Chereads / Prolet / Chapter 11 - Episode; Prahara

Chapter 11 - Episode; Prahara

Sahwat melompat dengan amat sangat gembira di pantry. Matanya tak lepas dari televisi kecil di sudut ruangan yang sedang menyiarkan berita terheboh di negeri ini. Bahkan ajaibnya, Sahwat sampai melakukan selebrasi layaknya Lionel Messi berhasil menendang penalti. Ujung dari drama di pantry ini; Sahwat bersujud. Lupa bahwa lantai yang belum dibersihkan setelah makan siang, masih dipenuhi oleh remah nasi dan sambal yang berceceran. Akibatnya sungguh tidak mengherankan, jidat Sahwat kepedasan tidak karuan!

Prolet yang menyaksikan dari belakang tersenyum geli. Sahwat selalu ekspresif dalam segala hal. Apalagi untuk kehebohan yang memang ditunggu-tunggunya ini. Namun Prolet kasihan juga melihat Sahwat tergopoh gopoh menyirami jidatnya dengan air dingin.

"Dasar!....ngga adil! Itu pengadilan atau pegadaian?!.." Omelan pendek namun cukup membuat Prolet terperanjat. Dia menoleh asal suara. Bos Kecil melintasi pantry menuju ruang kerjanya dengan wajah bersungut sungut kesal.

Prolet mengerutkan keningnya mencoba menangkap makna dari omelan yang ditutup dengan bantingan pintu cukup keras itu. Sebuah running text melintasi otak Prolet dengan cepat. Aaah, Bos Kecil sedang menyumpahi pengadilan kasus Pak Ahok rupanya.

Prolet membawa kopi yang dibuatnya sendiri tadi ke ruangan admin. Seruputan pertama, pikiran Prolet bersliweran pada hal sederhana. Negaranya ini selalu ribut untuk hal-hal yang mengenaskan hati. Seruputan kedua, politik itu adalah representasi dari tingkah tikus. Menggerogoti keju dengan suara gaduh, lalu lari menuju lubang jika ada ancaman. Kembali lagi setelah aman. Menggerogoti lagi. Gaduh lagi. Jika keju dipindahkan, maka tikus akan mencari roti atau ikan atau apapun yang bisa digerogoti. Tetap gaduh.

Negara ini digerogoti oleh kegaduhan yang dinikmati. Selalu terdepan dalam perebutan kuasa. Hilang ingatan pada hal-hal yang seharusnya diurus bersama. Lupa bukan lagi penyakit, tapi sudah menjadi semacam sembelit.

Seruputan ketiga, ancaman bagi Prolet. Bos Kecil berdiri di depannya dengan wajah twilight saga, memerah seperti bunga saga dengan wajah yang entah dari dimensi mana. Gawat! Bos Kecil pasti masih terbawa perasaan. Prolet merasa dia akan menjadi tumbalnya.

Tepat seperti yang sudah diduganya.

"Prolet kamu salah memasukkan angka pada lembur karyawan! Perbaiki!...aku tunggu di mejaku sore ini!" berlalu. Masih dengan kemurungan tiada juntrungan.

Prolet buru buru memeriksa semua hitungan lembur dengan teliti. Banyak proyek yang sedang ditangani oleh perusahaan. Di beberapa tempat. Jumlah karyawan ratusan. Itu artinya dia akan melewatkan makan siang yang nyaman. Hadeuuh.

----

Pak Adm memperhatikan Prolet sedang berkutat dengan berkas-berkas dan angka-angka dengan tekun. Dia mendengar teriakan Bos Kecil tadi. Kedudukannya sebenarnya sama dengan Bos Kecil. Tapi dia orang yang tidak suka berkonflik. Dia sudah memeriksa hasil rekapitulasi Prolet sebelumnya. Tidak ada yang salah.

"Kloset, eh ya ampun...Oplet, tidak ada yang salah dari pekerjaanmu. Kamu print out lagi saja terus serahkan ke Bos Kecil."

Prolet mengangkat mukanya. Pak Adm memang selalu baik. Tapi, hmmm...mungkin dia perlu memasang badge nama besar di dadanya biar tidak salah panggil namanya lagi. Kloset?....duuhh.

----

Prolet setengah berlari menuju pantry. Ayam atau cacing di perutnya sudah memberontak tidak karuan sedari tadi. Sesampainya di sana hanya mendapati suasana yang super menegangkan!

Bos Pantry, Sahwat, Pak Adm dan 2 orang driver, duduk bergerombol di deretan meja sebelah kiri. Tampang mereka judes atau dijudes-judeskan, bersedekap, senyum sinis mengembang. Di deretan meja sebelah kanan, rombongan Bos Kecil beserta seluruh staf keuangan duduk merengut dengan seragam. Tampang masam atau dimasam-masamkan, mulut mengerucut, mata merah mengancam.

Prolet merasa masuk ke dalam zona keseraman. Apalagi kemudian berondongan kalimat dan kata sadis dan tajam menguar memenuhi udara ruangan makan ini.

"Itu tidak adil. Bagaimana mungkin? 2 tahun? Bah! Keterlaluan!"

"Iya! Keterlaluan!"

"Biarkan hukum menjadi panglima. Dan panglimanya sudah bersabda? Kenapa kalian repot?!"

"Iya! Kenapa repot?!"

"Aku tetap mencintai Pak Ahok! Lihat hasil kerjanya untuk Jakarta!"

"Kami juga mencintainya!"

"Banyak hal yang tidak diketahui dan sekarang sedang diusut. Lihat saja nanti!"

"Iya. Lihat saja nanti"

Busyet! Ini bertengkar atau latihan koor? Prolet terlongong dan ngowoh melihat prahara di dapur ini. Ayam dan cacing dalam perutnya sampai-sampai meringkuk ketakutan dalam lambungnya yang kosong. Ini gawat! Prolet takut mereka akan lempar-lemparan piring atau semacamnya. Dia harus memberanikan diri melerai prahara ini. Biarlah dia akan terima menjadi gepeng oleh sumpah serapah sebagai pelanduk pahlawan. Prolet mulai membuka mulutnya. Batal seketika. Ada suara melengking lain mendahului di belakangnya.

"Apa-apaan ini! kenapa ribut seperti seperti air got tumpah di jalanan saja! Ayo kembali ke tempat kerja!" Suara yang sangat dikenalnya karena selalu tersimpan di hatinya. Tapi ini....galak dan berwibawa.

Kegaduhan tadi melenyap seperti bau kentut disapu badai.

Prolet melihat semua orang berjalan keluar pantry dengan muka tertunduk. Tuan Puteri jarang sekali marah. Tapi sekali marah, kemarahannya seperti Srikandhi sedang mementang gendewa sakti. Menggiriskan hati!

Tuan Puteri ikut beranjak pergi sambil mengedipkan mata kepada Prolet yang masih terpaku. Tanda bahwa marahnya tadi adalah sandiwara belaka. Prolet ikut tersenyum. Bahagia. Ada running text melintasi kepalanya; Kegaduhan tidak akan berlarut-larut jika ada panglima yang sebenar-benarnya panglima berada di atas semua yang bergaduh. Bukan Tuhan. Tapi Tuan atau Nyonya yang perkasa dan berwibawa.