Wulan berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke tempat kerja, ia mencoba menghindari sesuatu yang sedari tadi sudah membuntutinya.
Namun, wanita itu lama-kelamaan tak tahan dengan si stalker kecil. Wulan berhenti terus berbalik.
"Berhenti mengikutiku!" ucapnya tegas, memasang wajah marah pada si penguntit. Tapi, lama-kelamaan kegarangannya luntur karena si stalker hendak bicara.
"Aku butuh bantuanmu, Wulan!"
"Jangan seenaknya menyebut namaku!" teriaknya, menoleh ke kiri dan kanan. Yah, tempatnya dirasa kurang cocok. Ia akan disangka gila bila ada orang yang memergokinya tengah berbicara dengan seekor kucing.
Yah, kucing abu-abu yang bertamu pagi-pagi buta, menghabiskan bahan makanan di rumah, dan parahnya … kucing itu bisa bicara. Wulan hampir pingsan saat pertama kali mengetahuinya.
"Lalu apa? Adikmu memanggilmu 'Wulan'." Si kucing abu-abu dengan pupil biru memiringkan kepalanya.
Jika Azka, tidak! Wulan tak bisa membayangkan jika adik penggila kucingnya melihat si meong abu … itu bencana besar.
Wulan masih kekeh untuk tidak menambah beban keuangan, apalagi makhluk yang tak dapat menghasilkan keuntungan. Tak peduli seberapa lucu dan imutnya kucing di hadapannya.
Soal imut dan lucu …. mungkin bisa ditukar dengan uang. Sayangnya Wulan tak paham jenis ras-ras kucing, mana yang mahal dan mana yang hanya kucing kampung tak berharga.
"Kenapa kau menatapku seperti itu, Wulan?" heran si kucing.
"Sudah kubilang, jangan menyebut namaku seenak jidatmu!" teriaknya, kali ini ia apes. Kebetulan ada seseorang yang lewat, parahnya adalah kenalan Wulan, tetangganya.
Ia menundukkan kepala seraya menyunggingkan senyum masam. Di dalam hatinya, Wulan jelas sangat malu.
"Ini gara-gara kau, kucing aneh——"
Kucing abu-abu yang mengikutinya menghilang, tapi setelah menoleh ke sana kemari, Wulan menemukannya. Si kucing berada di atap rumah sedang memandang ke kejauhan.
Wulan jadi merinding saat melihat mata si kucing abu-abu berubah merah darah.
'Itu pasti kucing jadi-jadian, siluman. Makhluk berbahaya, aku tak boleh berurusan dengan makhluk itu!?' Wanita itu bergegas lari. Selain ingin menjauhi si kucing, ia sebetulnya juga hampir terlambat masuk kerja.
Wulan memilih jalur-jalur tikus, melewati gang-gang kecil. Tak jarang bertemu dengan tetangga-tetangga sekitar, dan ia hanya menampilkan senyum.
Jarak minimarket dengan kediamannya adalah beberapa kilometer. Kenapa Wulan tak naik kendaraan saja?
Yah, karena Wulan tidak punya kendaraan, bahkan sepeda biasa. Selain itu, kota pada waktu pagi adalah jam sibuk, jalanan sudah pasti macet. Bila dihitung, Wulan berjalan kaki, tepatnya berlari, akan lebih cepat sampai. Itu sudah pernah dibuktikan. Ia sudah biasa melakukannya di beberapa kesempatan.
"Apa-apaan kucing itu? Kenapa dia terus-terusan mengikutiku?"
Si kucing abu-abu rupanya selalu membuntuti Wulan. Si meong berlari dari genting ke genting rumah, kelincahan yang tak mungkin dimiliki oleh kucing biasa, lompatannya pun di luar nalar.
'Benar-benar kucing siluman!'
"Wulan, Wulan. Tolong dengarkan aku! Ini sangat berbahaya!"
"Eh? Apa, apa——"
Bunyi klakson mendengungkan telinga Wulan, ia tanpa sadar telah berada di jalan raya, tepat di tengahnya. Kebetulan truk dengan muatan berat melaju cukup cepat. Wanita itu terpaku, tak bisa bergerak, ia tak akan selamat.
'A-ku akan mati?"
Swosshhh ….
"Hei, Wulan? Kau tak apa-apa?"
"Ugh, siapa?" Wulan perlahan membuka matanya, ia merasakan sesuatu di dadanya. "Apa aku mati——"
"Woi, mbak! Jangan ngelamun saat nyeberang sembarang! Bikin repot!" omel sang pengemudi truk, ia memerhatikan kondisi Wulan. Yah, wanita itu tak mengalami cidera.
"Lain kali, jaga kucingnya baik-baik!?" Setelah mengatakan itu, si pengemudi truk melajukan kembali kendaraannya.
Wulan lalu celingukan, tentu saja mencari pahlawan yang telah menyelamatkannya. Tapi, tak ada seorang pun di dekatnya. Hanya dirinya yang terduduk di pinggir jalan dengan memeluk seekor kucing.
Wulan reflek melemparkan kucing itu sampai ke seberang jalan. "Jauh-jauh dariku!"
Anehnya, kucing itu tergeletak tak berdaya, sangat lemah. Rasanya berdiri pun tak mampu.
Wanita itu lantas merasa bersalah, si kucing stalker tetap makhluk hidup. Wulan merasa sudah kelewatan, padahal kucing abu-abu itu tak menyakitinya, atau malahan sudah menyelamatkannya dari bahaya.
Kakak perempuannya Azka itu mengumpulkan keberanian untuk mendekati si kucing.
"Hei, kau tak apa-apa?" tanya Wulan, menelisik tubuh si kucing.
"A-aku baik-baik saja, hanya kehabisan——ugh!" Si kucing sungguh tak bisa berjalan.
"Maaf, aku terlempau berlebihan!?" Wulan mencoba menggendong si kucing.
"Aku percaya kau orang yang baik, Wulan!" ucap si kucing, menampilkan mata biru yang menawan.
Wulan masih sedikit aneh saat bertukar kata dengan … kucing? Ia pasti gila.
"Jangan seenaknya menyebut namaku!" ucap Wulan menggembungkan pipi seraya memalingkan muka. Ia memutuskan untuk membawa kucing abu-abu itu ke klinik hewan.
Wulan masih tahu etika, ia harus membalas budi. Yah, walau belum terbukti bahwa si kucing jadi-jadian adalah penyelamat hidupnya.
Lalu, ia baru sadar bahwa suara si kucing terdengar mirip suara lelaki, meski terdengar lembut.
"Jadi, apakah aku harus memanggilmu manusia?"
"Cih, ini sungguh gila! Aku berbicara dengan seekor kucing!" cibir Wulan mendengkus.
"Asal tau saja, aku bukan seekor kucing! Dan yang paling penting … aku bukan dari duniamu!"
Deklarasi tak terduga, Wulan terkejut bukan main. Ia sontak berhenti berjalan dan menatap kucing lucu di gendongannya dengan tatapan … yah, itu sulit dijelaskan.
"Wulan?!" si kucing bertanya-tanya, pasalnya wanita itu diam seribu bahasa.
Namun, si kucing abu-abu merasakan sesuatu. Dan itu adalah sebuah bahaya.
"Wulan! Menunduk!"
Wanita itu ada secara reflek menunduk, kemudian sebuah tombak melesat dari belakang. Beruntung, hanya menyerempet kucir rambutnya dan alhasil, rambutnya Wulan menjadi tergerai.
"Eh? Eh?"
Wulan menoleh ke belakang. Seseorang pria dengan jubah hitam berdiri di sana. Pria itu menatap tajam.
"Wulan, lari!" Si kucing memberi aba-aba.
Wulan langsung tancap gas, ia berlari tak tahu arah. Namun, ia spontan menuju ke kantor polisi.
"Kenapa tidak ada orang sama sekali? Kemana perginya semua orang?" gumam Wulan panik menoleh ke kiri dan kanan.
Jalanan sepi padahal jam masuk kerja. Semua bangunan pintunya tertutup, tak ada kehadiran seseorang selain Wulan.
"Terus berlari!" titah si kucing, ia menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan si pengejar.
'Sial, kami terjebak dalam …. apalagi aku tak memiliki cukup tenaga!' batin si kucing. 'Tapi, manusia ini tak boleh terluka karena diriku!'
"Teruslah berlari, Wulan!"
Si kucing melompat dari gendongan, Wulan lantas kaget dan berhenti berlari.
"Kenapa kau berhenti? Cepat berlari! Orang itu mengincarku, kau tak perlu cema——"
Syut ….
Tombak melesat untuk mengincar Wulan, si kucing abu-abu lantas melompat dan berusaha merubah lintasan laju dari tombak tersebut.
Siyat ….
"Akhhh …" Wulan meringkuk kesakitan memegangi bahu kanannya, pakaiannya sobek dan mulai mengeluarkan darah.
Wanita itu tak bisa menahan tangisnya saat melihat orang berjubah hitam semakin dekat. Wulan melihat bibir orang itu bergerak, menuturkan suatu bahasa yang tak pernah didengarnya. Si kucing membalas dengan bahasa yang sama.
Si kucing tiba-tiba menatap dengan tatapan sendu.
"Terima kasih. Maaf, sudah melibatkanmu!"
"Huh? Apa——"
Di detik berikutnya, Wulan mendadak sudah berada di keramaian. Terduduk di trotoar sambil memegangi bahu yang terluka.
"A-apa maksudnya i … ni?" Ia langsung pingsan.