Masih berdiri terpaku, Hanako memandang lingkaran ritual itu yang tak lagi ada Abaddon di sana.
Hanako mencoba tersenyum. Tapi, dia merasakan air matanya mengalir.
Menghapus air matanya dengan cepat. Dia menatap kedua telapak tangannya.
Setelah menenangkan dirinya sebentar, dia menyadari ada yang salah dengan hasil dari rencananya. "…Kenapa kekuatannya tak dapat tinggal di tubuhku?" ucapnya menyadari kekuatan Abaddon hanya mengalir masuk dan keluar lagi dari tubuhnya. "Apa yang salah dengan ritualnya?"
"…Hana?" Neneknya masuk ke dalam ruangan itu.
Hanako kini menatap Neneknya yang tampak begitu kaget. Matanya memperhatikan sayap hitam yang kini berada di punggung Hanako.
"Hana?" panggil Nenek lagi. Berharap Hanako membalasnya.
Tapi Hanako hanya tersenyum. Dia menunduk sekilas. "Terimakasih untuk selama ini." Ucapnya mencoba terlihat tegar. Dia sadar dia tidak dapat tinggal bersama mereka lagi. Dan dia tidak memiliki alasan yang cukup masuk akal untuk menjelaskan semua kejadian ini.
Hanako menatap beberapa batu yang berada di sana. Dia perlu memusnahkannya.
Hanako dengan cepat membuat Neneknya berpindah ke luar ruangan dan kembali lagi ke dalam ruangan itu. membakarnya tanpa tersisa. Namun hanya ruangan itu saja yang terbakar dan menghilang menjadi puing-puing. Apinya tidak merembet kemana-mana.
Terjatuh, Nenek menangis tersedu-sedu di depan ruangan yang sudah tidak berwujud lagi itu.
Hanako menatapnya dari atap kuil itu. Tiba-tiba ada burung gagak yang terbang ke arahnya. Secara naluriah, Hanako mengulurkan lengannya, dan gagak itu mendarat pelan di tangannya.
"Kuro?"
Gagak itu seakan menyambutnya.
"Ah, karena kamu familiarku, kamu hidup dan mati bersamaku." Ucap Hanako mencium kepala burung itu dengan lembut. "…Aku sudah kembali menjadi Al-basty." Lirihnya. "Akan ada banyak tugas untuk kita menjadi demon king."
Gagak itu lalu menutup mata dan dalam sekejab dia berubah menjadi seekor anjing berwarna hitam.
"Mungkin ini akan menjadi perjalanan yang sulit, tapi mohon bantuannya, buddy."