"Julian, aku merasa tidak nyaman." Febi meringkuk, "Hatiku tidak nyaman ...."
"Aku tahu, aku tahu itu. Patuhlah, aku sedang menyelesaikan masalah ini." Julian sedikit tidak bisa tenang, dia menoleh ke Pak Kenedy dan berkata, "Tanyakan pada mereka, bagaimana situasinya sekarang? Di mana mereka?"
Pak Kenedy berkeringat dingin. Mereka baru saja pergi mencari solar.
Namun, Pak Kenedy tidak berani mengatakannya, jadi dia dengan cepat mengeluarkan ponselnya dan berkata, "Aku akan segera menelepon."
"Kamu tidak tahu, kamu tidak tahu apa-apa ...." Suara Febi datang dari sana, suaranya menjadi semakin pecah karena embusan angin.
"Kalau aku tidak tahu, beri tahu aku agar aku jelas!" jawab Julian. Kemudian, Julian mendongakkan kepala sambil mengerutkan keningnya, "Dingin tidak? Di atas berangin."
"Tidak begitu." Sekarang, Febi sangat ketakutan hingga dia sudah tidak memikirkan tentang suhu lagi. Dia menjilat bibirnya yang kering dan pucat, lalu menatap gedung di depannya sambil berlinang air mata. Tiba-tiba, dia berkata, "Sebenarnya, aku berbohong ...."
"Hah?" Kata-kata yang tiba-tiba itu membuat Julian bingung.
"Aku dan Nando. Sebenarnya, hubungan kami tidak seperti yang kamu pikirkan ...."
Hati Julian bergejolak dan dia segera bertanya, "Apa maksudnya tidak seperti yang aku pikirkan?"
Bahkan jika ada staf dan pekerja yang berdiri di sampingnya, Julian juga tidak peduli. Dia menggoda Febi, membiarkan dia terus berbicara.
"Hubungan kami tidak ...." Sedekat yang kamu pikirkan.
Sebelum kata "sedekat" terucap, tiba-tiba suara di walkie-talkie menghilang.
"Jadi apa?" tanya Julian, tapi hanya keheningan yang menjawabnya.
"Febi? Febi!" panggil Julian dengan ragu, tapi dia tidak mendengar suara lagi.
Matanya tiba-tiba menjadi gelap, menyebabkan semua orang di samping menahan napas.
Pak Kenedy segera melangkah maju dengan gemetar dan berkata, "Pak Julian, sepertinya walkie-talkie yang dipegang Febi habis baterai."
Julian sudah hampir gila.
Alisnya berkedut erat, dia melemparkan walkie-talkie ke tangan Pak Kenedy sambil menggertakkan giginya dan bertanya, "Sudah sampai di mana mereka? Masih butuh berapa lama?"
Sebenarnya, Julian benar-benar peduli dengan ucapan Febi yang terputus itu. Akan tetapi, saat ini dia tidak punya waktu untuk berpikir terlalu banyak.
Hal yang Julian pikirkan hanyalah Febi yang ketakutan dan gelisah.
Febi tidak bisa mendengar suara Julian di walkie-talkie, Julian tidak bisa membayangkan betapa takutnya Febi jika dia masih tetap berada di atas.
Julian benar-benar hampir gila!
"Sudah tiba, sudah tiba! Pak Julian, mereka sudah sampai!" seru Pak Kenedy dengan penuh semangat.
Julian menoleh ke samping, dia melihat Ryan memimpin orang yang baru saja pergi membeli solar. Ryan menghela napas lega, "Syukurlah! Kebetulan pemilik pom bensin terdekat ada stok solar."
Ryan membayar 10 kali lipat untuk mendapatkan solar ini.
"Apa yang masih kamu lakukan? Cepat dan nyalakan listrik!" perintah Julian. Pak Kenedy secara alami tidak berani mengabaikan perintahnya sama sekali dan buru-buru pergi.
Mereka juga membutuhkan waktu untuk menyalakan listrik. Tangan Julian mengepal erat di sakunya. Terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabarannya.
Ryan berkata, "Jangan khawatir, Nona Febi akan segera turun. Selain itu, lift ini sangat aman."
"... Hmm, aku tahu," jawab Julian dengan singkat.
Namun, tidak peduli seberapa jelas Julian mengetahuinya, kekhawatiran di hatinya tidak berkurang sedikit pun.
"Oke, oke, listrik sudah menyala! listrik sudah menyala!" Setelah teriakan keras, suara berbagai mesin di lokasi konstruksi mulai bergemuruh.
Julian mendongak dan melihat lift juga bergoyang.
Alis Julian mengencang. Sampai perangkat itu diturunkan dengan perlahan, ekspresinya baru sedikit membaik.
"Oke, Pak Julian. Nona Febi akan segera turun!" Ryan juga menghela napas lega. Semua orang yang berada di samping akhirnya bisa tenang.
Julian berjalan menuju lift.
Lift semakin dekat dengan tanah. Saat terpaut beberapa meter, Julian bisa dengan jelas melihat tubuh kecil yang meringkuk di dalam lift.
Hati Julian seakan dipelintir hingga terasa sakit.
Terlihat jelas Febi ketakutan.
"Febi!" panggil Julian dengan sedih.
Setelah kembali mendengar suara Julian, Febi langsung berdiri dan berpegangan pada pagar dengan erat. Dia melihat sosok yang familier berdiri di sana untuk menyambutnya. Saat ini, semua kepanikan di hati Febi akhirnya lenyap.
Hanya Febi sendiri yang tahu betapa putus asanya dia ketika dia tidak bisa mendengar suara Julian!
"Jangan takut, sudah sampai." Julian berdiri di bawah lift dan merentangkan tangan pada Febi. Sebelum lift berhenti, Febi sudah melompat turun.
Julian memeluknya erat-erat sambil menghela napas lega. Tubuh Febi yang gemetaran itu membuat Julian merasa kasihan hingga jantungnya berdetak kencang.
Kaki Febi masih tidak bertenaga. Dia merasakan kehangatan dan rasa aman dalam pelukan Julian, air matanya pun mengalir semakin deras.
"Sudah, sudah, sudah tidak apa-apa ...." Julian meyakinkan Febi dengan suara serak. Dia menekan wajah Febi yang berlinang air mata ke lehernya dengan perasaaan tertekan dan tak berdaya, "Sayang, jangan menangis lagi. Patuhlah ... kamu sudah aman ...."
Semakin Julian menghiburnya, Febi malah menangis semakin keras. Febi menangis hingga matanya memerah seperti mata kelinci.
Namun ....
Julian tidak hanya tidak merasa kesal, dia malah merasakan kepuasan yang tak terlukiskan.
Febi yang bergantung padanya dan membutuhkannya telah kembali. Dia mulai bersembunyi dan menangis di pelukan Julian lagi.
...
Di ruang tunggu.
Febi duduk di sofa sambil memegang secangkir air panas, akhirnya ekspresi Febi sudah membaik, tapi matanya masih basah dan merah.
Febi benar-benar memalukan!
Di depan begitu banyak orang, dia memeluk Julian dan menangis tanpa memedulikan penampilannya sedikit pun.
Namun ....
Hanya Febi yang tahu bahwa air mata itu bukan hanya karena ketakutan. Akan tetapi, juga ....
Pada saat yang sama, Febi melampiaskan rasa sakit dan keluhan yang terpendam di dalam hatinya.
Namun ....
Apakah Julian akan mengerti?
"Sudahlah, keluar dan selesaikan urusan kalian. Nona Febi sudah tidak apa-apa," pesan Ryan pada semua orang di ruang tunggu, lalu dia yang memahami situasi juga pergi.
Febi duduk di sana. Samar-samar dia bisa mendengar orang-orang bergosip.
"Ternyata Febi adalah pacar Pak Julian."
"Aku masih bilang aku ingin mengejarnya!"
"Oke, sekarang kita sudah tidak punya kesempatan lagi."
...
Sekarang, semua orang tampaknya sudah yakin dengan hubungan Febi dan Julian.
Saat Febi sedang memikirkannya, beban berat tiba-tiba mendarat di pundaknya. Sesuatu yang hangat yang memiliki aroma khas Julian seketika menyelimuti tubuh Febi. Saat Febi mendongakkan kepalanya, dia tiba-tiba bertemu dengan tatapan Julian yang dalam. Terlihat emosi yang dalam bergejolak di dalam mata Julian.
Jantung Febi berdetak dengan kencang.
Memikirkan suara lembut Julian di walkie-talkie barusan, Febi sangat merindukannya ....
Febi sangat serakah.
Serakah hingga berharap kelembutan itu akan terus berlanjut selamanya ....
"Aku tidak membutuhkannya, sebaiknya kamu pakai sendiri." Febi ingin mengembalikan pakaian Julian.
"Pakailah, kamu masih masuk angin." Julian mengulurkan tangannya untuk menekan gerakan Febi, tidak memberikan Febi ruang untuk membantah kata-katanya.
Telapak tangan besar diletakkan di punggung tangan Febi.
Dia merasakan dingin yang menusuk hati.
Julian mengerutkan kening. Telapak tangan yang besar itu tidak melepaskan Febi, tapi malah mengencang dan meletakkan tangan Febi di dalam telapak tangannya.
Merasakan kasih sayang dan kehangatan Julian, jari-jari Febi sedikit gemetar, seolah-olah ada arus listrik yang melewatinya hingga tangannya mati rasa.
Setelah beberapa saat, dia berkata dengan lembut, "Kamu juga masuk angin. Kamu akan membeku kalau hanya mengenakan selapis pakaian."
"Aku laki-laki, tidak rentan sepertimu." Julian duduk di sebelahnya. Jarak keduanya begitu dekat sehingga air mata Febi hampir jatuh lagi.
"Ketakutan?" tanya Julian tiba-tiba dengan suara rendah.
Setelah tertegun, Febi mengangguk dengan tenang dan berdeham pelan.
Julian menghela napas, lalu mengulurkan tangannya dan menarik Febi ke dalam pelukannya. Febi membeku sejenak. Saat berikutnya, lengan Febi melingkari leher Julian dengan tak terkendali.
Jelas bahwa tubuh Julian sedikit menegang. Kemudian, lengan Julian yang panjang menggendong Febi langsung ke pangkuannya.
Sebelum Febi bisa kembali ke akal sehatnya, ciuman Julian sudah mendarat di bibirnya.
Bibir Julian yang terasa sedikit sejuk itu mencium bibir Febi dengan penuh semangat.
Febi mendengus. Febi sudah tidak bisa berpikir jernih, jadi dia hanya bisa mengikuti kata hatinya. Febi mengangkat kepalanya, bibir merahnya sedikit terbuka dan merespon ciuman Julian dengan antusias tanpa memikirkan apa pun.
Air mata panas kegembiraan membasahi bulu matanya.
Hal inilah yang Febi pikirkan ketika dia meringkuk sendirian di dalam lift kecil ....
Febi merindukan pelukan Julian, merindukan ciumannya ... merindukan segala sesuatu tentangnya ....
"Kelak, jangan memanjat terlalu tinggi!" Setelah berciuman, Julian memperingatkan Febi dengan nada rendah. Bukan hanya Febi yang ketakutan, tapi Julian juga ....
"Aku adalah pengawas, jadi aku mau tidak mau harus naik ke atas ..." jelas Febi.
"Kelak, aku akan meminta lelaki dari timmu yang datang. ini bukanlah pekerjaan yang harus kamu lakukan! Mengerti?"
"... Hmm, oke." Febi mengangguk dengan patuh, bulu matanya bergetar sejenak dan air matanya terjatuh.
Febi menatap Julian dengan mata sedih. Dia memiliki begitu banyak hal untuk sampaikan pada Julian. Namun, ada sesuatu yang menyumbat dadanya hingga dia tidak bisa mengatakan apa-apa.
Sekarang, dia hanya ingin memeluk Julian seperti ini.
Memeluk Julian seperti ini, bahkan Febi tidak mengatakan apa-apa atau tidak melakukan apa-apa sekali pun, hatinya sudah sangat puas ....
Bagaimana ini?
Dia benar-benar enggan untuk melepaskan Julian ....
Julian merasakan tatapan Febi. Dia juga menatap Febi dengan mata berbinar-binar, "Apakah kamu ingin memberitahuku sesuatu?"
"... Ya." Febi mengangguk, suaranya terdengar serak.
Namun, saat ini, Febi terus berpikir keras, tidak tahu harus memulai dari mana.
Julian juga tidak terburu-buru. Dia puas dengan perasaan yang memeluknya seperti ini sekarang, dia bahkan lebih puas dengan ketergantungan Febi padanya.
Tadi malam, mereka tidur saling berpelukan. Meskipun Julian berulang kali menginginkan Febi, dia merasa kepuasan itu tidak sebaik saat ini. Karena pada saat itu, mereka masih belum berbaikan.
"Haruskah aku mengantarmu kembali ke hotel dulu?" tanya Julian. Dalam situasi seperti ini, jangankan Febi, bahkan Julian pun tidak bisa bekerja sama sekali.
"Oke." Febi masih bersikap patuh.
Setelah menatap Julian, dia memutuskan untuk bangun dan melepaskan diri dari pelukannya. Pelukan yang menjadi kosong membuat Julian sedikit mengencangkan tangan Febi.
Febi menoleh karena terkejut. Dia menyadari gairah di dalam mata Julian, seketika dia tersentak dan hampir tidak bisa menahan diri untuk melemparkan dirinya kembali ke pelukan Julian.
Sebelum mereka bertemu satu sama lain, mereka tidak pernah berpikir bahwa suatu hari, mereka akan begitu merindukan seseorang ....
Setiap pelukan menjadi sangat berharga bagi mereka.
...
Setelah kembali ke hotel.
Febi berjalan menuju kamarnya, sementara Julian mengikuti dalam diam di sampingnya.
Febi mengambil kartu kamar, membuka pintu dan melangkah masuk ke kamar.
Febi bisa merasakan langkah kaki Julian yang berhenti di depan pintu.
"Kamu ... mau kembali ke lokasi konstruksi?" tanya Febi sambil berbalik. Dia tidak tahu nada suaranya yang diperlambat sudah dengan jelas menyatakan kerinduan dan keengganannya.
"Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dikatakan kepadaku?" Bagaimana mungkin Julian ingin pergi? Dia hanya ingin Febi yang memintanya tetap tinggal!
Hanya dengan melihat Febi saja sudah membuat Julian merasa seakan ada ribuan semut yang menggerogotinya, hatinya merasa sedikit gatal dan sedikit sakit.
Namun, perasaan ini justru membuat Julian senang.
"Yah ... tidak terburu-buru. Kalau kamu sibuk, aku bisa menunggumu selesai bekerja ...."
"Tidak terburu-buru?"
Julian mengangkat alis.
Febi menggigit bibirnya dengan ringan, "Yah, pekerjaanmu lebih penting. Aku sudah menunda pekerjaan hari ini."
Julian menatap Febi dengan satu tangan di sakunya. Akhirnya, dia mengangguk, "Oke, kalau begitu aku akan kembali ke lokasi konstruksi."
"..." Jelas-jelas Febi merasakan hatinya perlahan tertekan.
Dia merasa sedikit enggan dan tidak rela.
Namun, Febi masih tersenyum tipis, "Baiklah, kalau begitu ... selamat tinggal."
"Selamat tinggal," jawab Julian dengan singkat, dia benar-benar tidak masuk ke dalam kamar.
Febi meraih pegangan pintu, tapi dia berhenti sejenak. Akhirnya, Febi menatap Julian dalam-dalam, kemudian menutup pintu.
Saat Febi menutup pintu, mata Julian menjadi gelap.
Febi menggigit bibir bawahnya sambil bersandar di pintu. Hanya dalam sepuluh detik, dia sudah mulai menyesali keputusannya.
Jika Febi berkata ingin berbicara banyak dengan Julian, apakah dia benar-benar bersedia untuk tinggal sementara dan mendengarkan kata-kata Febi?
Febi benar-benar ingin memberitahu Julian bahwa hubungan antara dia dan Nando tidak seperti yang Julian pikirkan. Mereka juga tidak pernah berhubungan. Selain itu, mereka sudah bercerai! Febi sudah terbebas!
Dia juga ingin bertanya pada Julian ....
Apa yang terjadi antara Julian dan Valentia? Apakah mereka ... sudah melakukan hal yang seharusnya dan tidak seharusnya mereka lakukan?
...
Febi berbalik, lalu mencondongkan tubuhnya untuk mengintip.
Namun ....
Pada saat ini, bagaimana mungkin masih ada jejak Julian?
Julian benar-benar pergi dengan tegas.
Sepertinya, hanya Febi yang merasa enggan dan rindu padanya ....
Tiba-tiba Febi merasa takut akan kehilangan. Perasaan ini begitu buruk hingga dadanya menjadi sesak.
Dia membuka pintu dengan frustasi dan bersandar di pintu dengan lelah. Setelah melihat seluruh koridor yang kosong, Febi menghela napas. Kemudian, dia berbalik dan berencana untuk kembali.
"Mencariku?"
Tiba-tiba, sebuah suara yang familier terdengar di belakangnya.
Febi berhenti.
Kemudian, dia menoleh dengan takjub.
Julian berdiri dari sudut ruangan di samping. Dia bersandar ke dinding dengan tubuhnya yang tinggi dan menatap Febi sambil tersenyum tipis.
Febi merasa sangat bahagia. Sudut bibirnya tersungging, bahkan matanya pun berbinar-binar.
"Kamu tidak pergi?"
"Aku menunggu kamu memintaku tetap tinggal," kata Julian dengan tenang.
Mata Febi yang jernih ditutupi dengan lapisan kabut. "Kalau ... kalau aku memintamu tinggal sekarang, apakah sudah terlambat?"
Mata Julian berkedip sejenak, lalu dia berjalan keluar dari sudut. Sinar matahari yang masuk dari jendela balkon menyebar di tubuhnya, membuatnya tampak berkilau dengan cahaya keemasan.
Mata Julian yang berbinar itu tampak seperti kobaran api, "Sekarang, kamu tidak perlu memintaku untuk tinggal ...."
Suara Julian seperti anggur yang memiliki aroma memabukkan, yang dalam sekejap membuat orang terperangkap.
Julian berjalan lebih dekat, dia tiba-tiba menekan Febi ke pintu. Dia menatap Febi dengan mata gelap dan meletakkan tangannya di samping Febi, "Aku ingin mendengarmu menyelesaikan kata-katamu. Katakan padaku, apa maksud hubungan kalian tidak seperti yang aku pikirkan? Kebohongan macam apa yang kamu katakan?"
Bahkan jika Febi tidak terburu-buru, Julian juga terburu-buru.
Julian begitu dekat dengan Febi sehingga setiap inci napasnya seolah berada di ujung hatinya. Febi merasa hatinya tergelitik dan mati rasa.
Jari-jari Febi meringkuk dan bulu matanya sedikit bergetar. Dia menatap Julian, "Aku dan dia ... tidak terjadi apa-apa."
Julian mengangkat alisnya.
Bibir Julian tersungging, tapi ....
Dia masih mengonfirmasi dan bertanya, "Apa maksud tidak terjadi apa-apa?"
"Kami, tidak pernah berhubungan ...."
Cahaya keemasan yang menyilaukan melintas di mata Julian, sudah ada tanda senyum di bagian bawah matanya.
"Betulkah?"
Meskipun Julian menanyakan pertanyaan ini, dia sudah memiliki jawaban yang pasti di dalam hatinya. Karena jawaban itu pula yang membuatnya merasa bahagia.