Chereads / Glow Up Perempuan Jelek / Chapter 1 - Nasib Menentukan Penampilan Seseorang

Glow Up Perempuan Jelek

🇮🇩Raein23_Raein
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Nasib Menentukan Penampilan Seseorang

"Sudahlah jelek, buluk, burik, kaum umbi-umbian, hitam, kecil, hidung pesek, suka makan, hidup pula."

Sungguh quotes yang sangat berharga.

Kata-kata tersebut adalah makanan sehari-hari untuk Laras. Ibarat obat pahit namun membuat seseorang sembuh. Laras tersenyum setiap kali mengingat cemoohan. Hinaan serta ketidakpedulian orang-orang terhadapnya adalah makanan sehari-hari yang harus Laras hadapi. Tidak bisa tidak.

Sesekali tangan Laras mengepal kuat jika mengingat ucapan orang-orang terhadapnya.

"Sekarang aku malah terjebak menunggu di sini," ujar Laras dalam hatinya. Tangan menopang dagu sembari tersenyum miring. Minuman sudah Laras seruput habis.

"Halo, selamat siang."

Laras mendongrak.

"Akhirnya datang juga. Aku sampai gila menunggu orang menyebalkan ini."

Untuk ke sekian kalinya Laras menggerutu dalam hatinya.

Sesuai kesepakatan Laras bertemu dengan Yorris teman semasa SMA. Laras berdecih melihat penampilan Yorris. Glow up parah. Jika dibandingkan dengan dirinya, Laras ibarat semut kecil dan raksasa.

"Sial, seingatku terakhir kali aku melihatnya, dia tidak tampan. Glow upnya tidak tanggung-tanggung." Laras bergumam pada dirinya sendiri. Sebelah alisnya terangkat, lalu lanjut berucap kembali. "Setidaknya dia masih memakai kacamata sialan sama sepertiku."

Di akhir pikirannya, Laras tersenyum tipis. Laras tahu, ke depannya bergumam dengan diri sendiri adalah kebiasaan barunya.

Sadar terhadap yang ia pikirkan, Laras pun menunduk. Memikirkan jikalau dirinya dulu berpenampilan culun seperti Yorris, akan tetapi setelah dewasa tidak glow up.

"Yeah, ku rasa nasibnya baik sedangkan aku tidak." Setelah bicara begitu Laras kembali menatap kenyataan. Kenyataan nasib baik tidak dimiliki semua orang.

Dari pengamatan yang Laras lakukan, suatu kesimpulan berhasil ia tarik. Bahwasanya nasib akan sangat mempengaruhi seseorang baik pada penampilan maupun sikapnya.

"Cukup berpikir, Ras. Aku sudah menyiapkan kertas untuk kita. Tuliskan aturan menurut versimu setelah kita menikah nanti. Aku tidak punya banyak waktu," kata Yorris sembari melihat jam tangan. Gaya sombong dan pongah. Andai Laras tidak membutuhkan uang yang ditawarkan Yorris setelah menikah, Laras dengan senang hati memukul kepala lelaki tersebut.

Disaat-saat seperti itu Laras hanya tersenyum tipis. Ia memperbaiki letak kacamata untuk sekedar mempertahankan harga diri.

"Kenapa kau harus menikah? Salah satu syarat dapat warisan atau bagaimana?"

Laras mengambil kertas pemberian Yorris. Keras di tangannya adalah jenis A4. Mencirikan tipikal Yorris yang sangat menaati aturan ketat. Penjelmaan orang itu adalah bentuk disiplin.

"Aku mau balas dendam."

Mulut Laras mengangga lebar, perempuan itu bahkan tak peduli jikalau akan ada lalat atau seekor nyamuk masuk ke mulutnya. Otak Laras ngelag sebelum akhirnya paham maksud masalah yang dialami Yorris.

"Huh, ternyata aku alat balas dendam." Laras manggut-manggut paham.

"Aku tidak akan kau libatkan dalam bahaya, kan? Bagiku balas dendam versimu sedikit berbahaya. Kalau hanya berkorban perasaan aku tidak terlalu masalah. Akan beda lagi ceritanya kalau nyawaku yang menjadi taruhannya."

Yorris terkikik geli. Ia tidak terlalu mengenal Laras. Hubungan mereka tidak dekat. Bisa dibilang, masing-masing kedua orang itu hanya tahu satu sama lain, bukan mengenal. Saat bertemu langsung dan mendengar Laras berucap khawatir, Yorris jadi tahu sedikit mengenainya. Setidaknya cara berucap Laras. Yorris mengambil kesimpulan Laras adalah orang blak-blakan dan bicara kasar.

"Kau aman bersamaku."

"Ck."

Laras kehabisan pilihan, makanya ia langsung menulis point-point penting sesuai versinya. Dengan kata lain ia setuju ucapan dan tawaran Yorris. Sekitar lima menit kemudian kertas itu kembali beralih ke si pemilik. Laras sudah selesai menuliskan point-point yang harus diperhatikan setelah menikah nanti.

"Hanya ini?"

"Tidak usah repot-repot melindungiku, selama target balas dendammu tidak memakai pistol dan anak buahnya, aku akan menjadi orang baik dengan hanya hidup dan berlindung di rumahmu. Cukup beri aku satu bodyguard."

"Tidak tahu diri," celutuk Yorris.

Jelas ucapan tersebut sangat menyakiti hati dan perasaan Laras. Makanya meja di hadapannya harus menjadi korban pelampiasan kemarahan. Tak takut Yorris mengubah keputusan tidak jadi menikahinya, Laras memukul meja. Terdengar suara pukulan yang sangat nyaring.

"Hey mata empat sialan, kau membutuhkan bantuanku begitupun aku membutuhkan bantuanmu. Hubungan kita simbiosis mutualisme. Setidaknya kita saling menguntungkan dan aku butuh kenyamanan. Tolong realistis sedikit."

Yorris mengepalkan tangan kuat-kuat. Hati, perasaan berikut harga diri Yorris terluka sebab ucapan sarkas perempuan di hadapannya. Urat leher Yorris mencuat menunjukkan bertapa ia sangat tersinggung. Napas lelaki tersebut tidak teratur.

"Hah..."

Pada akhirnya Yorris menghela napas. Setiap kali marah, cara itu sangat efektif untuk mengurangi rasa marah.

"Yah, kau benar. Aku minta maaf."

Begitulah ucapan terakhir Yorris. Bersamaan dengan itu pula, kemarahan di ambang batas tadi lenyap berganti menatap tajam. Tubuh bongsor tersebut mendekati Laras. Detik itu juga Laras membeku di tempatnya.

Jarak dekat antara mereka sedikit tidak masuk akal serta berhasil mengambil akal sehat si perempuan.

"Jangan kaget melihat perubahanku nanti. Setidaknya aku mengalami kemajuan dalam hal fisik. Kalau dibandingkan denganmu, aku jelas lebih baik."

Laras menunduk. Bukan sebab ia terima harga dirinya diinjak-injak, namun ada hal lain yang lebih baik terlintas di otaknya, Laras ingin mengamati situasinya dulu.

Tak ayal Laras tetap tersinggung. Di bawah meja tempat keduanya duduk, tangan Laras mengepal, meremat kuat baju lusuh yang ia pakai.

"Sial, aku harus mengalah dulu. Awas kau, nanti ku buat kamu tak bisa berkutik. Jangan harap dengan kekuasaan kau bisa menginjak-injakku." Laras bertekad dalam hati. Ia tersenyum misterius.

***

"Jadi, ini perempuan pilihanmu, Yorris?"

Penampilan Laras memang sudah berubah. Gaun cantik, wajah dimake up, tubuh mendapat perawatan orang-orang kelas atas. Penampilan Laras sudah mirip aktris terkenal. Kacamata yang biasa Laras gunakan bahkan sudah tak terlihat berganti lensa kontak.

Hal itu tentu semakin menambah daya tarik Laras. Hanya satu kata untuk mendeskripsikan penampilan Laras, cantik dan manis.

Nyatanya anggunnya Laras serta usahanya agar pas sesuai penampilan masih belum cukup meyakinkan orang tua Yorris.

Buktinya perempuan paruh baya tersebut bertanya hal-hal berat soal kehidupan Laras yang akan menjadi calon menantunya.

"Apa pekerjaanmu?"

Laras mendongkrak. Air matanya hampir jatuh mengingat skenario settingan dialog yang sudah ditentukan Yorris untuk ia jawab. Laras dituntut menjadi aktris dadakan hanya dengan masa berlatih selama pembicaraan Yorris dan dirinya.

"Penulis novel on-line," jawab Laras lantang. Tidak terlihat ketakutan maupun kekhawatiran pada dirinya.

Yorris jelas kaget. Kaget yang terjadi dua kali. Pertama, Laras tidak mengikuti settingan yang Yorris tetapkan. Kedua, Yorris bahkan baru tahu jikalau ternyata Laras bukan pengangguran, tetapi ia adalah seorang penulis novel on-line.

"Tidak ada waktu kaget, dia mengacaukan rencanaku," ucap Yorris. Andai kata tidak ada ibunya di antara mereka, Yorris pasti akan memukul kepala Laras.

Perempuan itu mengacaukan seluruh rencana yang sudah Yorris susun sedemikian rupa!

Harusnya Laras bilang ia bekerja sebagai asisten Yorris.

"Berapa gaji bulananmu?"

"Dua jutaan." Laras yang menunduk mendongkrak untuk melihat nonya Sarmas. "Mohon maaf Nonya, saya tahu Anda ingin yang terbaik untuk putra Anda agar ia bahagia. Saat ini saya hanya bingung, Anda benar-benar ingin melihat Yorris bahagia atau sedang menghitung keuntungan pernikahan untuk menambah kesejahteraan hidup?"

Orang tua di hadapannya Laras tersentak kaget. Laras bicara kasar yang tentunya tidak sopan.

*****