Prolet bersiul-siul keluar dari kantor. Ini hari pertamanya menjalani kerja sebagai staf admin. Cukup sibuk dan menyita waktu. Bos langsungnya adalah kepala admin. Pak Adm, begitu semua orang memanggilnya. Orangnya kebapakan, baik dan ramah. Kekurangannya hanya satu. Bapak satu ini sangat pelupa! Terutama dalam hal mengingat nama. Beberapa kali dia salah nama saat memanggil Prolet. Kadang Songket, kadang Copet. Yang paling sering, Pak Adm memanggilnya Oplet!
Tapi tak apa-apa. Menyenangkan juga. Apalagi Prolet merasa mulai menyenangi pekerjaan barunya ini. Satu hal yang pasti. Dia jadi sering sekali berhubungan dengan Tuan Puteri. Maklum, semenjak Bos Besar sakit-sakitan setelah kejadian beberapa bulan lalu yang melibatkan KPK. Tuan Puteri mengambil sebagian besar tugas ayahnya.
Ah, kalau sedang membahas Tuan Puteri, pikiran Prolet selalu saja diwangikan oleh aroma bunga. Rasanya melihat kucing berkelahi pun, indah bagi Prolet. Dalam pikirannya, kucing-kucing itu sedang berlatih bela diri.
----
Tak terasa sampai juga di tempat parkir motor. Prolet memakai helm dan jaket bututnya. Mungkin sama bututnya dengan motornya. Prolet tergelak. Dia tidak mau lagi mereka-reka untuk mengganti motornya. Dia tidak mau membuang sejarah. Membuang sejarah sama saja dengan membakar masa lalu. Membakar masa lalu sama juga dengan meniadakan masa depan. Begitu kira-kira filosofi keren yang dipelajari Prolet dari Kho Ping Hoo.
Prolet menikmati kepulangannya sore ini. Dia merasa bahagia. Dia berniat menularkan bahagianya pada udara Jakarta sebanyak-banyaknya. Siapa tahu kota raksasa ini ikut bahagia. Jika dia bahagia, maka sangat mudah untuk menularkan kepada jutaan penduduknya. Prolet memutuskan pulang lewat jalan memutar. Lebih jauh dari biasanya.
Prolet memacu motornya sedang-sedang saja. Jalanan sepertinya juga sedang bahagia. Tidak macet. Sambil mengendarai dengan tenang, Prolet melihat ke kanan kiri dengan santai. Eh, sepertinya kota ini sedang berbenah habis-habisan. Taman terlihat terawat. Sungai tidak dipenuhi sampah lagi. masih ada sih satu dua, tapi paling tidak sudah jauh berkurang dibanding dulu. Prolet melemparkan lagi senyum bahagia ke aspal yang masih buram.
----
Prolet menginjak remnya secara tiba-tiba. Jalanan mendadak macet total. Sama sekali tidak bergerak. Para pengemudi mobil dan pengendara motor di depannya turun, lalu terdengar gaduh berbicara satu sama lain.
"Ada tawuran di depan...baru saja saya dengar dari radio Elshinta..."
"Wah wah....anak sekolah? Atau orang dewasa? Antar kampung? Antar RW?.."
"Awas hati hati! Dalam kondisi begini biasanya batu beterbangan kemana-mana."
"Masuk mobil saja bu. Bahaya!"
Suara-suara itu berhenti saat terdengar letusan beberapa kali. Lalu suara-suara teriakan penuh kemarahan. Jeritan-jeritan menantang. Raungan-raungan murka. Lalu praaaanggg, kaca mobil pecah berhamburan. Kemudian suara-suara mengaduh kesakitan.
Suara gaduh peperangan kecil itu semakin mendekat ke arah kemacetan. Batu-batu sekepalan tangan beterbangan bagai elang. Bahkan nampak bambu dan kayu ikut menjadi elang. Semua orang menjadi panik. Sibuk menyelamatkan diri. Beberapa memilih masuk mobil. Yang lain tidak lagi berpikir panjang meninggalkan kendaraannya di tengah jalan. Lari ke perumahan dan pertokoan yang kira-kira menjadi tempat aman.
Prolet terpaku. Dia terjebak di sini. Apa yang harus dilakukannya? Lari meninggalkan motornya? Atau tetap di sini. Berharap semuanya reda seketika.
Prolet memutuskan bertahan. Dia menyaksikan segerombolan anak-anak berbaju putih bercelana abu-abu berlarian lintang pukang. Di tangan para remaja itu tergenggam bermacam-macam senjata tawuran. Rantai, batu, kayu, besi, bahkan parang dan tombak! Beberapa di antaranya berdarah-darah di bagian kepala dan tubuh.
Tidak berapa lama kemudian, di belakang gerombolan pertama, bermunculan gerombolan siswa yang jumlahnya jauh lebih besar. Berbaju abu-abu putih juga. Mengejar sambil berteriak-teriak layaknya suku Sioux sedang menggelar perang di Amerika. Bedanya, wajah-wajah gerombolan kedua ini dipenuhi dengan coretan-coretan pilox berwarna merah hitam. Mungkin itu penanda siapa lawan siapa kawan.
----
Prolet tidak bergeming dari jok motornya. Matanya terlanjur tertanam pada kehebohan yang terjadi. Lagipula dia mau kemana? Tempat itu dipenuhi oleh para pelajar yang sedang bergumul dengan emosi tak bertuan. Menunda kepulangan demi cap jagoan dari teman-temannya. Bekas luka akibat tawuran akan menjadi cerita kebanggaan. Mati? Sama sekali tak terpikirkan.
Salah seorang pelajar dari gerombolan pertama rupanya tertangkap di tempat persembunyian. Kontan saja pelajar apes ini jadi bulan-bulanan lawan. Awalnya hanya bogem mentah yang singgah. Namun lama-lama kayu juga ikut berperan durjana. Tidak peduli si pelajar itu mohon mohon ampun sambil merintih-rintih kesakitan. Tetap saja yang namanya beringas tidak kenal belas kasihan. Setelah tubuh pelajar itu tergeletak tak bergerak, barulah kepanikan meruyak di antara para penyiksa.
Apalagi kemudian puluhan polisi bermunculan tanpa diduga. Menangkapi para pengeroyok itu satu persatu. Beberapa yang coba melarikan diri pun tak luput disergap para polisi yang terus berdatangan. Puluhan pelajar diamankan. Dijaga oleh puluhan polisi. Di sebuah pelataran kantor kelurahan.
Beberapa orang polisi mendekati pelajar korban pengeroyokan. Prolet ikut mendekat. Dilihatnya tubuh itu sudah tak bergerak. Salah seorang polisi memeriksa nafas dan nadi anak muda itu. menggeleng-gelengkan kepala ke arah rekannya yang berdiri memperhatikan. Seorang polisi yang lain menelepon ambulance.
Jantung Prolet seperti ikut berhenti berdetak. Ini bukan main-main. Hidup dibuat sebagai mainan oleh para generasi negeri. Hanya demi sebuah gengsi dan harga diri. Prolet melirik jam tangannya dengan matanya yang buram karena keprihatinan yang menggenang. Tersentak hebat. Ini tanggal 2 Mei! Hari Pendidikan Nasional! Prolet merasakan tubuhnya menegang. Bahagia yang dikumpulkannya susah payah, buyar seketika!