"Kamu terlambat."
Hanako tetap tenang sambil duduk dengan melipatkan kedua kaki ke belakang sebagai tumpuan badannya.
"Ada klien tadi, nek."
Nenek Hanako menggeram. "Bagaimana mungkin kamu menyebut mereka klien!"
"Karena mereka memang klien." Ucap Hanako dengan yakin, masih bersimpuh menatap Nenek.
Nenek menepuk kepalanya. "Lalu kamu sudah mengobatinya?"
Hanako tidak menjawabnya. Dia hanya tersenyum.
Nenek menatap Hanako sambil memicingkan matanya. "Jangan bilang kalau kamu mengusir mereka lagi!"
"Oh tentu tidak. Mereka yang ingin pergi sendiri." Dia menggelengkan kepalanya. "Lagipula aku memang tidak pernah mengusir klien." Ucapnya yakin sambil menyambung dalam hati mereka yang tidak tahan dengannya dan pergi atas keinginan sendiri.
"Hanako! Aku tahu kalau kamu sudah membuat kuil ini menjadi terkenal, tapi-"
"Nenek tau itu, jadi jangan marahi aku lagi, Nek." Ucap Hanako memotong omelan Nenek sambil tersenyum.
Nenek menghela nafas panjang. "Apa kamu sudah sarapan?"
Hanako menggeleng. "Belum. Aku lapar Nek."
"Makanlah dulu." Suara Nenek kembali lembut.
"Tapi aku belum melakukan ritual pagi." Ucap Hanako basa-basi karena tahu kalau Nenek pasti akan membiarkannya bolos ritual lagi pagi ini.
"Makanlah dulu. Kamu mau Ibumu marah padaku kalau kamu jatuh sakit?"
"Ah. Ibu akan datang besok ya. Hampir aku lupa." Hanako tampak senang. "Kalau begitu aku besok libur." Ucapnya sambil berdiri.
"Setelah makan, kamu lebih baik siap-siap untuk besok. Tidak perlu mengerjakan apa-apa." Ucap Nenek lagi.
"Oh. Oke." Hanako berdiri lalu mendekati Nenek dan mencium pipinya. "I love you." Ucapnya lalu pergi meninggalkan Nenek di ruangan itu.
"Anak itu…" Nenek Hanako bergumam sambil terdengar kesal.
Seseorang di samping Nenek yang terlihat berusia kurang lebih dengan Nenek tersenyum mendengarnya. "Ketua benar-benar lemah menghadapi Ms. Hanako."