*
*
"Apa maksudmu? Itu tidak mungkin-" Abaddon mencoba sekali lagi untuk keluar, tapi kilatan listrik membuatnya tetap berada di sana. Kini dia dapat melihat ada dinding transparan yang mengelilinginya.
"…Kamu pasti berfikir ini tidak mungkin kan? Bagaimana mungkin seorang Demon King dapat diperlakukan seperti ini?" Kini Hanako tersenyum menatap Abaddon. Tapi tangannya masih saja menyusun batu-batu itu. "Tentu saja ini tidak mudah. Aku mengumpulkan banyak sekali tumbal untuk ini. Kamu fikir untuk apa aku bekerja di pengusiran demon?"
Abaddon seperti menyadari sesuatu. "Apa kamu mengumpulkan demon-"
"Benar sekali." Hanako tersenyum lebar. "Kamu akhirnya menyadari sesuatu, Kii…" ucapnya kini menatap Abaddon yang terbelalak memandangnya. "Batu-batu ini akan menjadi media untuk mentransfer kekuatan demonmu kepadaku. Darahku menjadi pengikatnya." Ucapnya memperhatikan simbol ukiran berwarna merah.
"…Hana, kamu…"
"…Aku mengingatmu Kii…" dengan suara santainya, Hanako kini menyelesaikan tumpukan batu transparan berukiran berwarna merah darah dan kini tumpukan batu itu mulai bercahaya saling menyambung di antara mereka. "Kii… apa kamu tahu kenapa aku memanggilmu Kii?"
Abaddon menatap Hanako, otaknya masih mencoba untuk mencerna semua yang terjadi.
"Kiyoshi?" Hanako tersenyum. "Aku tak menyangka kalau setelah aku dilahirkan kembali, aku juga masih mengingatmu."
Abaddon mengernyitkan keningnya. Siapa nama yang Hanako panggil?
"Ah, kamu tidak ingat sama sekali? Tidak apa-apa, Kii… semua akan kembali seperti semula." Hanako menatap Abaddon yang menatapnya dengan pandangan cemas. "Kembali ke tempat semestinya." Kini air mata mulai mengambang di mata Hanako.
Abaddon tidak sempat untuk berfikir atau melakukan sesuatu, karena kini dia menyadari batu-batu di sekitarnya mulai bergerak bergetar dan menghisap kekuatannya.
Abaddon mengerang. Sayap hitamnya muncul dengan cepat. Dia menggedor dinding transparan itu.