Hanako menatap kosong. Tangannya terbuka dengan lemahnya dan bekas air mata masih terlihat jelas di pipinya.
Dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya.
Tidak ada lagi tumpukan batu hitam di depannya. Tapi kabut hitam yang mengelilingi tubuhnya kini, terlihat begitu mirip dengan kabut yang mengelilingi batu-batu itu sebelumnya.
Hanako menjatuhkan diri dan tidur di lantai sekarang. Tidak ada diagram merah dari darahnya di sana. Dia memandang langit-langit kamar itu sambil perlahan mengedipkan matanya.
Dia menghela nafas panjang lagi. Tampak memikirkan sesuatu. Lalu memijat keningnya.
"Aku sudah mengerti semuanya. Tapi bagaimana aku dapat keluar dari sini sekarang?" gumamnya menatap diagram putih yang dia buat di dinding sekeliling ruangan itu. Dia terkekeh. "…Aku tak tahu kalau aku akan mendapat kekuatan yang sebaliknya seperti ini… ah…" dia mengoreksi kalimatnya di dalam hati. Jauh di dalam hatinya, dia sempat mengira hal ini akan terjadi.
Tak lama, Hanako seperti mendengar sesuatu dari luar ruangan. Hanako kini melirik arah pintu tapi dia sama sekali tidak bergerak dari posisinya berbaring.
"Nenek, benar-benar dapat diandalkan." Ucapnya tersenyum beberapa detik sebelum dia melihat diagram putih bercahaya yang mengelilingi ruangan itu sedikit demi sedikit menghilang ke arah pintu.
Tak lama Neneknya membuka pintu kamar itu. Menatap Hanako yang sedang berbaring menatapnya.
"Sudah dua minggu. Aku kini menjemputmu." Ucap Nenek. Memperhatikan Hanako dengan lekat. Wajahnya tampak biasa, tapi dari matanya terlihat kekhawatiran.
Hanako tertawa dan bangun dari tidurnya. "Terima kasih Nek." Ucapnya riang.