyakan apa yang terjadi pada satu sama lain ....

"Dasar bodoh! Kelemahanku tidak begitu mudah diketahui. Kelak, tanyakan padaku tentang hal semacam ini dulu, mengerti?"

"Aku mengerti. Lain kali, aku tidak akan mudah tertipu lagi." Seolah-olah Febi telah benar-benar mengambil keputusan, dia menambahkan, "Aku berjanji."

Julian mengangguk puas dan menatapnya. Saat ini, Febi terlihat sangat imut dan sangat menawan.

Saat ini ....

Julian tidak hanya ingin menciumnya, tapi dia juga menginginkannya ....

Sangat-sangat menginginkannya ....

Melihat melalui nafsu yang membara di mata Julian, Febi merasa tenggorokannya menjadi kering. Mengetahui apa yang dia pikirkan, hatinya menjadi gelisah, tapi dia tidak mundur.

Julian mengangkat wajah Febi, lalu dia membungkuk untuk menciumnya.

Pada saat ini, ponselnya tiba-tiba berdering. Dia mengerutkan kening, menatap Febi dengan kesal. Febi tertawa dan mendorongnya, "Pergi dan jawab teleponnya. Mungkin ada masalah di lokasi konstruksi."

Terlihat sedikit perasaan berbahagia atas penderitaan Julian di dalam senyum Febi. Julian menggigit wajah Febi dengan sedikit tak berdaya, "Beri kamu kesempatan untuk beristirahat. Saat malam, tunggu aku di kamar. Hmm?"

Pipinya dan pangkal telinganya terasa panas.

Kata-kata ini adalah undangan. Bulu mata Febi bergetar, lalu dia mengangguk dan menjawab dengan lembut, "... Oke."

Penampilan Febi yang lembut dan pemalu membuat Julian hampir tak bisa mengendalikan dirinya. Febi pasti tidak pernah tahu betapa menariknya dia saat ini.

Namun, nada dering itu terus mengganggunya, sehingga dia mau tak mau mengeluarkan ponselnya.

Benar saja, itu adalah panggilan dari Ryan.

Julian mengerutkan kening.

Ryan adalah orang yang cerdas, jika tidak ada masalah yang sangat penting, saat-saat seperti ini dia tidak mungkin untuk menelepon.

Julian menempatkan ponsel ke telinganya. Dia masih mempertahankan postur awalnya sambil memeluk Febi.

"Ada masalah penting?"

"Ya." Ryan berkata di sana, suaranya sengaja diturunkan dan dia tampak sangat berhati-hati, "Ini tentang dewan direksi Perusahaan Dinata."

Julian menundukkan kepalanya menatap mata Febi. Dia membelai pipinya, kemudian melepaskannya dengan wajah datar. Julian berdiri tegak dan berkata, "Yah, katakan."

"Kegagalan investasi Nando baru-baru ini telah dibocorkan pada pertemuan sesuai dengan instruksi Anda, jadi dewan direksi menolaknya."

"Ya." Julian masih menjawab dengan singkat.

Febi bersandar di sofa sambil menatap punggung Julian. Dia tidak bisa mendengar apa yang Julian bicarakan, tapi dia bisa melihat pentingnya masalah ini dari ekspresinya. Febi tidak memikirkannya sama sekali, dia hanya duduk di sana sambil menatap Julian dengan linglung.

Pria ini ....

Sangat hebat dan berkedudukan tinggi.

Dia bahkan akan muncul dalam hidup Febi dan terikat satu sama lain dengan erat ....

Menakjubkan sekali!