*
*
"Lalu jawaban mereka apa?"
"Mereka memarahiku kenapa dapat berfikir seperti itu."
"Hana… mereka adalah kakak-kakakmu. Mereka benar-benar menyayangimu."
"Tapi karena kekuatanku, mereka tidak dapat hidup tenang berada di rumah." Air mata mulai menumpuk di pelupuk mata Hanako. "Dan saat mereka bilang kalau mereka akan sekolah di tempat yang berbeda… harusnya aku yang pergi." Dia terisak. "Hanya karena aku masih terlalu kecil…"
Ayah Hanako menarik Hana, membuatnya bersandar kepadanya. "Itu hanya cara mereka melindungi adik satu-satunya. Kamu harus menerima kasih sayang mereka. Mereka juga memiliki sifat ibumu yang keras kepala." Ayahnya tertawa.
Hanako akhirnya tersenyum.
"Aku dengar kamu tidak lagi masuk sekolah."
Hanako terbatuk-batuk. "Apa Mom tau?"
Ayahnya tertawa. "Tentu tahu." Dia mengelus rambut Hana gemas. "Aku sudah tahu kalau kamu tidak terlalu suka belajar."
Hanako tertawa. "…Dad."
"Ya?"
"…Aku yakin kalian juga tahu kalau aku sedang mencari sesuatu."
Ayahnya hanya diam menatap langit gelap berbintang itu.
"…kalau…" Hanako tercekat. Dia menelan ludah. Mencoba mengganti apa yang dia akan katakan. "…Aku hanya ingin mengatakan aku sayang kalian. Dan aku benar-benar bersyukur memiliki keluarga seperti kalian." Hanako tak lagi dapat membendung air matanya.
Ayahnya masih diam tak memandang Hanako di sampingnya yang bersandar di bahunya. Mereka memandang langit malam itu.
"…Kamu juga harus tahu, kalau kami semua menyayangimu." Ucap Ayahnya begitu pelan.