Julian sudah memiliki ide di benaknya, dia meletakkan ponsel dan menarik kembali pandangannya.
Di sisi lain, Valentia juga memalingkan muka dari punggung yang berangsur-angsur menjauh. Dia sudah mengerti, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menggandeng Nyonya Besar dan bertanya sambil tersenyum, "Setelah berjalan-jalan, sekarang dada Nenek sudah merasa lebih baik, 'kan?"
"Ini semua berkatmu." Nyonya Besar menepuk punggung tangan Valentia dengan senang, "Kalau bukan karenamu, aku benar-benar khawatir aku tidak akan bisa bertahan tadi malam. Mereka hanya akan membuatku marah!"
Ketika Nyonya Besar mengucapkan kalimat terakhir, matanya tertuju pada Julian.
Valentia tersenyum sedikit, "Hanya Vonny yang membuatmu marah. Julian sangat berbakti. Ketika mendengar Nenek tidak enak badan tadi malam, dia segera kembali."
Menyebutkan hal ini, Nyonya Besar merasa agak lega. Sambil menjabat tangan Julian, dia menatap Valentia dan berkata dengan bercanda, "Dengar, Valentia selalu melindungimu."
Julian melirik Valentia dengan tenang. Mendengarkan ejekan Nyonya Besar, Valentia tidak merasa malu, tapi malah menatap Julian dengan tenang dan tersenyum padanya.
Ada kepercayaan diri di dalam senyuman itu.
"Ngomong-ngomong, apakah kalian semua membaca koran pagi ini?" tanya Nyonya Besar tiba-tiba.
"Yah, pagi-pagi sekali ibuku sudah menunjukkannya padaku," jawab Valentia terlebih dulu.
Julian tidak berbicara, tapi Nyonya Besar tahu bahwa dia memiliki kebiasaan membaca koran. Dia hanya bertanya, "Julian, bagaimana menurutmu?"
"Gosip dan skandal semacam ini sudah lumrah. Nenek juga paham kemampuan media untuk meluncurkan berita palsu." Tidak ada pemikiran apa pun di dalam kata-kata Julian.
Setelah jeda, dia menatap Valentia lagi, "Jangan khawatir tentang itu. Kalau kamu merasa hal ini mengganggu, aku bisa mencari cara untuk menyelesaikannya."
Valentia tersenyum.
Julian masih sama dengan Julian di masa lalu.
Ucapan ini terdengar sopan, tapi siapa pun dapat memahaminya, jika ucapan itu jelas merupakan penolakan.
Nyonya Besar melirik cucunya, "Meskipun sedikit palsu, aku merasa berita kali ini cukup menarik. Valentia, bagaimana menurutmu?"
Valentia tersenyum tipis, "Bagus kalau nenek menyukainya, aku juga tidak merasa terganggu."
Nyonya Besar tertawa bahagia, lalu dia menepuk tangan Julian, "Dengar, setiap kata yang dikatakan Valentia benar-benar memenangkan hatiku."
Julian melirik Valentia. Valentia mengangkat alis tipisnya yang indah dengan nakal dan provokatif. Dia sama sekali tidak menyembunyikan suasana hatinya untuk menyenangkan Nyonya Besar.
"Nenek, akhir-akhir ini cuaca sudah semakin dingin, Nenek kembalilah ke kantor dulu. Aku ingin berbicara dengannya," kata Julian kepada Nyonya Besar.
Begitu Nyonya Besar mendengar bahwa mereka ingin berbicara, senyumnya semakin jelas, "Berbicarahlah dengan baik. Nenek tidak akan mengganggu kalian lagi."
...
Ketika Nyonya Besar pergi, hanya Julian dan Valentia yang tersisa di lantai bawah.
"Apa yang ingin kamu bicarakan denganku?" Senyum Valentia masih belum hilang. Dia dengan santai menyibakkan rambut dari bahunya, bulu matanya yang berkedip terlihat sangat indah.
Julian menatap wanita di depannya. Mereka pernah bersama selama dua tahun. Saat muda, Julian pernah tersentuh olehnya.
Namun, sekarang....
Dia tidak memiliki perasaan suka seperti itu lagi.
"Kapan kamu akan pergi?" tanya Julian dengan datar sambil meletakkan satu tangan di sakunya.
"Aku baru saja kembali, kamu sudah mendesakku untuk pergi. Apakah aku sangat menyebalkan?" Senyum Valentia tidak berkurang, "Kali ini, aku tidak punya niat untuk pergi."
Julian tidak menjawab. Dia hanya menatap Valentia dari atas ke bawah. Valentia berkata tanpa malu-malu, "Meskipun aku bukan kembali karenamu, kali ini aku ingin tinggal karenamu."
"Kamu adalah orang yang cerdas, kamu tahu betul tidak ada kemungkinan di antara kita." Julian menolaknya dengan tenang dan acuh tak acuh.
Valentia juga tidak terlihat terluka. "Kamu masih sama seperti sebelumnya. Kamu terbiasa menolak begitu kamu melihat ada tanda-tanda. Ketika aku mengejarmu beberapa tahun yang lalu, kamu menjawabku seperti ini. Kenyataan membuktikan, di antara kita bukan tidak mungkin."
Hal-hal sat muda masih samar-samar diingat Julian sekarang. Hanya saja, ingatan itu sudah tidak begitu jelas.
"Selain itu, seperti yang baru saja kamu katakan...." Valentia berhenti sejenak, lalu berkata, "Kamu sangat pintar, seharusnya kamu tahu kamu dan Nona Febi tidak akan mungkin bersama."
Mata Julian sedikit gelap, "Kamu kenal dia?"
"Aku melihatnya sekali kemarin. Aku tidak menyangka kamu jatuh cinta dengan wanita yang sudah menikah." Berbicara tentang ini, ekspresi Valentia tidak sedih. Akan tetapi, dia tiba-tiba mengambil langkah lebih dekat dan menempelkan wajahnya ke dada Julian.
Julian mengerutkan kening sambil memperhatikan gerakan Valentia dengan dingin. Apa yang dia lakukan?
Valentia mendengarkan detak jantung Julian sebentar, lalu mengangkat kepalanya, mundur dan tersenyum, "Hatimu memberitahuku bahwa kamu hanya sementara tergila-gila padanya. Julian, aku akan membuatmu melupakannya."
Tatapan Julian tidak peduli seperti salju dan bibirnya yang tipis sedikit terangkat, "Percaya diri adalah hal yang baik, tapi terlalu percaya diri hanya akan membuatmu terjatuh."
Setelah berbicara, Julian berhenti menatap Valentia. Dia berbalik dengan dingin dan berjalan pergi.
Valentia menatap punggung Julian dengan linglung. Saat ini, senyum di bibirnya pun membeku.
...
Di atas.
Dari sebuah jendela, Febi tanpa sadar melirik ke bawah.
Febi mengira mereka masih bertiga, tapi dia malah hanya melihat pria dan wanita berjalan berdampingan. Hati Febi terasa sakit, dia langsung ingin membuang muka, tapi ada beberapa hal yang berada di luar kendalinya.
Mata Febi terus tertuju pada mereka.
Dari jarak jauh, Febi tidak bisa benar-benar melihat ekspresi mereka, tapi dia tidak bisa menahan diri untuk menebak apa yang mereka bicarakan saat ini? Atau apakah mereka membicarakan tentang pertunangan?
Berkas di tangannya tiba-tiba digenggam hingga berkerut. Sakit kepala setelah pilek kembali muncul, hingga membuat Febi merasa tidak nyaman.
"Apa yang kamu lihat?" Tiba-tiba, ada seorang rekan yang datang. Meliht Febi termenung, dia juga mengikuti garis pandangnya.
"Tidak apa-apa, aku akan pergi bekerja dulu." Febi segera kembali ke meja kerjanya.
Proyek yang baru dikembangkan telah ditetapkan. Sekarang, tim dekorasi telah mulai bekerja dan orang-orang mereka harus pergi ke tempat konstruksi untuk mengawasi pekerjaan kapan saja. Pekerjaan selanjutnya akan menjadi semakin sibuk.
Febi berulang kali mengatakan pada dirinya sendiri berapa banyak pekerjaan yang dia dan seluruh tim miliki sekarang.
Febi tidak bisa berpikir aneh-aneh lagi! Tidak ada waktu untuk memikirkannya! Karena itu, bahkan jika Julian bukan bertunangan tapi akan menikah sekarang, Febi juga tidak punya waktu untuk mengasihani dirinya sendiri!
Setelah menghibur diri sendiri, Febi dengan enggan duduk kembali ke mejanya. Akan tetapi pada saat berikutnya, semua penyamaran itu terbongkar oleh sepatah kata dari rekan yang berada di jendela.
"Ternyata Pak Julian dan Nona Valentia sedang pacaran. Ah! Febi, cepat kemari! Mereka sepertinya berpelukan!"
Kalimat ini tidak begitu nyaring. Semua orang yang berada di dekat jendela mendengarnya. Mereka semua mendekat dan melihat ke bawah. Febi hanya mendengar kata "wah" yang serempak.
Napas Febi terhenti sejenak. Dia duduk kaku di bilik dan menutup matanya.
Tasya melirik Febi. Seolah-olah dia tidak percaya, jadi dia ikut melihatnya. Setelah melihat, Tasya berbalik dan tetap diam.
Seketika, Febi sudah mengerti.
Orang lain akan berbohong padanya, tapi Tasya tidak akan pernah.
Febi juga ingin melihat bagaimana dia dan Valentia berpelukan. Setidaknya, untuk membuatnya menyerah, tapi....
Dia tidak berani.
"Mereka berdua benar-benar serasi! Terutama karena latar belakang mereka, mereka benar-benar serasi!"
"Tidak tahu kapan pertunangan akan berlangsung. Itu pasti akan menjadi perjamuan besar. Aduh, tidak tahu apakah kita memiliki kesempatan untuk diundang menonton pertunangan mereka."
"Aku pikir Pak Julian benar-benar akan bersama Febi! Aku tidak menyangka akan muncul wanita yang lain."
"Kasihan sekali."
Febi sangat pusing. Mata Febi tertuju pada dokumen itu, tapi dia merasa pandangannya kabur. Setelah beberapa saat, dia menggosok alisnya, lalu menghela napas lega dan berbicara kepada orang-orang di jendela, "Ayo semua bekerja. Cobalah untuk menyelesaikan pekerjaan yang ada sesegera mungkin, jadi kita tidak perlu bekerja lembur."
Nada suaranya terdengar tenang dan sikapnya datar, menyebabkan semua orang saling memandang dengan cemas.
Pak Julian akan menikah dan Febi masih bisa begitu tenang. Mungkinkah mereka berdua hanya bermain permainan selingkuh, sekarang mereka kembali ke posisi masing-masing dengan tenang?
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Tasya dengan pelan sambil membungkuk.
Febi berusaha keras untuk tersenyum, "Tidak apa-apa, semua sudah berlalu."
Benar!
Semua sudah berlalu....
Tidak peduli sebelumnya apa yang terjadi di antara dia dengan Julian. Ketika kehidupan barunya dimulai, hubungan benar-benar sudah berakhir....
Namun, apakah itu benar baik-baik saja?
Kalau baik-baik saka ... mengapa dadanya terasa begitu sakit....
Sakit yang menusuk hati....
...
Ketika Febi akan pulang kerja, dia menerima telepon dari kantor sekretarisnya Agustino.
"Nona Febi, tolong persiapkan dirimu. Kamu akan pergi ke hotel baru untuk perjalanan bisnis di jam 10 besok pagi. Ada beberapa masalah di lokasi konstruksi yang perlu kamu awasi dan beri petunjuk pada mereka."
"Oke, tidak masalah." Febi sebenarnya tidak yakin apakah tubuhnya bisa menanggungnya. Akan tetapi, sekarang dia bisa menemukan sesuatu untuk dilakukan, dia akan rela pergi dari sini.
Setidaknya, itu bisa membuat hati Febi tidak kacau seperti sekarang....
...
Keesokan harinya.
Febi bangun lebih awal dan berkemas.
Setelah berjongkok di lantai untuk waktu yang lama. Ketika dia hendak bangun, Febi merasa pusing dan hampir pingsan.
Tasya sedang berbaring di sofa sambil menggunakan masker. Melihat penampilan Febi yang lemah, dia dengan cepat mengulurkan tangan untuk memapahnya, "Apakah kamu baik-baik saja? Menurutku kamu lebih baik tidak pergi, aku akan menggantikanmu pergi."
"Tidak perlu." Febi menggelengkan kepalanya, dia menolak kebaikan Tasya. "Aku akan pergi untuk bersantai, tidak apa-apa."
"Tapi, bukankah sekarang kamu masih sakit?"
"Ini hanya flu ringan, bukan masalah besar." Febi melirik arlojinya, "Oke, aku pergi dulu, aku sedang terburu-buru."
Febi membawa barang bawaannya dan bergegas keluar. Ketika Febi tiba di bandara, sudah jam 9. Saat dia pergi mengurus boarding pass, dia baru menyadari perusahaan memesankan tiket kelas bisnis untuknya.
Hal ini benar-benar di luar dugaannya. Apakah Hotel Hydra begitu murah hati?
Setelah naik ke pesawat, pramugari menyimpan barang bawaan Febi. Kemudian, Febi mencari tempat duduk untuk duduk dan mengambil minuman yang diberikan.
Pikiran Febi sedikit linglung. Dia bersandar ke jendela, lalu menutup matanya dan tidur.
Tidak tahu berapa lama Febi tertidur. Sampai saat pesawat meluncur dan terbang ke langit, dia baru terbangun. Hujan di luar jendela, bahkan awannya berwarna abu-abu itu membuat seluruh kabin terlihat sedikit redup.
Febi melirik ke luar jendela dan berencana untuk menutup matanya lagi untuk tidur. Namun, tangan besar yang mengenakan jam tangan mewah tiba-tiba terulur, llau mengambil minuman Febi dan menyesapnya.
Febi menatap minuman yang diletakkan kembali, dia mengerutkan alisnya, "Pak, ini milikku...."
Saat melihat ke atas, kata-katanya juga terhenti.
Hal yang menarik perhatian Febi adalah wajah tampan yang sangat familier. Pemuda itu mengenakan kacamata hitam yang menutupi sebagian besar wajahnya, tapi itu tidak bisa menyembunyikan pesona yang dimiliki pemuda ini.
Julian....
Bagaimana dia bisa berada di sini?
"Tidurmu sangat nyenyak." Jari-jari ramping dan indah itu melepaskan kacamata hitam dan meletakkannya di samping.
Melihat wajah itu, hidung Febi menjadi perih.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Febi.
"Perjalanan bisnis, tempat tujuan kita sama."
Jadi....
Apakah mereka melakukan perjalanan bisnis yang sama?
Apakah perusahaan atau dia yang mengatur?
Febi memikirkannya sejenak. Saat berikutnya, dia tersenyum getir. Bagaimana mungkin itu adalah pengaturannya? Julian akan bertunangan, jadi dia tidak perlu mengatur seperti ini.
"Apa kamu membawa obat?" tanya Julian tiba-tiba.
Febi tidak berbicara, dia hanya menggigit bibirnya dan membuang muka.
Febi menolak perhatian Julian. Karena Julian akan bersama wanita lain, mengapa repot-repot peduli dengannya?
Julian meletakkan tangan di antara bibirnya dan terbatuk rendah. Febi tertegun sejenak, lalu dia segera berbalik. Dia baru menyadari wajah Julian juga tidak baik. Sangat jelas, hujan deras hari itu juga membuatnya masuk angin.
"Tunggu sebentar, aku akan memberimu obat." Jelas-jelas Febi bertekad untuk tidak peduli padanya, tapi....
Di hadapan Julian, Febi selalu akan luluh.