"Apa aku harus menjemput kak Wulan? Mungkin terjadi sesuatu hingga payung atau——"
Tok … tok …
Azka bahkan belum sempat menyelesaikan ucapannya, dia sudah terburu-buru menuju pintu. Dia yakin betul bahwa itu adalah kakak perempuannya.
"Kak Wulan?" ucap Azka terkejut saat melihat kondisi kakaknya, "payungnya bolong, 'kah?"
Azka menduga, walupun membawa payung tetap akan basah. Hujan di luar sana memang terlampau deras disertai angin kencang. Akan tetapi, dia tak menyangka bahwa Wulan akan benar-benar basah kuyup, seluruh pakaiannya meneteskan air, rambutnya terlampau kusut.
"Kak?"
Wulan tak menggubris, ia celonong masuk, lalu pergi ke kamar mandi.
"Hei, kak. Jawab pertanyaanku! Kau pasti sengaja hujan-hujanan——"
"Jangan banyak tanya, Azka! Kakak lagi bad mood!"
"Huh, lagi PMS kali, ya?" Azka geleng-geleng kepala.
Dia lantas mencoba menutup pintu, tetapi menatap langit terlebih dahulu, hanya merasakan perasaan yang aneh.
"Harusnya musim kemarau, dunia memang sedang tak baik-baik saja," celotehnya.
Fenomena aneh muncul di langit, kilat berwarna merah muncul. Azka terkejut bukan main, jantungnya hampir copot.
"Apa-apaan petir itu? Berwarna merah? Bagaimana caranya?"
Swosshhh ….
Angin bertiup seraya membawa titik air, menginvasi rumah Azka. Lelaki itu reflek menutup pintunya. Dia menyesalkan kaosnya yang menjadi sedikit lembab.
"Hiii … seperti musim dingin saja, padahal negara tropis."
Azka kemudian menuju dapur untuk mempersiapkan makan malam. Harusnya ini adalah jadwal Wulan untuk memasak, namun karena wanita itu pulang terlambat, Azka terpaksa menggantikannya.
Sepasang kakak-adik itu hanya tinggal berdua di rumah sederhana. Orang tua mereka telah pergi saat keduanya masih kecil.
Sementara itu, hujan masih belum mereda meski waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam, tetap konstan seperti pagi hari. Pemadaman listrik kemudian mendadak terjadi, kemungkinan ada pohon yang tumbang dan menimpa tiang listrik.
Jadi, Azka dan Wulan makan dengan pencahayaan temaram dari lilin. Dalam kesenyapan menyantap hidangan ala kadarnya, rintikan hujan menjadi backsong yang menciptakan rasa kantuk.
"Hmm … mungkin pemadaman listriknya bakal semalaman?!" terka Azka. Badai saja tak ada tanda-tanda mereda, bagaimana petugas PLN bisa membetulkan masalah kelistrikan, jika memang ada pohon yang tumbang.
"Ahh, ayo tidur saja."
Azka mengangguk-angguk. Namun, Wulan nampak tak senang pada respon adiknya.
"Ayo!" desak wanita itu.
"Aku belum ngantuk."
"Bodo amat!" Wulan menarik Azka secara paksa.
'Apa-apaan ini?' batin Azka merasa aneh pada kakaknya.
"Gini, dengar ya, kak. Umurku sudah enam belas tahun, baru beberapa hari yang lalu aku kelas satu SMA. Dan kak Wulan sendiri … 21 tahun, kita sudah tak pantas tidur satu ranjang. Gimana jika adikmu yang polos ini khilaf?"
"B-b-bearti aku akan mengejekmu habis-habisan. Mana ada orang yang terangsang terhadap saudara kandungnya sendiri? Itu namanya kelainan!"
"Gimana kalau aku punya kelainan itu, gimana kalau kita bukan saudara kan——"
"Persetan dengan semua itu! Pokoknya kau harus menemaniku tidur!" kekeh Wulan.
Azka menghela nafas. "Jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu!"
"Seperti dengan Intan saja. Kau pernah melihatku telanjang, pernah menyentuh dadaku. Itu sudah hal biasa, jika cuma bergesekan badan!"
"Jangan bawa-bawa dia! Aku sungguh tak bernafsu padanya!?" ucap Azka memalingkan mukanya.
"Heh? Awas ke depannya kau tiba-tiba pacaran——"
Azka memadamkan lilinnya. Wulan reflek merapat pada adiknya dan menggenggam kuat tangannya.
"Sudah besar, kok takut gelap!" ejek Azka dengan wajah menyeringai.
"Setiap orang punya ketakutannya masing-masing," sangkal Wulan yang memejamkan matanya rapat-rapat. "Umm … bisa tidak lilinnya tetap nyala?"
"No … aku tak terbiasa tidur dalam keadaan terang."
"Ahhh, ayolah. Untuk kali ini saja, demi kakak cantikmu ini!"
Azka tiba-tiba terpikir sesuatu. Ini adalah soal keinginan terpendamnya sejak dulu. Kesempatan semacam ini tak boleh dilewatkan.
"Yah, begini saja. Aku akan mengabulkan semua keinginan kak Wulan untuk malam ini. Tapi, kakak juga harus——"
"Ah, iya, iya. Tenang saja." Wulan mendorong-dorong Azka untuk segera masuk ke kamarnya.
Azka lantas sedikit menyentak tangan kakaknya, mereka habis makan dan harus membersihkannya.
"Lakukan besok saja!" titah Wulan.
"Huh, jadi siapa yang sering ngomel-ngomel soal kebersi——" Azka mendadak menghentikan perkataannya.
Dia lalu membuka jendela yang ada di dapur, angin lantas membuat tempias seisi ruang makan hingga membuat Wulan ngedumel.
"Kenapa, sih? Tutup, Ka! Anginnya kencang!?"
Azka tak mendengarkan perkataan kakaknya, dia melihat keluar jendela, melihat keadaan. Di luar benar-benar gelap, hampir satu kota terkena pemadaman listrik.
'Tadi itu apa, ya? Sesuatu dengan cepat melintas!?' pikir Azka kebingungan.
"Azka!" teriak Wulan.
Azka kemudian menutup jendela setelah tak menemukan apa pun.
"Kenapa?" Wulan memasang wajah penuh selidik.
"Oh, aku tadi merasakan sesuatu yang lewat——"
"Sudah, sudah! Jangan terusin, ayo pergi ke kamarmu!"
Kedua saudara itu tidur dengan posisi saling membelakangi, yah tadinya. Namun, Wulan tiba-tiba memeluk Azka dari belakang dengan erat.
"Terserah kak Wulan saja!?" ucap Azka yang bodo amat. Dia masih terpikirkan soal kejadian tadi.
'Entah cuma perasaanku, tapi tadi aku mendengar suara seperti kucing.'
.
.
.
.
"Unh, s-sudah pagi?" Wulan menggeliat bangun, mengerjapkan mata untuk melihat pemandangan. Ia menyadari bahwa lampu kamarnya Azka sudah menyala.
Wanita itu lantas melirik jam weker di meja kecil dekat ranjang. "Setengah lima pagi?"
Ia kemudian mendorong-dorong punggung adiknya yang tidur membelakanginya
"Ka, bangun! S-sudah pagi——"
"Ini giliran kakak memasak! Aku akan bangun nanti, jam setengah tujuh." Azka menaikkan selimutnya.
"Huh, ya udah deh." Wulan menghela nafas, lalu pergi untuk mencuci muka.
Saat dalam perjalanan ke kamar mandi, pintu depan rumahnya terdengar suara aneh. Seperti ada yang mengetuk pintu, namun terlampau pelan.
"Apa sih?" Wanita itu dengan jengkel menuju pintu dan membukanya.
Wulan celingukan ke kiri dan kanan. Tak ada sesuatu yang bisa ditemukan, jadi ia sedikit merinding, lagipun keadaan masih sedikit gelap. Pintu lantas ditutup dengan segera. Yah, Wulan memiliki phobia kegelapan, otomatis ia seorang penakut yang masih percaya hantu.
Kemudian, saat pintu sudah tertutup rapat. Telinga Wulan menangkap suara misterius.
"Manusia!"
Bulu-bulu halus di tengkuk Wulan seketika menegak. Tubuhnya pun membeku dalam ketakutan, ia memanggil-manggil adiknya dengan suara parau. Ia benar-benar penakut, tapi hanya berlaku untuk hal-hal mistis. Selain itu, Wulan bisa dianggap sebagai wanita pemberani. Ia bahkan tak segan-segan untuk melawan preman.
"Ka, Azka?!" Wulan tak berani membuka matanya, keberaniannya tak memadai untuk melihat penampakan.
'Tolong pergi! Jangan ganggu aku!'
"Azka!" panggilnya lirih. Wulan telah meneteskan air matanya saking ketakutannya, yah, masih mendingan daripada ngompol.
"Manusia!"
'Hiii … jangan ganggu aku!'
"Waaa?!"
Wulan reflek melompat ketika ia merasakan sensasi aneh di kakinya seperti digesek oleh sebuah bulu. Lompatan tadi membuatnya tersungkur, pantatnya sakit.
"A-azka!" panggilnya lirih, "tolong aku!" Wulan sungguh tak berani untuk membuka matanya.
Lalu … sesuatu menyentuh pundaknya.
"Aaaaaa——"
"Sttt … huh, ada apa sih, kak? Pagi-pagi buta udah heboh!?" Itu ternyata Azka, dia baru bangun, nampak masih mengantuk, menguap dan mengucek matanya.
"Azka … Azka …. syukurlah. Begini, tadi ada——"
"Ok, ok. Kak Wulan mungkin masih bermimpi?! Aku tak melihat apa pun!" sela Azka melirik sudut-sudut rumahnya.
"Aku padahal belum ngejelasin!" geram Wulan. "Tadi ada sesuatu yang menggesek kakiku, seperti bulu hewan, tau!?"
Azka menghela nafas, lalu menyentuh kedua pundak kakaknya dan menatapnya tajam.
"Makanya jangan suka memejamkan mata bila ketakutan! Belum tentu hal yang kakak pikirkan itu benar!?" ucap Azka sedikit berteriak, kakaknya pun sedikit terguncang.
"Hmm … bulu? Mungkin itu——" Azka tak bisa memikirkan sesuatu yang seperti bulu itu. "Mungkin kak Wulan belum sadar, masih bermimpi. Itu penjelasan paling logis. Sudah, ya, ini jadwal kakak memasak. Aku mau tidur lagi!"
"Eh, tapi, tapi——"
Azka keburu masuk ke kamarnya.
"Huh, apa aku tadi belum sepenuhnya sadar? Jadi, merasakan hal-hal aneh? Mungkin Azka benar."
Wulan memutuskan untuk melupakan kejadian aneh yang dialaminya, ia mengalihkan pikirannya pada masalah pencurian kemarin. Wajah wanita itu seketika murung, denda atau pemotongan gaji harus siap diterima.
"Harus semangat kerja!" Wulan menepuk pipinya, menyemangati diri sendiri.
Wulan menuju dapur setelah dari kamar mandi. Ia mengecek bahan makanan yang dimiliki.
"Sudah mau habis?" keluhnya. "Perasaan kemarin masih banyak?!"
Sesuatu yang mengejutkan muncul.
"Hei, Wulan. Aku butuh bantuanmu!?"
Begitu namanya dipanggil, Wulan reflek berbalik. Pupil matanya seketika mengecil.
"K-k-kucing? B-bisa bicara?"