Chereads / Prolet / Chapter 3 - Episode; Bandara

Chapter 3 - Episode; Bandara

Mudik lebaran kali ini terasa istimewa bagi Prolet. Bagaimana tidak? Tak ada hujan tak ada angin, tiba tiba Tuan Puteri, anak perempuan cantik Bos Besar memberinya hadiah tiket mudik pulang pergi. Ini seperti mendapatkan durian runtuh, dengan suka cita tak terkira Prolet menerimanya langsung dari Tuan Puteri. Mukanya menunduk, tangannya gemetaran. Tak sadar Prolet bahwa Tuan Puteri sedang menatapnya seperti orang yang akan kehilangan beberapa lama.

Perusahaan sedang untung besar tahun ini. THR dibagikan plus bonus tahunan. Ini luar biasa! Prolet tidak tahu lagi bagaimana harus mengucap syukur selain lari ke musholla, berwudlu, lalu meneteskan airmata bahagia dalam sholatnya.

Dalam perjalanan naik bus Damri ke bandara, Prolet membayangkan betapa suka citanya si Mbok di rumah karena dia membawa oleh-oleh yang dulu pernah diidam-idamkannya. Belum pernah kesampaian. Sampai akhirnya sekarang. Batik Bogor!...Ah si Mbok memang ada ada saja. Bukankah Solo adalah gudangnya batik? Tapi Prolet sedikit maklum. Si Mbok nya memang penggemar benda-benda seni buatan tangan. Meski tergolong orang kampung dengan pendidikan kurang, tapi si Mbok nya punya cita rasa seni yang tinggi. Diam-diam Prolet bangga bila memikirkan hal ini.

Begitu sampai bandara termegah di negeri ini. Prolet ngowoh pertama kalinya setelah melihat betapa ajaibnya yang namanya bandara. Dia harus bertanya kanan kiri agar bisa masuk dengan bawaan se paciweuh ini. Tetap saja, sesuai peraturan yang berlaku, Prolet harus merelakan dua tas besarnya masuk bagasi. Hanya ransel kecil saja yang bisa dibawanya naik pesawat. Dalam hati, Prolet ngomel-ngomel tidak karuan. Dia takut kue-kue lebaran yang sengaja dibelinya dari pasar Jatinegara remuk-redam. Prolet pengen si Mbok nya tidak usah lagi mengaduk jenang atau menggoreng rengginang. Lebih bagus jika mereka khusu' beribadah selama puasa dan tidak perlu pusing memikirkan kue lebaran.

Proses menaiki pesawat jauh lebih mulus dibandingkan proses memasuki bandara sampai ruang tunggu. Prolet ngowoh kedua kalinya setelah pesawat tinggal landas meninggalkan raungan yang memekakkan bumi. Kok bisa ya? Campuran besi seberat ini bisa terbang? Sedangkan aku jatuh dari pohon mangga saja seperti karung beras yang dijatuhkan kuli di pelabuhan. Pikir Prolet tak habis pikir.

Pesawat memasuki turbulensi. Tubuh besarnya diguncang ke kanan dan ke kiri. Bahkan terkadang sempat anjlok sekian kaki. Situasi mencekam ini membuat Prolet, yang sedang dalam kondisi setengah tertidur, menggeliat bangun ketakutan. Tangannya berpegangan erat pada sandaran kursi depannya. Bibirnya tak henti henti berdo'a dan berdzikir. Entah karena angin dan awan telah berganti cuaca biru, atau Tuhan sangatlah baik hati kepada Prolet, turbulensi itu mendadak berhenti. Prolet menghentikan aktifitas do'anya sambil melihat kanan kiri, sembari juga menahan mual di perutnya. Tidak seorangpun yang terganggu saat pesawat terguncang cukup hebat tadi. Ada yang tidur dengan nyenyaknya, ada yang masih baca koran, bahkan seorang wanita gendut di ujung sana malah asyik menikmati makanannya. Prolet ngowoh ketiga kalinya.

Prolet mendengar suara gaduh di depannya. Terdengar percakapan yang lebih mirip pertengkaran.

"Mohon maaf Bapak, sesuai peraturan memang tidak diperkenankan telpon saat pesawat hendak take off tadi." Suara merdu dan lemah lembut.

"Ah, kamu tidak tahu siapa aku rupanya! Tunggu sampai pesawat ini mendarat, aku jamin kamu besok tidak lagi mengenakan seragam pramugari!" Suara berat, kasar dan penuh kecongkakan.

Prolet terdiam. Telinganya menjadi gatal dan sebal mendengar suara congkak itu. Dia menebak, itu pasti pejabat tinggi atau pembesar negeri. Prolet khawatir ancamannya nanti benar-benar terbukti. Kasihan si pramugari. Namun Prolet ngowoh untuk keempat kalinya hari ini, dia mendengar suara lembut itu lagi.

"Mohon maaf bapak. Bapak boleh mengancam saya, tapi saya akan tetap berbuat yang sama kepada siapapun demi keselamatan bersama. Saya berbicara atas nama keselamatan, bukan jabatan."

Suara pilot mengumumkan bahwa tidak lama lagi pesawat akan mendarat, membuat percakapan yang dipenuhi ancaman itu berhenti. Hati Prolet berdebar-debar. Bayangan si Mbok nya mengerjap-ngerjapkan mata saat dia melambaikan batik Bogor yang sangat diinginkannya, membuat Prolet belum apa-apa sudah berkaca-kaca.

Pesawat mendarat dengan mulus. Proses keluar pesawat lalu menuju pengambilan bagasi kembali membuat Prolet harus tanya lagi sana-sini. Kegigihannya membawa Prolet menunggu dengan santai di depan ban berjalan yang mondar-mandir manja membawa barang-barang penumpang. Cukup lama Prolet harus menunggu hingga akhirnya tas-tas besar miliknya muncul di depannya. Dengan sigap Prolet mengambil tas-tas miliknya dan buru-buru memeriksa isinya.

Hati Prolet tercekat. Isi tasnya berhamburan tidak karuan. Toples-toples plastik berisi kue lebaran untuk oleh-oleh lenyap! Kado cantik berisi kain batik Bogor sebagai hadiah untuk si Mbok nya juga lenyap! Prolet ngowoh untuk kelima kalinya hari ini. Matanya yang tadi berkaca-kaca penuh haru membayangkan kegembiraan si mbok nya, kini mengalirkan kaca-kaca bening dipenuhi rasa nelangsa.