Chapter 3 - Bab 3

Bisa dikata, cinta itu sangatlah rumit adanya

Merangkum rasa yang sungguh lengkap di hati

Sayang dan benci, rindu dan dendam bergantian menguasai diri

Walau bisa juga dibilang, cinta itu sederhana saja sebenarnya

Memperjuangkan senyum bagi yang dicintai

Menumbuhkan wangi bunga bagi yang dicintai

Memberikan bahagia bagi yang dicintai

Pesisir Tuban. Dyah Puspita dan Arya Dahana menyempatkan diri keluar dari hutan untuk menyegarkan pikiran. Seperti biasa, Sima Lodra ditinggalkan di hutan terdekat dengan kota pelabuhan besar itu. Berhari-hari telah mereka lalui dalam perjalanan menuju kota ini. Hari-hari yang penuh dengan petualangan dan canda tawa. Dyah Puspita telah pulih sepenuhnya. Penguasaan ilmu pukulan Geni Sewindu pun telah mencapai tingkatan api kebiruan seperti Arya Dahana meski belum sematang si pemuda. Petualangan yang paling mendebarkan adalah saat mereka harus melewati sebuah tempat yang terhalang ngarai teramat dalam. Ngarai itu begitu panjang dan tidak mungkin diputari karena terlalu jauh. Menuruninya pun sangat sulit karena tebing yang ada hampir semua tegak lurus. Sehebat-hebatnya ilmu meringankan tubuh seseorang, tidak akan mampu menuruni tebing setinggi itu kecuali dia bisa terbang seperti burung.

Setelah menyuruh Sima Lodra agar mendahului dan mencari jalan memutar sendiri. Arya Dahana membuat percobaan berani mati dengan membuat jalinan tali akar yang sangat panjang. Ketika diperkirakannya tali telah lebih panjang dari lebar ngarai itu, dibuatnya simpul-simpul rumit yang dulu pernah dipelajarinya saat masih bersama Ki Gerah Gendeng. Diberinya pemberat dari batu berbentuk lonjong pada ujung tali. Dyah Puspita membantu dengan memeriksa setiap simpul apakah sudah cukup kuat atau tidak.

Saat semua sudah siap, Arya Dahana memegang ujung tali yang diberikan pemberat batu. Diputar-putarnya di atas kepala selama beberapa lama untuk memperoleh waktu perhitungan yang paling tepat mengayunkannya ke seberang. Lebar ngarai itu beberapa ratus depa sehingga butuh beberapa waktu agar ujung tali itu tepat melingkari dengan kuat kayu atau batu besar yang ada di seberang. Setelah percobaan yang kelima barulah tali terentang dengan tegang ke seberang. Dyah Puspita mengikat ujung tali sebelah sini pada sebuah kayu besar.

Arya Dahana mengukur ketegangan tali itu dengan memukul-mukul talinya. Nampaknya semua kuat dan bagus. Pemuda ini memberi isyarat kepada Dyah Puspita agar memperhatikan bagaimana cara dia menyeberangi ngarai yang teramat dalam itu. Diambilnya dua potong kayu sepanjang dua kali tubuhnya. Diberikannya sepotong kepada Dyah Puspita lalu dia mulai melangkah meniti tali dengan memegang kayu itu sebagai tongkat keseimbangan. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Arya Dahana berjalan perlahan di atas tali. Tali itu bergoyang sedikit karena ukurannya memang kecil sekali. Arya Dahana meneruskan langkahnya dengan hati-hati. Jurang di bawahnya sangat dalam sampai tidak kelihatan dasarnya. Kabut agak tebal menyelimuti permukaan jurang itu. Angin agak kencang bertiup sehingga lengan baju Arya Dahana berkibar-kibar. Tapi berkat tongkat keseimbangan pemuda itu akhirnya sampai ke seberang. Pemuda itu menoleh dan berteriak," Ayo Puspa....rasanya menegangkan tapi mengasyikkan..!"

Dyah Puspita yang sedari tadi mengawasi, maju ke arah tali sambil memegang tongkat keseimbangan. Saat melihat ke bawah, wajahnya yang cantik kemerahan memucat seketika. Dia adalah ahli silat yang sangat tangguh, namun melihat betapa dalamnya jurang itu, betapa jauhnya jarak ke seberang, dan betapa kecilnya tali, jantungnya seperti mau jatuh.

"Arya...aku tidak beraniā€¦!" Dyah Puspita berteriak gemetar.

Arya Dahana tersenyum sabar," Baiklah Puspa..tunggu di sana. Aku akan mendatangimu dan menuntunmu menyeberang."

Kembali Arya Dahana harus meniti tali untuk menjemput Dyah Puspita. Perjalanannya kali ini terlihat lebih mudah dan lancar dibanding saat pertama menyeberang tadi. Begitu tiba di seberang dipegangnya tangan Dyah Puspita yang dingin keringatan.

"Hayo Puspa, peganglah ikat pinggangku dari belakang. Kita menyeberang bersama-sama."

Dyah Puspita hanya sanggup mengangguk tanpa bisa berkata-kata. Kepalanya menunduk karena kehangatan tangan pemuda yang dikasihinya itu. Gadis itu balik menggenggam tangan Arya Dahana dengan erat. Mencoba mengumpulkan kekuatan dari hangat yang mengalir di tangan itu. Namun mendadak kepalanya mendongak dan menyahut dengan cepat," lebih baik aku di depan Arya. Kau jagalah aku dari belakang."

Arya Dahana giliran mengangguk. Mengikuti Dyah Puspita yang dengan gagah namun tetap gugup sudah melangkah ke depan. Sepasang muda-mudi itu kemudian perlahan mulai meniti tali. Awalnya semua berjalan dengan cukup mudah. Dyah Puspita melangkah hati-hati di atas tali diikuti oleh Arya Dahana. Sampai di tengah jalan, gangguan mulai muncul. Awalnya hanya angin yang tiba-tiba bertiup dengan kencang. Dyah Puspita mulai bergoyang-goyang keseimbangan tubuhnya. Tongkat yang dipegangnya sudah mulai bergerak miring ke kiri dan ke kanan menahan keseimbangan. Arya Dahana masih berusaha tenang. Dia tidak ingin berkata-kata karena itu akan semakin mengganggu konsentrasi gadis di depannya. Pemuda itu hanya berjaga-jaga saja di belakang.

Tiupan angin kencang itu ternyata hanya awal gangguan yang kecil saja rupanya. Karena tanpa dinyana terdengar bunyi koakan keras dari atas dan meluncurlah dua benda hitam cukup besar dengan deras menuju mereka berdua. Dua ekor elang berbulu hitam seperti berniat untuk menyambar muda-mudi itu. Hati Arya Dahana mencelos kaget. Angin sudah cukup merepotkan, dan kini ditambah serangan dua pemburu dari langit itu. Pemuda itu segera mempersiapkan diri dengan cepat. Diraihnya ikat pinggang Dyah Puspita dari belakang dengan hati-hati. Tapi rupanya gadis itu sudah menyadari ada serangan dari dua ekor burung elang dan panik duluan. Tubuhnya bergoyang ke kanan dan ke kiri dengan cepat.

Serangan itu datang dengan dahsyat. Seekor elang mengarahkan serangannya kepada Arya Dahana dan seekor lagi menerjang Dyah Puspita. Gadis itu menjerit ketika cakar elang yang tajam menggores lengannya. Tali itu bergoyang-goyang dengan hebat karena gadis itu sudah tidak bisa mempertahankan lagi keseimbangannya. Arya Dahana memegang erat ikat pinggang gadis itu dari belakang sambil berusaha keras menahan keseimbangan tubuh. Pemuda itu tidak peduli betapa lehernya tersabet cakar elang dan kini mulai mengeluarkan darah. Dua ekor elang itu kembali mengangkasa setelah menyerang cepat. Namun ternyata itu hanya untuk mengambil ancang-ancang serangan yang berikutnya.

"Puspa...! cobalah tenang..." Arya Dahana berteriak sia-sia karena bukannya tambah tenang, gadis itu malah mencoba berlari di atas tali. Kontan saja Arya Dahana terseret dan hilanglah keseimbangan keduanya. Sebelum tubuhnya terjatuh, Arya Dahana masih sempat memeluk pinggang gadis itu dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya yang sudah tidak memegang kayu, memegang tali dan kakinya menendang putus tali di belakangnya. Tubuh keduanya meluncur deras ke bawah. Arya Dahana memeluk Dyah Puspita dengan memegang ujung tali yang sudah terputus, tepat saat dua ekor elang tiba untuk serangan kedua.

Arya Dahana bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk ketika tubuh mereka meluncur ke bawah lalu mengayun ke depan dengan kecepatan mengerikan. Matanya menatap lurus ke depan sambil tetap memeluk erat pinggang Dyah Puspita yang ternyata sudah pingsan sedari tadi. Pandangannya masih tertutup oleh kabut. Belum nampak apa-apa di depan. Jika saja tangan kanannya bebas maka akan lebih mudah baginya untuk mengerahkan pukulan ke depan untuk membuat lubang atau pijakan karena dia yakin di depan pastilah tebing tinggi tegak lurus juga.

Kemudian satu hal ganjil terlintas di kepala Arya Dahana. Dikerahkannya hawa murni tubuhnya menuju kepala. Ajian Geni Sewindu sudah sepenuhnya bisa dipergunakan sekarang. Hawa panas berputaran di kepalanya. Dipejamkannya mata sambil mengerahkan Geni Sewindu menghantam ke depan menggunakan...matanya! Selarik sinar keperakan keluar dari sepasang matanya. Terdengar suara lemah di depan. Pukulan mata Geni Sewindu menghantam tebing yang masih cukup jauh. Diulanginya lagi proses itu beberapa kali karena ternyata itu bisa mengurangi derasnya luncuran. Akhirnya Arya Dahana bisa melihat tebing di depannya. Tebing batu hitam dengan tinggi menjulang. Dilihatnya ada sebuah lubang gua kecil yang cukup untuk mereka berdua. Agar lebih yakin, Arya Dahana mengerahkan sekuat-kuatnya tenaga dan menghantamkan pukulan mata Geni Sewindu ke depan. Terdengar suara yang cukup keras. Debu mengepul di lubang tebing yang terkena pukulan Geni Sewindu.

Lubang itu terlihat cukup besar sekarang. Lebih dari cukup kalau hanya untuk mereka berdua. Arya Dahana bersiap-siap melakukan pendaratan. Jarak beberapa depa sebelum tubuh mereka terhempas ke dinding tebing, dilepaskannya pegangan pada tali. Sambil tetap menahan berat tubuh mereka berdua, Arya Dahana melakukan jungkir balik beberapa kali untuk mengurangi kerasnya pendaratan. Tetap saja pendaratan itu tidak semulus yang diharapkan. Mereka terguling beberapa kali di lubang gua yang tercipta dari pukulan Geni Sewindu itu. Tepat sesaat sebelum tubuh Arya Dahana terhempas di dinding gua dengan Dyah Puspita tetap dalam pelukannya, gadis itu siuman dari pingsannya. Gantian Arya Dahana yang pingsan karena kelelahan yang teramat sangat.

Dyah Puspita merasakan lengan yang memeluknya erat itu sekarang mengendur karena Arya Dahana pingsan. Dilihatnya wajah pemuda itu sangat kelelahan. Aaahh... pasti dia berjuang mati-matian hingga mereka bisa selamat dari kejatuhan yang mengerikan tadi. Sendirian. Sementara dia dengan enaknya pingsan duluan dari awal. Didekapnya tubuh pemuda itu dengan penuh haru. Hidupnya sungguh selalu dipenuhi dengan kehadiran pemuda ini. Sejak dia masih kecil hingga sekarang sudah dewasa. Berkali-kali hampir mati dan pemuda ini selalu ada untuk menyelamatkannya. Rasanya tak ingin lagi dia berpisah dengan pemuda konyol ini. Biarlah ayahnya membencinya. Biarlah Majapahit memburunya. Biarlah seluruh dunia meninggalkannya. Asalkan dia masih bisa bersama terus dengan Arya Dahana. Kembali keharuan yang mengharu-biru menerjang perasaannya. Diciuminya wajah pucat pemuda itu, namun Dyah Puspita tersentak kaget. Ternyata ada darah mengalir di leher pemuda itu. Ada luka cukup dalam di leher itu bekas cakaran elang.

Dyah Puspita membersihkan luka itu dengan hati-hati menggunakan robekan lengan bajunya. Satu lagi robekan lengan bajunya dipakai untuk membebat leher yang terluka itu agar darah berhenti keluar. Gadis itu baru sadar ternyata lengannya juga tergores cakar elang. Hanya tergores dan tidak separah luka Arya Dahana. Matanya beredar ke sekeliling. Sadar bahwa ternyata mereka ada di sebuah gua kecil yang aneh. Bagaimana bisa ada gua model begini, pikir Dyah Puspita heran. Kecil dan kelihatannya baru digali dengan sembarangan oleh manusia. Bukan sebuah gua alami.

Arya Dahana mengerang perlahan. Menyadarkan Dyah Puspita yang masih hanyut dalam pertanyaan dan keheranan. Pemuda itu membuka matanya. Melihat tatapan haru Dyah Puspita tak jauh darinya. Gadis itu menatap dengan mesra sambil menggenggam tangannya begitu erat.

Arya Dahana mendadak seperti tersengat kalajengking. Pemuda itu berdiri dengan cepat sambil memperhatikan Dyah Puspita lekat lekat.

"Puspa, apa yang terjadi? Kenapa lengan bajumu sobek semua?"

Dyah Puspita tersenyum lembut sambil menyentuh leher Arya Dahana yang terbebat," lukamu harus dibebat agar tak mengeluarkan darah terus Arya. Di sini tidak ada pilihan lain selain bajuku bukan?"

Arya Dahana meraba lehernya yang masih terasa nyeri. Matanya melembut dengan cepat. Dibalasnya genggaman Dyah Puspita dengan hangat.

"Puspa kamu baik sekali. Sepertinya jalan hidup kita berdua dipenuhi petualangan, bertarung dan ....pingsan hi hi hi..." Arya Dahana terkikik pelan. Dyah Puspita tidak menyahut namun melingkarkan lengannya ke leher Arya Dahana dan melabuhkan mukanya ke bahu pemuda itu. Suasana sejenak menjadi hening. Suara angin yang tadinya menderu bahkan sekarang tidak terdengar sama sekali. Lumut yang tertidur di sepanjang dinding tebing melambaikan rasa paling romantis sedunia. Memberikan selamat pada asmara yang sedang merambati gua kecil di dinding tebing itu.

Arya Dahana terpaku dan terdiam. Dyah Puspita sering memeluknya namun apa yang dirasakannya sekarang jauh berbeda. Gadis itu benar-benar terhanyut dalam perasaan haru-biru. Terbawa oleh perasaan hangat yang menjalari darahnya, Arya Dahana mencium dan membelai rambut panjang dan harum Dyah Puspita, lalu kening dan pipinya. Gadis itu seperti terkena aliran petir ketika bibir Arya Dahana menyentuh pipinya. Bibirnya menyambar bibir Arya Dahana yang sedang mendaratkan ciumannya ke pipi satunya. Alam betul-betul semakin terdiam. Ikut menyaksikan betapa sebuah gairah sedang menyalakan bara-bara kemesraan. Seekor burung kecil yang singgah di mulut gua bahkan mematung untuk belajar bagaimana cara mencintai seorang gadis yang menemukan sandaran hatinya.

Cukup lama sepasang muda mudi itu hanyut dalam ciuman yang hangat lalu panas menggelora. Tangan Arya Dahana bahkan telah melingkar erat di pinggang ramping Dyah Puspita. Pemuda itu seperti disulut oleh bara yang sangat panas. Bibirnya kini dengan berani menelusuri leher Dyah Puspita yang jenjang dan mulus. Si gadis bukannya mengelak atau marah, malah mengeluarkan desahan yang membuat bara itu semakin membakar. Saat pemuda yang terpanggang gairah itu sedang mencoba membuka kancing-kancing baju Dyah Puspita, tiba-tiba;

"Blaaaaarrrrrr!!!...."

Suara petir menggelegar menggugah kesadaran muda-mudi itu seperti siraman air es sedanau. Keduanya saling melepas pelukan dengan muka merah dan nafas terengah-engah. Dyah Puspita tersadar dan buru-buru membetulkan bajunya yang sudah terbuka bagian atasnya. Pipinya memerah seperti tomat masak. Sementara Arya Dahana membuang rasa jengahnya dengan berjalan ke mulut gua dan menengok kesana kemari mencari jalan keluar. Matanya yang berkeliaran sepanjang dinding kanan kiri gua itu bertemu dengan sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah gua! Jauh lebih besar daripada gua buatannya ini. Terletak kira kira 30 depa kanan atas gua ini. Matanya mencari cari pijakan atau paling tidak sulur-sulur akar agar dapat mencapai gua itu. Tidak ada apapun yang dicarinya. Hanya dinding lumut licin berwarna kehijauan membentang hingga gua tersebut.

Dyah Puspita mendekati Arya Dahana. Memeluknya dari belakang dan berbisik," Arya, apa yang sedang kamu cari?"

Arya Dahana membalikkan tubuh dan balas memeluk gadis itu. Kali ini pelukan di antara mereka tidak diikuti percikan api.

"Sepertinya ada sebuah gua yang jauh lebih besar di atas sana Puspa. Dengan melihat ukuran gua itu, aku yakin ada jalan keluar ke atas sana." Arya menyahut sambil menunjukkan gua yang dia maksud.

"Dinding tebing ini terlalu tegak lurus Arya. Tidak ada akar atau batu agar kita punya pegangan untuk sampai ke atas sana."

"Rasanya aku bisa mencoba membuat pijakan-pijakan agar kita bisa sampai di sana."

Dyah Puspita memandang tak mengerti tapi dia tetap mengangguk yakin. Arya Dahana memusatkan perhatian pada perputaran hawa murni tubuh untuk disalurkan ke kepalanya seperti yang dilakukannya pada saat mereka meluncur jatuh ke jurang. Dari sepasang matanya keluar sinar keperakan yang menghantam tebing di sisi kanan mereka. Tebing batu cadas itu rontok berhamburan. Menciptakan sebuah celah yang cukup untuk pijakan kaki. Arya Dahana melakukannya berulang-ulang hingga celah itu membentuk sebuah tangga menuju gua besar tersebut.

Dyah Puspita benar-benar takjub menyaksikan hal tersebut. Ternyata Pukulan Geni Sewindu Arya Dahana sudah benar-benar mendekati sempurna. Pukulan sakti itu bisa disalurkan lewat matanya!

"Kamu luar biasa Arya! Ah aku belum mampu berbuat sepertimu dengan Geni Sewinduku.."

Arya Dahana tersenyum lebar," Puspa, ini tidak sengaja. Saat kita terjun bebas tadi, itulah yang terpikir bisa aku lakukan. Dan ternyata berhasil. Suatu saat kamu pasti bisa."

Gadis itu tidak berkata apa-apa lagi. Hanya sorot mata kagum dan kasih yang tersisa di situ. Dia melompat ke lubang pertama sambil berpegang pada lubang selanjutnya. Begitu seterusnya hingga sampai ke gua besar di atas itu. Arya Dahana mengikuti dari belakang. Mereka berdua berdecak kagum saat sudah berada di dalam gua besar itu. Memang benar-benar besar. Luas dan tinggi. Batu-batu runcing yang tumbuh di atap gua meruncing ke bawah dengan barisan yang mengerikan. Sementara batu-batu berbentuk tombak dan pedang menghadap ke atas berjajar menakutkan. Gua itu indah menakjubkan namun sekaligus mengerikan.

Semakin jauh mereka menyelidiki ke dalam, gua itu bukannya semakin gelap namun malah semakin terang. Dyah Puspita yang biasa masuk dan berpetualang dalam gua menjadi terheran-heran. Arah ke dalam gua itu ke arah bawah dan bukannya ke atas, jadi rasanya tidak mungkin sinar matahari bisa mencapai lantai gua. Apalagi gua itu berkelok-kelok bukannya tegak lurus. Mereka semakin penasaran. Lorong gua itu seperti tidak pernah terputus. Namun semakin dalam ke perut bumi.

Setelah beberapa saat, sampailah mereka di sebuah ruang yang cukup luas. Ruangan itu terang benderang dan hawanya panas bukan main. Dyah Puspita sampai harus mengerahkan hawa murni di tubuhnya untuk menahan panas tersebut. Selain itu, ada bau harum yang sangat menyengat menguar di ruangan tersebut. Bau itu benar-benar aneh dan memabukkan. Seperti bau dupa atau bunga kuburan namun bukan. Dyah Puspita seolah melayang-layang ke udara saat bau harum itu semakin dalam masuk ke paru-parunya. Pikiran-pikiran aneh membersit dengan cepat di kepala gadis itu. Hawa hangat yang tidak wajar kemudian mengaliri darahnya. Wajahnya memerah, nafasnya agak memburu. Dia menoleh ke Arya Dahana yang sedang mengamati sekeliling dengan seksama. Didekatinya pemuda itu dan tanpa bisa dikendalikan lagi ditubruknya pemuda itu dengan ganas. Arya Dahana sampai jatuh terguling-guling ditimpa tubuh gadis yang sedang bergairah hebat itu.

Mereka tidak tahu bahwa ruangan itu dipenuhi oleh wangi bunga kecubung. Wangi yang terkenal bisa memicu gairah birahi pada pria maupun wanita normal. Namun kenapa hanya Dyah Puspita yang terpengaruh oleh wangi bunga tersebut sedangkan Arya Dahana tidak? Hal itu tidak aneh, karena wangi bunga kecubung di ruangan itu diperkuat dengan sihir dan sinar batu alam yang disebut Safir Bumi. Sinar terang benderang di ruangan itu bersumber dari batu alam Safir Bumi. Arya Dahana sama sekali tidak terpengaruh karena sudah kebal terhadap racun dan sihir. Jadi yang dirasakannya hanya wangi bunga biasa.

Berbeda dengan Dyah Puspita. Gadis itu sangat terpengaruh karena wangi tersebut telah sampai ke paru-parunya tanpa berupaya ditangkal dengan hawa murni sebelumnya. Dan terjadilah kejadian yang menghebohkan itu. Gairah birahi yang dirasakannya benar-benar tidak bisa dikendalikan lagi. Apalagi birahi itu didorong dengan lebih kuat lagi oleh rasa kasih dan cinta yang dalam kepada pemuda itu. Jadilah semakin berkobar dan tidak terkendali.

Arya Dahana benar-benar kewalahan dipeluk dan diciumi sedemikian rupa oleh gadis cantik yang sedang dikuasai oleh gairah yang tidak wajar itu. Dia berusaha menenangkan gadis itu dengan membisikkan kalimat-kalimat pengingat. Namun rupanya Dyah Puspita sudah sangat tidak terkendali. Bahkan baju Arya Dahana disobeknya dengan paksa. Pemuda itu yang kaget dengan tingkah Dyah Puspita lalu sadar bahwa perilaku aneh ini pasti karena pengaruh sesuatu dari luar. Dipeluknya gadis itu dengan lembut sambil menekan beberapa titik di pundak dan punggungnya. Gadis cantik itu mengeluh dan terguling lemas tak bertenaga. Arya Dahana menotok urat syaraf di pundak dan punggungnya agar dia tidak berdaya. Namun nafsu dan gairah yang disebabkan wangi kecubung masih menguasai gadis itu. Meskipun tubuhnya tidak bisa bergerak namun sorot mata dan nafasnya masih menunjukkan nafsu dan gairah yang luar biasa membara.

Arya Dahana mengangkat tubuh Dyah Puspita dan membawanya keluar dari ruangan serta membaringkannya di lorong masuk. Hawa di lorong ini sangat jauh berbeda. Pengap dan lembab. Tidak ada wangi apapun di situ. Arya Dahana berbisik ke telinga Dyah Puspita," berbaringlah di sini. Jika totokanmu telah pulih jangan ikuti aku masuk ruangan itu lagi."

Setelah memberikan pesan, Arya Dahana kembali memasuki ruangan dan mencari-cari sumber cahaya Safir Bumi dan sumber wangi bunga kecubung yang diperkuat oleh sihir gelap. Setelah beberapa lama menjelajahi ruangan, tidak ada apapun yang ditemukan oleh pemuda itu. Sesaat sebelum keluar ruangan untuk memeriksa keadaan Dyah Puspita, Arya Dahana menangkap sesuatu yang menarik perhatian. Ternyata sumber cahaya berasal dari balik dinding gua di sudut ruangan. Di balik batu padas yang keras luar biasa itu cahaya berasal. Arya Dahana mendekat dan meraba-raba dinding gua. Menemukan keanehan yang membuatnya menggeleng-gelengkan kepala. Dinding gua itu adalah dinding batu padas hitam yang sangat keras dan tidak tembus cahaya sama sekali. Namun cahaya yang keluar dari balik dinding itu sangat terang. Pantas saja dia tidak bisa menemukan dengan cepat karena dinding itu mengeluarkan warna terang menyilaukan.

Pemuda itu mencoba memukul dengan sedikit tenaga. Dinding batu itu sama sekali tidak bergeming. Tergores saja tidak. Dicobanya lagi dengan tambahan sedikit lagi tenaga. Tetap tidak bergeming. Sebelum Arya Dahana melaksanakan niatnya untuk menggunakan pukulan Geni Sewindu, pemuda itu teringat sesuatu. Benturan keras di ruangan ini kemungkinan bisa meruntuhkan seluruh gua. Dibatalkannya niat menggunakan tenaga untuk memaksa dinding itu terbuka. Tidak mungkin orang meletakkan batu safir dan bunga kecubung itu tanpa membuka dinding gua. Pasti ada suatu cara sederhana untuk membukanya.

Arya Dahana kembali meraba raba dinding aneh itu dengan sangat teliti. Aaaaahhh...ini seperti sebuah jendela atau pintu kecil rupanya. Ada satu hal lagi yang luput dari perhatian pemuda itu tadi. Ternyata di sebelah atas dinding aneh itu terdapat sebuah lukisan atau coretan-coretan berupa gambar.

Arya Dahana menajamkan matanya karena silau yang luar biasa. Pantas saja lukisan ini tadi terlewat olehnya. Cahaya menyilaukan itu menghalangi pandangan orang. Lukisan itu berisi beberapa gambar dan tulisan. Gambar-gambar itu menunjukkan sketsa-sketsa orang yang sedang bertarung. Ada gambar orang membawa lingkaran bulat bercahaya seperti simbol matahari, sedang berhadapan dengan orang yang membawa simbol bintang. Ada juga gambar sebuah batu bercahaya yang dikelilingi oleh wajah-wajah mengerikan simbol setan dan iblis. Ada gambar bunga yang dikelilingi oleh beberapa pria dan wanita yang sedang melakukan hubungan badan.

Arya Dahana tertegun melihat gambar-gambar yang membingungkan itu. Tidak ada satupun dari gambar itu yang bisa memberikan petunjuk mengenai cara-cara membuka dinding. Pemuda itu lalu teringat Dyah Puspita. Gadis itu sangat cerdas dalam memecahkan teka-teki rumit. Dia pasti bisa membantunya menterjemahkan gambar gambar ini. Namun diurungkan niatnya. Gadis itu pasti akan terpengaruh lagi oleh wangi bunga dan cahaya batu. Arya Dahana menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sambil mondar-mandir berpikir keras.

Tanpa terasa langkah kakinya membawa ke lorong yang menuju arah ke dalam. Hawa di lorong ini dingin luar biasa. Berkebalikan dengan hawa ruangan yang panas luar biasa. Dan lorong ini gelap gulita! Arya Dahana tercekat hatinya. Ada hawa misterius dalam lorong ini. Pemuda itu menguatkan tekad melangkah terus menelusuri lorong gelap dengan menggunakan kekuatan pendengarannya. Ada suara gemuruh yang luar biasa keras di depan sana. Arya Dahana semakin berhati-hati melangkah. Dia tidak ingin tiba-tiba terperosok ke jurang karena dia yakin suara gemuruh itu pastilah air terjun atau aliran sungai yang sangat deras.

Di depan terlihat cahaya remang-remang. Meninggalkan kegelapan yang dibawa oleh lorong ini. Sebuah ruangan lagi yang luar biasa besar. Ruangan ini bercahaya remang dan hawa di sini sangatlah sejuk. Arya Dahana melanjutkan langkahnya hingga beberapa ratus depa melintasi ruangan yang sangat besar ini. Dan benar saja, di ujung ruangan ini mengalir sebuah sungai yang tidak terlalu besar namun aliran airnya luar biasa deras. Jadi inilah asal muasal suara gemuruh tadi. Pantas saja hawa ruangan ini sangat sejuk dan segar. Arya Dahana berbalik untuk meneliti ruangan raksasa itu. Wah! Pastilah memerlukan waktu berhari-hari kalau harus meneliti ruangan ini dengan teliti.

Setelah yakin bahwa dia tidak bisa melakukan semuanya sendiri, Arya Dahana membalikkan badan kembali ke ruangan ajaib bercahaya dan beraroma wangi kecubung tadi. Kali ini langkahnya melewati lorong gelap tidak lagi meraba-raba. Karena dari kejauhan cahaya yang keluar dari ruangan itu bisa menjadi patokan. Pemuda ini berjalan dengan tergesa-gesa karena teringat Dyah Puspita dan mengkhawatirkan keselamatannya.

Uh kenapa dia sangat bodoh membiarkan gadis itu sendiri padahal dia sedang dalam pengaruh totokan dan pasti tidak bisa membela diri jika ada sesuatu yang berbahaya menyerangnya. Arya Dahana menyumpahi dirinya sendiri ketika memasuki ruangan cahaya. Dia tidak akan memaafkan dirinya jika terjadi apa-apa dengan Dyah Puspita. Karena terburu-burunya hampir saja pemuda itu bertabrakan dengan seseorang yang juga sedang terburu-buru keluar dari ruangan bercahaya.

"plakkk...plakkk...plakkk..." tamparan yang cukup keras mampir dengan telak di pipi kanan dan kiri Arya Dahana. Pemuda itu terperangah kaget sambil memegang pipinya yang panas terkena tamparan Dyah Puspita. Gadis itu berdiri bertolak pinggang dengan nafas yang memburu turun naik. Matanya membelalak marah ke arah Arya Dahana.

"Dasar tengil! Kenapa kau tinggalkan aku sendirian pada saat aku sedang dalam kondisi tertotok?!...apakah kau tidak tahu bahwa tempat tempat seperti ini sangat berbahaya?!"

Pemuda yang dimarahi hanya cengar-cengir bersalah namun lega melihat bahwa Dyah Puspita tidak kurang suatu apa.

"Maaf Puspa...aku tadi seharusnya membebaskan totokanmu terlebih dahulu sebelum pergi meninggalkanmu menyelidiki ruangan yang memabukkan ini...ehhhh ayo sini...kita harus keluar dari ruangan ini... ruangan ini sangat berbahaya buatmu..."

Belum juga pemuda itu menyelesaikan perkataannya. Dua tamparan keras kembali singgah di pipinya.

plakkk...plakkk...

Dyah Puspita yang terlihat puas setelah menampar pipi pemuda itu, berjalan dengan langkah mengejek memasuki lorong gelap. Arya Dahana mengejar dan memegang tangan gadis itu sambil menatap wajah Dyah Puspita penuh pertanyaan.

"Untuk tamparan yang pertama aku mengerti. Tapi yang kedua, apakah salahku?"

Dyah Puspita balas menatap Arya Dahana sambil meneteskan sedikit air mata. Ujarnya terisak kepada Arya Dahana.

"Kamu...kamu....pemuda bodoh!!.....kamu.....kamu telah menyakiti hatiku!...kamu... telah menolakku...huhhh...hhhhhh"

Sambil masih dengan sedikit terisak, gadis itu membalikkan tubuh dan dengan cepat memasuki lorong gelap. Arya Dahana bengong dan linglung, namun buru-buru menyusul Dyah Puspita karena dilihatnya gadis itu dengan sembrono memasuki lorong yang sangat gelap itu tanpa kehati hatian sama sekali. Dan benar saja, terdengar suara gedubrak dan mengaduh di depan. Arya Dahana melupakan semua kehati-hatiannya. Dia berlari menghampiri Dyah Puspita di depannya. Akibatnya menjadi lebih parah. Kakinya tersandung tubuh Dyah Puspita dan terguling jatuh persis di sebelah Dyah Puspita yang sedang berusaha bangun.

Keduanya merangkak bangun dengan susah payah. Arya Dahana meraba dalam kegelapan dan menemukan tangan Dyah Puspita lalu membimbingnya perlahan menelusuri lorong. Gadis itu menurut saja dan tak lama kemudian keduanya sudah keluar dari lorong gelap dan tiba di ruangan yang luar biasa besar. Di tengah hawa sejuk dan cahaya remang, Dyah Puspita menghentikan langkahnya dan menarik Arya Dahana mendekat. Dirabanya pipi Arya Dahana dengan lembut.

"Maafkan aku Arya...sakit?"

Arya Dahana meringis tengil sambil menggelengkan kepala.

Dua muda-mudi itu lalu memusatkan perhatiannya ke ruangan besar itu. Dyah Puspita berlari melintasi ruangan untuk melihat sungai yang bergemuruh itu. Setelah itu kembali kepada Arya Dahana dan berkata.

"Arya... gua ini sangat aneh dan misterius. Kita harus cepat mencari jalan keluar dari sini secepatnya. Ayo kita selidiki tempat ini!"

Arya Dahana mengangguk membenarkan. Pemuda itu lalu menceritakan mengenai ruang bercahaya yang paling misterius di bagian gua ini. Dyah Puspita mendengarkan dengan seksama dan semakin tertarik begitu mendengar ada teka-teki rumit di gambar yang dilihat Arya Dahana. Keduanya lalu bersepakat untuk memecahkan teka-teki itu karena sepertinya itu adalah bagian dari jalan keluar dari gua yang misterius ini.

Selama beberapa saat, keduanya berpencar mencari petunjuk sekecil apapun yang bisa ditemukan. Seperti yang sudah diperkirakan Arya Dahana, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyelidiki seisi ruangan gua yang sangat besar itu. Tidak ada apapun yang bisa dikatakan sebagai petunjuk. Ada hal cukup penting yang ditemukan tapi tidak terkait dengan petunjuk. Di sudut ruangan luas itu ada segerombolan tanaman aneh yang berbuah berbentuk seperti apel namun bukan apel. Arya Dahana yang kebal terhadap racun dan bisa mengetahui apakah buah itu beracun atau tidak, mencicipinya dan menyimpulkan bahwa buah itu aman untuk dimakan. Persoalan makanan telah teratasi dengan sendirinya karena penemuan itu. Mereka bisa dengan tenang melanjutkan penyelidikan.

Dyah Puspita dan Arya Dahana tidak sadar bahwa mereka sebenarnya telah menghabiskan waktu beberapa hari di dalam ruangan karena memang tidak bisa dibedakan pergantian hari di dalam gua itu. Hari itu setelah kelelahan mencari-cari untuk kesekian kalinya, Dyah Puspita dengan kesal menghabiskan beberapa buah mirip apel itu. Bukan karena kelaparan tapi karena sangat kesal dan tidak sabar. Arya Dahana sendiri menyabarkan hatinya yang juga sudah mulai kesal dan putus asa. Mereka telah memeriksa semua ruangan besar dan bercahaya dengan seksama. Bahkan lorong masuk dari tebingpun tidak mereka lewatkan untuk diperiksa. Tidak ada satu petunjukpun yang didapatkan.

Arya Dahana berpikir ulang, barangkali ada ruangan atau lorong lain yang mereka lewatkan. Dia melihat Dyah Puspita sedang menggigit-gigit buah mirip apel itu dengan kesal. Dilihatnya juga gadis cantik itu tiba-tiba berhenti makan lalu membuang sisa-sisa buah dan berlari mencari-cari sesuatu di rumpun tanaman buah. Dyah Puspita mencabut beberapa batang tanaman buah yang mirip bambu dengan rongga di dalamnya. Diambilnya secarik kain bekas pembebat luka Arya Dahana. Direndamnya pada genangan lumpur di sudut ruangan yang lain, lalu dinyalakannya api dan jadilah sebuah obor. Seterusnya Dyah Puspita membuat beberapa buah obor lainnya. Dyah Puspita memberi tanda kepada Arya Dahana untuk membawa obor-obor itu dan mengikutinya.

Pemuda itu patuh dan membawa sekitar 5 obor yang sudah menyala dan mengikuti Dyah Puspita memasuki lorong kegelapan. Dyah Puspita menancapkan satu obor yang dibawanya ke dinding lorong yang ternyata bukanlah batu melainkan tanah liat. Seterusnya setiap beberapa depa, mereka menancapkan obor sehingga lorong yang sangat gelap itu sekarang menjadi cukup terang. Setelah dari ujung ke ujung lorong selesai ditancapi obor, Arya Dahana dan Dyah Puspita berjalan kembali menelusuri dan memperhatikan kanan kiri dengan seksama dan hati-hati.

Arya Dahana memuji kecerdasan dan daya pikir Dyah Puspita. Lorong ini mereka lewatkan sama sekali dan tidak pernah diperiksa. Dan kini setelah diterangi cahaya obor, nampak beberapa bagian dinding lorong tidak hanya terdiri dari tanah liat. Namun terdapat juga dinding berbatu keras. Di setiap dinding berbatu keras itu, nampak gambar wajah seseorang atau sesuatu. Dikatakan seseorang tidak sepenuhnya benar karena gambar itu tidak menggambarkan orang sama sekali, namun lebih mirip sesuatu yang mengerikan dan menakutkan. Arya Dahana teringat saat perang Blambangan dahulu ketika Hulubalang Setan Tanah Baluran mengeluarkan bala bantuan yang terdiri dari bangsa lelembut dan hantu-hantu yang membuat pasukan Majapahit kocar-kacir dan akhirnya hanya bisa diatasi oleh Dewi Mulia Ratri. Wajah-wajah yang tergambar di sini adalah wajah-wajah dari sebagian pasukan Hulubalang Setan Tanah Baluran.

Arya Dahana sedikit bergidik mengingat semua itu. Dulu ada Dewi Mulia Ratri yang jelita itu mengatasi, nah sekarang apakah dia sanggup menghadapi jika makhluk makhluk itu ternyata keluar dan menyerang mereka di sini. Dyah Puspita berhenti cukup lama di tengah lorong. Memperhatikan gambar wajah sesuatu yang mirip genderuwo. Diraba-rabanya gambar menakutkan itu dengan hati-hati. Ternyata di gambar wajah genderuwo itu terdapat mata yang menonjol keluar. Ditekannya mata itu dan.....ruangan itu bergetar hebat.

Arya Dahana terlonjak kaget. Pemuda itu berlari mendekati Dyah Puspita. Digamitnya lengan gadis itu dan diajaknya segera menuju ruangan besar. Sangat berbahaya jika lorong gelap ini runtuh. Dyah Puspita mengangguk dan berkelebat cepat menuju ruangan besar diikuti Arya Dahana. Begitu sampai di ruangan besar, muda-mudi ini terhenyak kaget. Ruangan itu sekarang terang benderang dan dipenuhi orang. Bukan orang! Tapi semua yang ada di gambar lorong gelap muncul di sini. Jumlahnya puluhan. Semuanya bermata merah mengancam. Memandang mereka berdua dengan bermusuhan. Dyah Puspita tanpa sadar bergerak ke belakang Arya Dahana. Dia selalu ngeri jika ketemu lawan-lawan tidak lumrah seperti ini.

Arya Dahana tidak mau bermain-main. Dikerahkannya hawa murni sekuat-kuatnya dalam ajian Geni Sewindu yang disiapkannya. Pemuda itu tidak memiliki ilmu sihir seperti Dewi Mulia Ratri sehingga satu-satunya yang bisa diandalkan adalah ajian Geni Sewindu yang sanggup mementahkan sihir maupun musuh-musuh dari dunia lain. Tubuh dan tangannya sekarang berubah putih keperakan. Arya Dahana mencoba sekuat tenaga agar tidak ada kemarahan dalam hatinya. Kemarahan akan membuat tenaganya berlipat ganda namun akibatnya juga akan parah buat dia.

Puluhan makhluk halus itu seperti bergumam sendiri sendiri namun berbarengan. Suara-suara itu bergabung menjadi satu raungan yang mencekam. Setelah itu secara berbarengan makhluk-makhluk aneh itu menyerang keduanya dengan dahsyat. Gerakan mereka sangat hebat dan kuat. Mengandung hawa pahit dan mengerikan yang bisa melemahkan lawan bahkan sebelum serangan itu sendiri tiba. Arya Dahana tahu bahwa inilah saatnya. Dikibaskannya kedua lengannya melepas ajian Geni Sewindu. Sinar sinar putih keperakan berkelebatan keluar dari kibasan lengan pemuda itu. Jika dulu saat Arya Dahana masih menguasai Geni Sewindu hingga tingkat kedua dengan mengeluarkan api kebiruan saja sudah sanggup membuat berantakan sihir dan para mahkluk halus, apalagi sekarang ternyata tingkatnya sudah berubah ke tingkat tertinggi ajian itu.

Gelombang sinar-sinar keperakan itu menghantam jajaran dedemit yang terdepan. Tubuh-tubuh fana yang mereka pergunakan hancur berantakan menjadi abu dan debu. Para dedemit di belakangnya maju menyerang, Geni Sewindu keperakan kembali menyapu dengan hebat. Kembali tubuh-tubuh hangus menjadi debu dan abu. Tapi rupanya para dedemit itu tidak pernah takut. Hingga akhirnya hanya tersisa 4 atau 5 dedemit saja. Tidak perlu waktu lama bagi Arya Dahana menghabisi semuanya.

Dyah Puspita terkagum-kagum melihat peristiwa itu. Tidak disangkanya pemuda konyol yang dicintainya ini begitu hebat. Sanggup memusnahkan puluhan dedemit dalam waktu yang singkat. Dyah Puspita tidak membuang waktu lagi. Tubuhnya bergerak memasuki lorong kegelapan. Benar seperti dugaannya, lorong itu tidak gelap lagi. Gambar-gambar sepanjang dinding lorong juga telah hilang. Arya Dahana yang mengikuti gadis itu dari belakang untuk berjaga-jaga, melihat ada sebuah tuas yang muncul di bagian paling ujung lorong.

Ditariknya tuas itu dengan rasa penasaran. Tidak terjadi apa-apa di lorong itu. Namun cahaya terang membanjiri lorong itu dengan cepat. Bau wangi semerbak bunga kecubung bercampur sihir juga memenuhi lorong itu. Dyah Puspita yang berdiri di samping Arya Dahana menunjuk ke depan sambil menggamit pemuda itu. Gadis itu segera bersila memusatkan perhatian pada pertahanan tubuh untuk menolak hawa memabukkan yang luar biasa itu. Arya Dahana mengerti apa yang dimaksud Dyah Puspita.

Dia memasuki ruangan bercahaya sendirian. Dilihatnya dinding yang menutupi sumber cahaya dan wangi telah terbuka sendiri. Arya Dahana mendekati dengan hati-hati. Batu Safir Bumi itu luar biasa indah. Dan ternyata batu sebesar telur angsa itu ada sepasang dan diletakkan di atas sebuah kitab tebal berwarna putih. Disampingnya tergeletak perhiasan dari perak berbentuk bunga kecubung. Arya Dahana mengambil seuah batu dan kitab lalu memasukkannya dalam kantong baju bagian dalam. Dia membiarkan saja perhiasan kecubung karena diperhatikannya perhiasan itu menempel erat pada sebuah tuas lain yang ada di sana. Batu Safir Bumi yang tersisa diletakkannya di sebelah tuas.

"Tarik tuasnya Arya...itu akan membuka jalan keluar dari sini..." terdengar bisikan lirih Dyah Puspita. Gadis ini menutup hidung menggunakan baju luarnya. Nafasnya agak tersengal dan matanya memerah memandang Arya Dahana. Pemuda itu terkejut melihat pengaruh wangi itu ternyata masih begitu besar kepada Dyah Puspita meski gadis itu tadi mencoba menghalangi dengan pengerahan hawa murni dan menutup hidungnya. Arya Dahana menarik tuas yang ditempeli perhiasan bunga kecubung. Terdengar bunyi keras memekakkan telinga di kejauhan. Sepasang muda-mudi itu saling berpandangan kemudian segera pergi menuju ruangan besar tempat suara keras tadi terdengar.

Di sudut ruangan besar sekarang terdapat tangga berundak ke atas yang tidak nampak ujungnya saking banyaknya tangga yang tersusun. Dyah Puspita berseri-seri mukanya, digandengnya tangan Arya Dahana menaiki tangga menuju dunia luar. Tangga itu seperti tak ada habis-habisnya. Setelah beberapa jeda yang panjang, sampailah mereka di ujung tangga yang berada di sebuah ruangan kecil. Di sudut ruangan kecil itu nampak lubang yang hanya cukup untuk satu orang merangkak. Sinar matahari terlihat menyinari lubang kecil itu. Arya Dahana mendahului memasuki lubang dan merangkak keluar. Diberinya tanda Dyah Puspita agar mengikuti dari belakang. Dalam waktu tidak berapa lama, keluarlah sepasang muda-mudi itu di pintu keluar gua yang tertutupi oleh rimbunan semak belukar berduri.

Pintu keluar itu ternyata ada di sebuah hutan lebat. Alas gung liwang liwung yang tidak pernah dijamah manusia. Yang mengejutkan sekaligus melegakan hati bagi Dyah Puspita dan Arya Dahana begitu mereka keluar dari gua adalah Sima Lodra sudah berbaring menunggu mereka di sana. Harimau sakti itu sepertinya yakin mereka berdua akan muncul di mulut gua ini. Dengan riang Sima Lodra menghampiri Dyah Puspita sembari mengibas-ngibaskan ekornya, menjilati tangan gadis itu sambil menggeram-geram lirih. Arya Dahana cemberut melihat ini. Dasar jantan! Dimana-mana sama saja. Selalu betina yang didahulukan, huh!

Hari saat mereka keluar dari mulut gua ternyata masih pagi. Arya Dahana dan Dyah Puspita menyempatkan diri mandi di sebuah sungai besar tidak jauh dari situ. Mereka berendam lama lama menikmati betapa segarnya air dingin sungai. Setelah itu dengan kecekatannya yang tak pernah hilang, Arya Dahana menangkap ikan yang berlimpah ruah di sungai untuk hidangan santap pagi mereka bertiga. Setelah kenyang makan ikan bakar, Arya Dahana mengajak Dyah Puspita mengamati batu Safir Bumi dan membuka kitab tebal aneh yang ditemukan di dalam gua.

Batu ajaib itu tidak menampakkan cahaya sama sekali. Hanya seperti batu biasa pada umumnya. Arya Dahana yakin sekali bahwa batu Safir Bumi ini mempunyai khasiat tertentu yang hebat. Mungkin anti terhadap racun atau sihir dan semacamnya. Diberikannya batu itu kepada Dyah Puspita untuk berjaga jaga. Dia sudah kebal dengan segala macam racun dan sihir. Dyah Puspita jauh lebih membutuhkan batu safir ini dibanding dirinya.

Sewaktu giliran kitab tebal itu dibuka, Dyah Puspita dan Arya Dahana terperanjat bukan main. Ada judul kitab di situ yang benar-benar mengagetkan mereka;

Kitab Danu Cayapata-Pukulan Busur Bintang

Mati bagi yang tidak Kuat, Jaya bagi yang Bertekad.

Dyah Puspita saling pandang dengan Arya Dahana. Hati mereka tercekat seperti bertemu setan kuburan. Ini adalah kitab kuno dan langka milik Ki Batara. Salah satu tokoh luar biasa sakti jaman dahulu yang mampu menguasai ilmu pukulan 3 unsur utama dengan sempurna. Mereka menemukan sesuatu yang selama ini telah hilang di dunia persilatan selama ratusan tahun.

Arya Dahana membuka beberapa halaman berikutnya. Kitab itu berisi ilmu pukulan luar biasa yang dulu pernah sangat kesohor di dunia persilatan. Pelajaran-pelajaran dalam kitab itu sangat rumit. Perlu ketenangan dan perhatian khusus untuk memahaminya secara mendalam. Karena penasaran, Arya Dahana membuka halaman terakhir kitab. Terdapat pesan khusus yang mengandung peringatan dan filosofi tinggi; Bila air yang kau miliki belum seteguh es kutub, hentikan pelajari cayapata. Bila api yang kau miliki belum sepanas matahari, hentikan pelajari arundaya.

Dyah Puspita dan Arya Dahana kembali tercengang. Berarti masih ada satu kitab lagi dari tokoh sakti lainnya yang merupakan saudara Ki Batara yaitu Ki Bisma. Keduanya lalu menyimpan kitab Cayapata. Semenjak itu keduanya bersama-sama mempelajari kitab kuno itu selama perjalanan menuju Gunung Merapi.

Begitulah sampai tiba hari ini. Mereka berada di keramaian dan hiruk pikuk kota pelabuhan besar ini. Agar tidak menarik perhatian orang karena dirinya adalah seorang buronan kerajaan Majapahit, Dyah Puspita menyamar sebagai laki-laki muda yang tambun. Awalnya gadis cantik itu menolak penyamaran tersebut, tapi Arya Dahana meyakinkannya bahwa dia sama sekali tidak cocok menyamar menjadi pemuda gagah. Tubuhnya terlalu molek sehingga tidak mungkin menyembunyikan lekuk-lekuk tubuhnya jika menyamar seperti itu. Setelah berdandan sedemikian rupa di sebuah rumah penginapan, Dyah Puspita berubah menjadi seorang laki-laki muda yang gendut namun tampan.

Dyah Puspita banyak menyimpan keping-keping emas dan perak di kantong perbekalannya. Gadis itu berbelanja pakaian untuk mereka berdua. Pakaian yang mereka punya sudah habis dirobek-robek petualangan yang tak habis-habis. Pagi tadi mereka sudah sarapan garang asem yang sedap bukan main di sebuah angkringan pinggir pelabuhan. Tapi pagi belum juga beranjak pulang, Arya Dahana sudah merasakan perutnya berkeruyuk tidak karuan dan membujuk Dyah Puspita agar mereka mampir rumah makan lagi.

Dyah Puspita tidak tega untuk menolak. Pemuda itu sangat jarang sekali makan enak. Sekali-kali perutnya harus dimanja juga. Gadis itu sudah beberapa kali pergi ke kota Tuban sehingga sangat hapal dimana letak rumah makan enak di kota itu. Dibawanya Arya Dahana memasuki sebuah rumah makan besar yang ramai oleh pengunjung-pengunjung berduit. Bau masakan sudah menggoda hidung mereka begitu memasuki pintu rumah makan itu.

Keduanya mengambil tempat duduk untuk dua orang di sudut yang kosong. Memanggil pelayan yang tergopoh-gopoh datang melayani pesanan mereka. Ikan bakar, ayam bakar, sayur garang asem dan lalapan menjadi pilihan Arya Dahana kali ini. Dyah Puspita tersenyum maklum melihat betapa banyaknya pesanan pemuda itu. Dilihatnya wajah tengil dan konyol itu berseri-seri gembira. Gadis itu merasakan suasana ceria juga. Pikirannya melayang sebentar ke kejadian di gua aneh bercahaya. Kontan saja pipinya bersemu merah. Dia sangat tidak terkendali waktu itu. Tapi yang dia heran adalah dia tidak mencoba melawannya. Dia bahkan sangat menikmatinya. Uuuhhh, perasaan cintanya kepada pemuda itu telah mengalahkan kekuatan daya nalarnya.

Pesanan mereka segera datang. Arya Dahana mengusap-usap tangannya tidak sabar untuk menyerbu makanan-makanan lezat itu. Namun sebelum muda-mudi ini mulai menikmati makanan, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar rumah makan. Dua orang berbaju hitam-hitam memasuki rumah makan sambil berteriak-teriak marah diikuti oleh pemilik rumah makan yang mencoba menyabarkan dengan terbata-bata.

"Ini tidak bisa dibiarkan!...kalian telah melecehkan kami keluarga Sumowongso...sang Pendekar Tuak sendiri akan datang menghukum kalian..!"

"Sabar...sabar kisanak...dia tidak sengaja melakukan itu...kami akan bertanggung jawab mengganti semua kerugian yang timbul...tolonglah...kasihanilah kami.."

Namun dua orang berbaju hitam itu tidak peduli dengan rengekan pemilik rumah makan. Keduanya dengan pongah masuk ke dalam dan melihat galak ke sekeliling ruangan. Mata keduanya bertemu dengan seorang gadis cantik bercaping yang dengan santainya tetap menyeruput tehnya. Kedua orang ini berjalan mendekati si gadis cantik dan menggebrak mejanya dengan kasar.

"Kamu...kamu lah yang buat onar dan gara-gara dengan keluarga kami. Memang kamu pikir kamu siapa...tidakkah kamu tahu siapa kami..!"

Gadis bercaping itu mendongakkan kepalanya. Matanya yang indah terbelalak penuh kemarahan. Dia melompat berdiri dan dengan gerakan yang tak terlihat mata menampar kedua orang kasar itu.

plakkk...plakkk...brukkkk!

Kedua orang itu terpelanting dengan keras menimpa sebuah meja makan yang penuh dengan makanan. Kontan saja dua orang ini belepotan makanan dan air minum. Untungnya si gadis sama sekali tidak berniat melukai dan hanya berniat mempermalukan saja. Dua orang perusuh ini menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor lalu bangkit dan mendatangi gadis cantik itu dengan kemarahan yang berkobar. Bahkan mereka sudah mencabut pedang dari pinggang. Siap menyerang si gadis yang masih meneruskan makan minumnya seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan saat itu juga masuk sepuluh orang yang juga berpakaian hitam-hitam dengan sikap mengancam dan bersiap menyerang gadis itu.

Arya Dahana hendak bangkit namun duduk kembali dengan cepat setelah digamit oleh Dyah Puspita,"biarkan Arya...sepuluh orang itu tidak ada apa-apanya dibanding gadis itu."

Gadis cantik itu melompat ke atas meja, bertolak pinggang dan membuka capingnya. Nampaklah sekarang sepenuhnya wajahnya yang cantik manis. Arya Dahana terlonjak kaget. Hampir dia memanggil nama si gadis jika tidak ingat ada Dyah Puspita di sini. Sementara Dyah Puspita mengerutkan alisnya setelah melihat jelas muka si gadis. Bukankah ini gadis yang berada di pihak Blambangan saat pecah perang besar tempo hari? Gadis yang memporak-porandakan formasi pasukan Majapahit bersama murid Ki Hangkara yang manis dan lihai.

Putri Anjani mengedikkan kepala menantang. Matanya beredar ke sekeliling dengan ganas. Terdapat perubahan yang sangat besar pada raut muka gadis dari Istana Laut Utara itu. Masih cantik. Tambah cantik dan matang malah. Namun terbayang raut dingin dan maut di situ. Rupanya kedukaan yang luar biasa karena kehilangan ayahnya yang tewas di perang Blambangan membuat dirinya terselimuti oleh rasa duka dan dendam yang teramat dalam.

Mata gadis cantik itu bertemu dengan wajah Dyah Puspita. Sedikit menyipitkan mata lalu mata itu menyala seketika. Meskipun dalam wujud penyamaran, rupanya dia bisa mengenali Dyah Puspita. Salah satu tokoh Majapahit saat perang Blambangan. Lalu mata itu bertemu dengan tatapan Arya Dahana. Tersenyum misterius di sudut bibirnya yang tipis. Arya Dahana sedikit membalas senyuman itu. Mulutnya langsung tertutup ketika sebuah cubitan keras dan sangat serius mendarat di pinggangnya.

"Hmmmm.....kalian cecunguk-cecunguk pemabuk. Apa kalian kira aku takut pada Sumowongso dan antek-anteknya?! Apa kalian kira aku gentar karena di belakang kalian ada gadis pecundang dari Sayap Sima?!....majulah kalian semua!....aku ingin tahu seberapa hebat kalian kalau main keroyokan."

Suara Putri Anjani melengking tinggi penuh tantangan. Matanya tetap memandang kejam ke arah Dyah Puspita. Dyah Puspita mengelus dada meredam panas yang mulai merambat naik. Dia tidak perlu melayani gadis yang dipenuhi amarah itu. Dia tidak ada hubungan dengan Majapahit lagi sekarang. Bahkan statusnya adalah buronan yang paling dicari. Biarlah dia mengalah saja.

Orang-orang berbaju hitam itu menengok ke arah mata Putri Anjani menatap tajam. Sayap Sima? Tentu saja mereka sangat gembira jika ada tokoh Sayap Sima yang mendukung mereka. Siapa yang tidak mengenal ketangguhan tokoh-tokoh Sayap Sima? Tapi gadis Sayap Sima? Yang ada hanya seorang pemuda bodoh yang cengar-cengir masam dan seorang pemuda pesolek bertubuh tambun di sana.

Gerombolan berbaju hitam mengalihkan kembali perhatian dan kemarahan mereka kepada Putri Anjani. Tanpa peringatan lagi, belasan orang itu langsung menyerang Putri Anjani dengan hebat. Dasar berwatak pengecut, mereka semua menyerang dengan menggunakan senjata. Pecahlah pertarungan yang dahsyat. Putri Anjani mengerahkan kelincahannya menghindari serangan bertubi-tubi yang dilancarkan anak buah Sumowongso. Meja dan kursi berhamburan diterjang sana-sini. Rumah makan itu menjadi hancur berantakan.

Para pengunjung yang lain sudah sejak tadi tergopoh-gopoh keluar dari rumah makan. Kecuali Dyah Puspita dan Arya Dahana, hanya ada seorang pemuda berpakaian rapi yang selalu menundukkan muka di sudut lain yang masih tersisa, serta empat orang berbaju putih putih di sudut paling belakang yang memandangi pertarungan itu dengan serius.

Pertarungan itu sepertinya tidak berimbang. Belasan laki-laki gagah dan bersenjata lengkap mengeroyok seorang wanita cantik yang kelihatan lemah. Namun yang terjadi adalah kebalikannya. Belum sampai lima jurus berlalu, separuh dari pengeroyok itu sudah babak belur dihajar Putri Anjani. Sisanya tetap mencoba bertahan sambil terus melancarkan serangan demi serangan secara bergelombang. Putri Anjani memainkan jurus-jurus yang hebat dari pukulan Badai Laut Utara yang terkenal. Tak ayal, sisa pengeroyoknya sekarang terdesak dengan hebat.

Ketika satu per satu para pengeroyoknya berpelantingan terkena pukulan Putri Anjani, dan sepertinya tak lama lagi gadis cantik itu akan memenangkan pertempuran tersebut, mendadak berkelebat sesosok bayangan hitam memasuki pertarungan. Bayangan tinggi besar itu langsung menyerang Putri Anjani dengan dahsyat. Pukulannya sangat bertenaga sampai-sampai angin pukulannya saja sudah cukup memporak-porandakan semua perabotan yang masih utuh di rumah makan.

Putri Anjani terkejut bukan main. Ini baru lawan yang tangguh dan berbahaya pikirnya. Gadis ini dengan berhati-hati melayani serangan-serangan itu dengan tak kalah dahsyat. Pertempuran kini menjadi berimbang. Pria tinggi besar itu benar-benar tangguh. Gerakan-gerakannya aneh dan sukar ditebak. Tidak seperti lazimnya jurus-jurus silat yang berasal dari tanah Jawa. Tidak heran, pria ini adalah salah satu tokoh kawakan dari tanah seberang yang berjuluk Si Kumbang Hitam. Seorang Jawa yang lama bermukim di tanah seberang dan berguru pada perguruan silat terkenal di tanah seberang yaitu perguruan silat Macan Kumbang. Beberapa orang yang tersisa dari keluarga Sumowongso masih mengeroyok Putri Anjani. Perlahan-lahan Putri cantik Istana Laut Utara ini mulai terdesak.

Empat orang berbaju putih-putih yang sedari tadi hanya mengamati sekarang berdiri lalu terjun ke dalam pertempuran membantu Putri Anjani menghadapi keluarga Sumowongso. Empat orang ini adalah pimpinan pasukan yang tersisa dari pasukan Istana Laut Utara setelah perang besar Blambangan yang menewaskan sebagian besar pasukan tangguh itu.

Setelah empat orang ini turun tangan membantu Putri Anjani, posisi pertempuran kembali berimbang. Rumah makan besar itu benar-benar hancur berantakan tidak karuan. Pemilik rumah makan yang bersembunyi di sudut yang tidak kelihatan hanya bisa mengelus dada. Ini semua gara-gara gadis yang sedang bertempur itu. Beberapa hari yang lalu gadis ini menghajar seorang pemuda putra dari Sumowongso di rumah makan ini. Pemuda berandalan yang suka mabuk itu mencoba mengganggu si gadis cantik yang sedang makan. Si gadis yang sepertinya tidak suka berpikir panjang, menghajar habis-habisan pemuda mata keranjang itu. Si gadis tidak tahu bahwa pemuda itu adalah putera tunggal dari Sumowongso yang memiliki sebuah padepokan silat besar di Tuban.

Dan terjadilah buntut dari semua itu hari ini. Putri Anjani memang menginap di rumah makan sekaligus penginapan terbesar di Tuban ini. Dia sedang menunggu hari janji dengan seorang misterius yang mengundangnya datang ke Tuban. Gadis cantik itu tertarik karena dalam surat undangan disebutkan bahwa sedang berkumpul tokoh-tokoh dunia persilatan yang mempunyai dendam dengan Majapahit di Tuban. Mereka sedang menyiapkan sebuah gerakan besar yang akan mengguncang Majapahit.

Kembali ke pertempuran. Saat suasana sedang diramaikan oleh denting pedang dan suara pukulan dan tendangan. Masuklah seorang pria paruh baya bertubuh gendut ke dalam rumah makan. Tanpa ba bi bu lagi pria ini langsung terjun ke pertempuran menyerang Putri Anjani. Serangannya serabutan tidak karuan. Seperti orang mabuk berat yang sedang mengamuk kekurangan minuman. Namun ternyata serangan serampangan itu sangat dahsyat. Putri Anjani yang masih melayani Si Kumbang Hitam kelabakan diserang oleh jurus-jurus tidak beraturan tersebut. Apalagi tenaga yang keluar dari pukulan mabuk itu sangat luar biasa. Lebih kuat malah dibanding kekuatan pukulan Si Kumbang Hitam. Inilah rupanya Si Pendekar Tuak pikir Putri Anjani mengeluh dalam hati. Entah dia yang kurang berlatih atau memang saat ini banyak bermunculan tokoh-tokoh hebat yang dulunya tak pernah terdengar namanya. Kontan saja Putri Anjani terdesak luar biasa hebat dikeroyok dua orang tangguh ini.

"Hmmm...tidak pantas...tidak pantas..." Pemuda berpakaian rapi dan kelihatan sangat terpelajar itu ikut terjun ke medan pertempuran membantu Putri Anjani. Gerakan-gerakannya mantap bertenaga menggunakan jurus-jurus yang tidak asing lagi karena pemuda itu memang Ardi Brata murid Ki Biantara. Pertempuran pecah menjadi tiga sekarang. Putri Anjani tetap menghadapi Si Kumbang Hitam, Ardi Brata melayani Pendekar Tuak dan pasukan Laut Utara bertanding dengan orang-orang Sumowongso.

Karena tempat pertempuran menjadi sempit, orang-orang yang sedang dikuasai oleh amarah ini secara serempak berlompatan keluar rumah makan dan melanjutkan pertempuran di luar agar lebih leluasa. Arya Dahana yang penasaran sudah akan ikut melompat keluar namun mengurungkan niatnya karena Dyah Puspita menunjuk makanan di depan mereka. Pemuda itu dengan pasrah manggut-manggut dan langsung menyerbu makanan yang sudah mendingin tersebut. Dyah Puspita tersenyum simpul melihat kelakuan pemuda itu. Diapun ikut makan dengan lahap karena hari telah melampaui siang.

Setelah selesai makan, Dyah Puspita memanggil pemilik rumah yang sedang mengintip pertempuran dari balik jendela kecil di sudut rumah makan. Pemilik rumah makan menyebut angka sekenanya saja karena sudah pasrah dengan kehancuran hartanya. Dyah Puspita merasa iba. Dibayarnya makanan hingga 10 kali lipat harga yang disebutkan pemilik rumah makan. Bahkan ditambahkannya dua keping emas untuk menenangkan orang tua yang pucat dan lemas itu. Pemilik rumah makan itu terbelalak memandang kepingan emas di tangannya. Kepingan ini adalah kepingan mahal seri kerajaan Majapahit! Ini tidak hanya cukup untuk mengganti kerugian yang dideritanya, namun bahkan cukup untuk modal selama dua bulan! Sambil membungkuk-bungkuk penuh rasa terimakasih, pemilik rumah makan itu membukakan pintu bagi Dyah Puspita dan Arya Dahana keluar rumah makan. Setelah keduanya keluar, pemilik rumah makan buru-buru menutup pintu dan jendela rumah makan. Dia takut orang-orang ganas itu akan kembali masuk kemari.

Pertempuran di luar semakin seru. Putri Anjani berteriak-teriak melengking menandakan kekesalan hati karena lawan yang dihadapinya ini selalu bisa mengimbangi. Pasukan Laut Utara berhasil mendesak gerombolan Sumowongso. Sedangkan Ardi Brata mulai kewalahan menghadapi Pendekar Tuak yang semakin tangguh setelah minum beberapa kendi tuak yang dibawanya. Situasi mengkhawatirkan Putri Anjani dan kawan-kawannya diperparah dengan kedatangan sepasukan Sayap Sima kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh tokoh besarnya yang menjadi pahlawan perang Blambangan, Maesa Amuk. Bahkan nampak juga Dua Siluman Lembah Muria yang sekarang tinggal satu orang karena saudaranya tewas pada saat perang besar Blambangan. Pasukan ini adalah pasukan khusus Sayap Sima yang memang ditugaskan secara khusus untuk mencari dan menangkap semua buronan yang telah ditetapkan oleh kerajaan Majapahit.

Pasukan Sayap Sima mengepung arena pertempuran. Mereka mengenali Putri Anjani. Putri Laksamana Utara yang menjadi buronan Majapahit sejak perang Blambangan. Gadis itu ada di sini sekarang. Mahapatih Gajahmada pasti akan sangat senang jika buronan ini tertangkap. Maesa Amuk menggeram.

"Putri Anjani! Sebagai buronan kerajaan Majapahit kau kami tangkap! Menyerahlah, agar tak perlu kami menggunakan kekerasan."

Tentu saja Putri Anjani tak mengindahkan peringatan tersebut. Dia sedang sibuk dengan pertarungannya melawan Si Kumbang Hitam. Lagipula tak sudi dia menyerah pada begundal-begundal Majapahit yang telah membunuh ayahnya. Jika perlu, dia akan membunuh mereka semua. Melihat gadis itu tidak bereaksi terhadap peringatannya, Maesa Amuk memberi tanda kepada Siluman Lembah Muria.

"Putri Anjani! Ini peringatan terakhir bagimu untuk menyerah. Kami sudah melakukan tahapan peringatan. Jika kau tidak menuruti perintah maka kau kami tangkap dengan cara apapun.."

Putri Anjani melompat jauh ke belakang. Tangannya berkacak pinggang. Matanya terbelalak marah.

"Hey pembunuh! Antek Majapahit! Lakukan apa yang harus kau lakukan! Aku ingin tahu seberapa hebat kau bisa taklukkan aku! Kau telah membunuh ayahku! Aku akan mencabik-cabik tubuhmu.....!!!"

Maesa Amuk yang berwatak berangasan langsung menerjang ke depan. Tubuhnya yang tinggi besar melesat bagai kilat. Jauh sebelum tiba, angin pukulannya membuat baju Putri Anjani berkibar-kibar. Hati Putri Anjani sedikit tercekat. Pantas saja ayahnya yang sakti bisa dikalahkan orang ini. Gadis cantik yang sedang dipenuhi amarah ini langsung memainkan jurus-jurus dari pukulan Badai Laut Utara. Maesa Amuk yang pernah bertempur mati-matian melawan Laksamana Utara paham bahwa ilmu gadis ini tidak terpaut jauh dengan ayahnya. Tokoh sakti Majapahit ini tidak ingin bermain-main. Dia tidak ingin melukai gadis yang sedang dibakar dendam ini. Dia hanya ingin menangkap dan membawanya ke pengadilan sesuai perintah Sang Mahapatih. Setelah melihat kemampuan gadis ini, Maesa Amuk memutuskan dengan cepat. Dilambaikan tangannya kepada Siluman Lembah Muria.

Tokoh Sayap Sima yang telah kehilangan saudaranya ini, ikut menerjang maju menyerang Putri Anjani. Tak pelak gadis cantik ini segera terdesak hebat. Melawan salah satu dari mereka saja dia tidak sanggup menang, apalagi dengan dikeroyok berdua seperti ini. Tak perlu hitungan lama lagi, putri dari laut utara ini akan kalah dan tertangkap. Karena memang inilah tujuan Maesa Amuk mengajak Siluman Lembah Muria mengeroyok. Gadis ini harus dikalahkan dengan tidak melukainya.

Arya Dahana yang sejak keluar lagi menonton dari jarak yang tidak terlalu jauh, berbisik lirih kepada Dyah Puspita," Puspa, ini tidak adil. Dua orang pria gagah mengeroyok satu orang perempuan muda. Gadis itu sebentar lagi pasti akan terluka atau tewas jika kita biarkan." Matanya penuh permohonan saat berbisik lirih.

Dyah Puspita menghela nafas panjang. Dia tidak suka keadaan ini. Rasa keadilannya tersentuh, namun nalarnya mencegah berbuat lebih jauh. Dia adalah buronan nomor wahid kerajaan Majapahit. Penyamarannya pasti terbongkar kalau dia membantu gadis itu. Dia tidak rela membiarkan Arya Dahana membantu gadis itu. Dyah Puspita bisa melihat aura genit pada gadis dari laut utara itu.

Buukkkk...bukkk...brukkkk!

Tubuh Putri Anjani terpental bergulingan terkena pukulan Maesa Amuk dan Siluman Lembah Muria. Saat Maesa Amuk akan melanjutkan serangan berupa totokan ke tubuh gadis yang masih berusaha bangkit dengan sempoyongan itu, sebuah bayangan berkelebat menangkis serangannya. Maesa Amuk terhuyung mundur. Tenaga yang menangkisnya ini luar biasa kuat. Dilihatnya seorang pemuda berdiri di hadapannya sambil membungkuk," Paman yang hebat. Gadis ini sudah tidak berdaya. Mohon kemurahan hati agar paman sudi mengampuni dia."

Maesa Amuk mencoba mengingat-ingat. Rasanya dia pernah kenal pemuda ini. Tapi di mana? Ah ingatan tua ini sudah semakin payah, pikirnya putus asa. Namun pendekar tua ini lalu mengedikkan kepala dan berkata," Hmmm...anak muda. Ini bukan urusanmu. Ayo cepat pergi dari hadapanku. Gadis ini sangat berbahaya. Dia buronan nomor dua kerajaan Majapahit. Kamu akan dianggap pembangkang juga jika membantu seseorang yang telah ditetapkan sebagai buronan!"

Arya Dahana mengangkat kedua tangannya membentuk sembah," Paman yang baik. Aku bukan bermaksud membangkang. Aku hanya tidak mau paman yang hebat mengotori tangan terhadap buronan yang sudah tak berdaya. Maaf maaf."

Maesa Amuk mengerutkan keningnya. Matanya yang tajam tahu bahwa pemuda ini mempunyai ilmu yang tinggi. Digerakkan tangannya ke depan untuk menotok Putri Anjani yang mengerenyit kesakitan. Maesa Amuk mengerahkan tenaga sepenuhnya. Dia ingin tahu seberapa hebat pemuda yang pasti akan menahan gerakannya ini.

Dukkk...dukkk...aiiihhh

Hampir saja Maesa Amuk terjengkang ke belakang kalau tidak buru-buru mempertahankan keseimbangannya. Muka pendekar tua ini memucat. Dia sama sekali tidak menyangka tenaga pemuda ini begitu hebat. Lebih hebat dari tenaganya malah. Maesa Amuk tidak mau main-main lagi. Tubuhnya melesat ke depan menyerang Arya Dahana dengan dahsyat. Siluman Lembah Muria ikut menyerang Arya Dahana. Putri Anjani yang bisa sedikit memulihkan tubuhnya berjalan menjauhi pertempuran. Lalu duduk bersila mencoba menyembuhkan luka dalamnya yang cukup hebat. Sambil terus memperhatikan jalannya pertempuran.

Arya Dahana melayani dua orang tangguh ini sambil menyempatkan memberi tanda kepada Dyah Puspita agar tidak ikut campur dalam pertempuran ini. Pemuda ini memang tidak mempunyai banyak jurus maupun ilmu pukulan. Namun Geni Sewindu tingkat tertinggi yang sudah mulai dikuasainya cukup untuk mengimbangi kedahsyatan pukulan-pukulan Maesa Amuk dan Siluman Lembah Muria. Satu-satunya hal yang paling dihindari oleh pemuda ini adalah timbulnya kemarahan hebat di hatinya. Karena itu akan mendorong hawa murni di tubuhnya yang berlawanan akan saling berbenturan dan mengakibatkan pukulan dahsyat terdorong membalik ke dirinya sendiri.

Dyah Puspita menjadi cemas bukan kepalang melihat Arya Dahana dikeroyok oleh dua tokoh hebat Sayap Sima. Dia mengerti kenapa Arya Dahana memberi isyarat agar dirinya tidak ikut campur dalam pertempuran. Dia adalah buronan nomor satu kerajaan Majapahit. Gadis ini yakin, berita mengenai keberadaan buronan kerajaan Putri Anjani pasti telah sampai ke markas Sayap Sima sekarang. Dan itu berbahaya bagi mereka berdua karena tidak akan perlu waktu lama bagi tokoh-tokoh sakti Sayap Sima untuk sampai ke tempat ini.

Bagaimanapun Dyah Puspita siap kapanpun diperlukan untuk membantu Arya Dahana jika pemuda itu terdesak dan dalam kondisi membahayakan jiwanya. Dia melihat Arya Dahana tidak terdesak namun juga tidak bisa mendesak lawan-lawannya. Tubuh pemuda itu mulai diselimuti cahaya keperakan. Dyah Puspita kagum. Pemuda ini memang dianugerahi bakat dan kemalangan yang tidak biasa. Seandainya waktu kecil dulu racun racun paling hebat di muka bumi ini tidak mengenai tubuhnya dengan takaran yang pas, sudah bisa dipastikan pemuda ini tidak akan ada lagi di dunia ini. Karena takaran yang pas tadi, bahkan membuat tenaga Arya Dahana menjadi berlipat-lipat dahsyatnya meskipun resikonya juga mematikan jika pemuda itu diliputi oleh hawa kemarahan.

Putri Anjani memandang kagum pada pemuda yang menolong dirinya itu. Gerakan-gerakan pemuda itu sederhana, namun tenaga pukulannya sangat dahsyat. Dan sinar keperakan itu? Luar biasa sekali. Itu pasti ilmu langka yang hanya sedikit orang bisa menguasainya. Dia kemudian teringat Andika Sinatria. Pangeran tampan yang memikat hatinya di Galuh Pakuan. Pangeran itu juga seorang pesilat hebat dan tangguh. Dua orang itu adalah pemuda pemuda yang layak untuk dikagumi.

Pertempuran di tiga gelanggang yang terpisah itu semakin lama semakin dahsyat. Ardi Brata yang terdesak oleh lawan, sekarang hanya bisa mempertahankan diri saja. Sedangkan empat orang pimpinan pasukan Istana Laut Utara sudah menguasai jalannya pertempuran. Orang-orang Sumowongso kini kewalahan. Pendekar Tuak Sumowongso sendiri yang sedari tadi masih belum terjun lagi ke pertempuran sedang mengamati keadaan. Dia segan mencampuri urusan tokoh-tokoh Sayap Sima. Bisa runyam jika Majapahit menganggapnya lancang. Pria ini juga melihat bahwa Putri Anjani sedang memulihkan diri akibat pukulan Maesa Amuk dan Siluman Lembah Muria tadi. Gadis ini tidak mungkin bisa melarikan diri karena puluhan pasukan Sayap Sima sudah mengepung gelanggang. Lalu dia melihat anak buahnya kewalahan melawan empat pimpinan pasukan Istana Laut Utara. Tinggal menunggu waktu saja sampai anak buahnya itu tewas atau terluka.

Sumowongso menggerakkan tubuh membantu anak buahnya. Tubuhnya yang gendut melayang ringan mengirimkan pukulan-pukulan kepada anak buah Putri Anjani yang terkaget-kaget mencoba menghindar atau menangkis. Tingkat ilmu pendekar Tuak tentu saja masih jauh lebih tinggi. Tak lama kemudian, dua dari empat anak buah Putri Anjani sudah tergeletak pingsan terkena pukulan Sumowongso. Putri Anjani yang melihat ini menjadi marah bukan main. Gadis ini mencoba bangkit dari duduknya namun rasa sakit yang teramat sangat menyengat bahu dan dadanya. Dia terduduk kembali sambil menyeringai kesakitan.

Kembali dua anak buah Putri Anjani yang tersisa menerima pukulan dahsyat dari Pendekar Tuak. Dua orang ini malah bernasib lebih buruk karena langsung tewas seketika. Putri Anjani menjerit nyaring penuh kemarahan. Tubuhnya dipaksakan menerjang maju ke arah Sumowongso. Tangan Pendekar Tuak mengirimkan pukulan pukulan bertenaga ke tubuh Putri Anjani yang langsung saja terkapar tak berdaya. Meski tidak sampai pingsan namun gadis ini hanya pasrah saja ketika Pendekar Tuak mengangkat tangannya dengan niat menghabisi. Melihat ini, Dyah Puspita hampir maju ke depan jika tidak melihat Arya Dahana sudah berkelebat menghadang pukulan Sumowongso disertai kemarahan.

"Orang tua tak punya rasa! Lawan sudah tak berdaya saja akan kau habisi dengan kejam...hmmm."

Dukkkk...dukkkk...aaahhhhh

Tangan Sumowongso yang sudah hampir mengenai kepala Putri Anjani tergetar hebat. Bahkan hawa panas yang sangat membakar menjalar naik ke lengan Pendekar Tuak ini setelah bertemu dengan tangan Arya Dahana. Pemuda ini mengerahkan tenaga pukulan Geni Sewindu untuk menangkis. Rasa marahnya hanya sebentar karena dia datang tepat waktu sehingga nyawa gadis laut utara ini masih bisa terselamatkan. Arya Dahana sudah cemas pukulannya akan membalik karena dorongan amarah tadi. Namun ternyata tidak terjadi apa-apa. Namun pemuda ini tidak sempat berpikir lebih lama karena dua tokoh Sayap Sima kembali menyerangnya dengan dahsyat.

Terdengar suara mengaduh saat Ardi Brata terpelanting ke belakang setelah beradu pukulan dengan Si Kumbang Hitam. Sementara Si Kumbang Hitam hanya terhuyung-huyung saja. Pemuda yang jatuh terpelanting ini mencoba untuk berdiri namun kembali terhuyung jatuh. Dia terluka dalam yang cukup hebat. Dyah Puspita tidak bisa menahan diri lagi. Keadaan akan semakin memburuk jika dia tidak segera turun tangan. Tubuhnya melesat ke depan menyerang Si Kumbang Hitam. Tokoh satu ini tak pelak langsung melayani serangan hebat Dyah Puspita yang masih dalam penyamaran sebagai pemuda pesolek bertubuh tambun.

Pertempuran sekarang tersisa dua gelanggang. Arya Dahana tetap bertahan dengan baik melawan Maesa Amuk dan Siluman Lembah Muria. Sedangkan Dyah Puspita bertanding dengan seimbang menghadapi Si Kumbang Hitam. Putri Anjani dan Ardi Brata hanya bisa menyaksikan sambil memulihkan diri.

Arya Dahana sebenarnya ingin mencoba ilmu yang baru-baru ini dipelajarinya bersama Dyah Puspita dari Kitab Danu Cayapata. Namun pemuda ini ragu-ragu. Ilmu tersebut mempunyai dasar pukulan dingin. Hawa murni yang selama ini belum berhasil dia kendalikan adalah hawa racun dingin di dalam tubuhnya. Dia khawatir hal ini akan membahayakan jiwanya.

Sembari bertempur, Arya Dahana menyempatkan diri beberapa kali melirik pertarungan antara Dyah Puspita melawan Si Kumbang Hitam. Hatinya lega saat melihat Dyah Puspita sama sekali tidak kelihatan terdesak bahkan seringkali membuat tokoh itu kewalahan menahan serangan-serangan gadis cantik itu.

Jika dilanjutkan, maka pertarungan antara Dyah Puspita dan Si Kumbang Hitam akan berlangsung lama meski terlihat sekarang Si Kumbang Hitam semakin terdesak. Sedangkan pertarungan antara Arya Dahana menghadapi Maesa Amuk dan Siluman Lembah Muria sangat berimbang hanya karena kehebatan Geni Sewindu Arya Dahana yang sudah mencapai puncaknya dan bukan karena pemuda itu memiliki tingkat ilmu yang lebih tinggi dari mereka berdua.

Mendadak terdengar sorak-sorai pasukan Sayap Sima. Arya Dahana dan Dyah Puspita melihat rombongan berkuda mendatangi tempat itu. Dipimpin oleh seorang pria tampan berusia empat puluhan yang terlihat pesolek dan genit. Hidung Belang Pesisir Barat! Teriak muda-mudi itu dalam hati. Bukankah tokoh pemetik bunga itu tewas ketika terjadi kegaduhan perebutan Kitab di Ranu Kumbolo? Kenapa dia tiba-tiba muncul di tempat ini?

Ternyata pada saat pusaran angin dan air membuat perahu Madaharsa terbalik dan menenggelamkan tubuhnya ke danau yang dingin, Madaharsa berhasil terselamatkan karena ditolong oleh seorang yang misterius. Bahkan orang misterius itu memberikan sebuah kitab kecil yang berisi ilmu pukulan Bayu Lesus. Memberikan petunjuk kepada Madaharsa bagaimana cara mempelajari kitab dan meningkatkan kemampuan kanuragannya. Selama puluhan purnama, Madaharsa menyepi di hutan pinggir Ranu Kumbolo mendalami kitab sakti. Saat tokoh sesat itu merasa cukup menguasai ilmu tersebut, dia kembali ke Majapahit dan mendapatkan kabar bahwa perang besar Blambangan telah meletus dan menghabisi beberapa sekutunya seperti Argani dan Aswangga.

Kepulangan kembali Madaharsa diterima dengan baik oleh Mahapatih Gajahmada yang harus kehilangan beberapa orang penting dalam perang besar Blambangan. Bahkan Sang Mahapatih mengangkat Madaharsa sebagai wakil Ki Tunggal Jiwo dalam struktur pasukan Sayap Sima. Menggantikan Dyah Puspita yang sudah dicap sebagai pembelot dan buronan kerajaan.

Hingga sampailah pada saat ini. Madaharsa sudah mendapatkan kabar dari telik sandi bahwa akan ada sebuah pertemuan besar di Tuban yang melibatkan tokoh-tokoh penting dunia persilatan. Dia sendiri berangkat ke Tuban dengan membawa pasukan kecil setelah berunding dengan Ki Tunggal Jiwo. Begitu mendekati kota Tuban, Madaharsa mendapatkan kabar terbaru dari telik sandi bahwa terjadi pertempuran di sebuah rumah makan besar di Tuban antara pasukan Sayap Sima melawan beberapa orang yang salah satunya adalah Putri Anjani, buronan kerajaan. Buru-buru Madaharsa dan pasukan kecilnya menuju tempat yang dimaksud dan ternyata benar, Maesa Amuk dan Siluman Lembah Muria tengah beradu ilmu dengan pemuda putera mendiang Arya Prabu. Dan ada lagi satu pertarungan antara seseorang berilmu asing melawan seorang pemuda tambun.

Madaharsa mengangkat tangannya sebagai isyarat berhenti bagi pasukannya. Dia memperhatikan pertempuran antara pemuda tambun melawan orang asing itu berlangsung seimbang meski keunggulan ada pada si pemuda tambun. Sedangkan Maesa Amuk dan Siluman Lembah Muria sama sekali tidak bisa mendesak putera mendiang Arya Prabu itu.

Tokoh sesat pemetik bunga ini menggerakkan tubuhnya ke depan menghantam Arya Dahana dengan ilmu baru yang dimilikinya, pukulan Bayu Lesus. Angin kencang menderu deru melabrak Arya Dahana yang sedang bertarung dengan gigih. Akibat serangan curang ini, tubuh Arya Dahana terpental bergulingan. Untung saja pemuda itu tadi sempat menangkis seadanya sehingga pukulan Madaharsa tidak melukainya. Namun tetap saja, angin pukulan dahsyat itu membuat tubuhnya terjengkang bergulingan.

Dyah Puspita berteriak cemas melihat tubuh Arya Dahana bergulingan. Dia tidak sadar bahwa suara aslinya sebagai perempuan keluar tanpa sengaja. Madaharsa tertarik mendengar suara teriakan Dyah Puspita. Rasa rasanya dia kenal baik dengan suara itu. Madaharsa berkelebat cepat dan mendorongkan pukulan ke Dyah Puspita. Kembali suara angin menderu dahsyat keluar dari kedua tangannya. Pukulan Bayu Lesus sangatlah berbahaya. Ini adalah pukulan kuno dan langka yang ratusan tahun telah menghilang dari dunia persilatan.

Angin pukulan itu membuat pakaian dan gelungan rambut Dyah Puspita terbongkar paksa. Rambutnya yang panjang tergerai hingga pinggang dan baju samarannya amburadul terhempas angin pukulan ini. Wajah Dyah Puspita memerah menahan malu dan marah. Gadis ini memang berhasil menghindari pukulan dengan melompat tinggi ke belakang. Tapi samarannya terbongkar habis. Kembalilah dia menjadi Dyah Puspita yang cantik jelita.

"Ahaaaa...sudah aku duga! Siapa lagi yang punya ilmu pukulan Braja Musti dan tubuh semok molek kalau bukan anak Ki Tunggal Jiwo...ha ha ha..." Madaharsa tertawa puas.

"Dasar orang tua gila mata keranjang!.....wusssss.." Sosok Arya Dahana berkelebat menghantam Madaharsa yang masih tertawa-tawa genit.

Pukulan yang dilancarkan pemuda itu adalah pukulan Busur Bintang yang baru dipelajarinya beberapa hari. Pemuda ini menghindari menggunakan Geni Sewindu karena saat ini dia sedang dalam hati penuh amarah. Sangat berbahaya baginya jika pukulan itu membalik karena ilmu Geni Sewindu sudah dikuasainya hingga tingkat tertinggi. Pukulan busur bintangnya masih sangat mentah. Namun karena pemuda ini memiliki tenaga aneh beracun yang bersifat dingin luar biasa, hawa pukulan itu sangat menggidikkan. Madaharsa benar-benar tercekat. Pukulan ini berbau racun memuakkan yang tidak asing baginya dan terasa dingin hingga ke tulang sungsum. Pemuda ini sangat berbahaya. Dia tidak bisa main-main. Kedua tangannya didorongkan ke depan mengeluarkan ilmu pukulan Bayu Lesus sepenuhnya. Tidak ada angin menderu yang menyertai pukulan itu, tapi beberapa pohon yang searah dengan pukulan itu bergoyang-goyang keras mau tumbang. Arya Dahana tidak coba menghindar atau menarik pukulan Geni Sewindunya. Kedua tangannya bertemu dengan kedua tangan Madaharsa. Sebuah ledakan keras tercipta seketika.

Arya Dahana terpental keras ke belakang. Pemuda itu harus jungkir balik beberapa kali untuk mematahkan dorongan yang keras luar biasa. Madaharsa juga terpelanting keras. Dia tidak sempat mematahkan dorongan akibat benturan tenaga hebat tadi. Tubuhnya bergulingan dan baru berhenti ketika menabrak Putri Anjani yang sedang duduk bersila. Keduanya terjengkang jatuh. Namun secepat itu juga Madaharsa bangkit sambil mencengkeram leher Putri Anjani yang mengaduh kesakitan.

"Pemuda dungu! Menyerahlah...atau leher cantik ini akan patah jadi dua!" teriak Madaharsa penuh ancaman.

Arya Dahana menghentikan langkahnya. Hatinya tercekat. Tokoh yang satu ini sangat licik dan penuh muslihat. Tidak bisa ditebak apa yang dipikirkan dan apa yang akan dilakukan. Dia harus berhati-hati. Leher gadis itu jadi taruhannya.

"Baiklah Madaharsa. Sekarang apa maumu?" Arya Dahana memundurkan langkah.

Tokoh itu tertawa terkekeh-kekeh. Keadaan sekarang menguntungkan dirinya. Sambil tetap mencengkeram leher Putri Anjani yang terkulai lemas karena telah ditotok, bahkan totokan yang dilakukannya adalah totokan Bayu Lesus yang dahsyat dan tidak mungkin bisa dibebaskan dalam waktu cepat. Madaharsa berkata licik.

"Pemuda dungu! Totok sendiri jalan darah di pangkal lengan dan kakimu. Tapi sebelumnya kau totoklah jalan darah Dyah Puspita...jika tidak, leher gadis buronan ini akan patah di depan matamu... "

Arya Dahana termangu-mangu mendengar ancaman yang sangat serius itu. Ditatapnya mata Madaharsa lekat lekat. Mata pemuda itu memerah menahan amarah. Tokoh sesat ini benar-benar jahat. Padahal jika bertarung sungguhan, belum tentu dia menang. Tapi tokoh itu menggunakan kelicikan untuk membuatnya tak berdaya. Benar-benar licik!

Arya Dahana berpandangan dengan Dyah Puspita yang sudah berdiri di sampingnya. Dua pasang mata itu bertemu dan saling mengerti. Tangan Arya Dahana bergerak cepat ke lengan Dyah Puspita. Gadis itu mengeluh lirih dengan lengan terkulai. Pemuda itu lalu menotok aliran darah di kaki lalu bahunya. Pemuda itu jatuh terduduk dengan lengan tergantung di kedua bahunya.

Madaharsa tersenyum licik. Didorongnya tubuh Putri Anjani ke depan. Gadis itu terguling di sebelah Arya Dahana dengan tubuh lemas tak bertenaga. Madaharsa maju ke hadapan Dyah Puspita yang berdiri lemah. Dipandanginya tubuh dan wajah gadis cantik itu dengan mata memerah penuh nafsu. Sudah lama dia memendam rasa penasaran kepada gadis ini. Sampai-sampai dia bersumpah dalam hati bahwa suatu saat dia harus mendapatkan dan menikmati tubuh gadis itu. Dia adalah penjahat pemetik bunga yang mudah mendapatkan gadis cantik manapun. Sukarela maupun paksa. Namun ada juga beberapa gadis incarannya yang menolak. Inilah yang selalu membuatnya penasaran. Dyah Puspita adalah gadis cantik dan molek yang dulu sering sekali bersamanya pada saat masih sama-sama di Sayap Sima. Akan tetapi tentu saja Madaharsa berpikir seribu kali karena gadis itu adalah anak dari Ki Tunggal Jiwo. Tokoh sakti yang lebih lihai darinya.

Tapi itu dahulu. Sebelum Dyah Puspita ditetapkan sebagai buronan dan masih menjadi salah satu pimpinan Sayap Sima. Dan sekarang wajah dan tubuh indah yang diidam-idamkannya itu ada di depan matanya. Tak berdaya. Madaharsa seperti seekor singa kelaparan yang disodorkan rusa muda tak berdaya di depannya. Dia tak peduli banyak pasang mata yang memperhatikan kelakuannya. Diulurkannya tangan berusaha menyentuh dada gadis itu dengan bernafsu.

Terdengar suara menggeram marah. Sebuah kilatan kecil berwarna keperakan menyambar ke arah Madaharsa. Tokoh ini dengan panik berusaha mengelak karena kilatan itu hawanya sangat panas menyengat. Untung saja Madaharsa bertindak tepat waktu karena begitu kilatan menghantam sebuah pot bunga besar di pinggir jalan, pot bunga itu hancur menjadi abu dengan seketika. Madaharsa terbelalak ngeri. Seandainya dia terlambat sekejap saja, pastilah bagian tubuh yang terkena akan hancur menjadi debu. Dia menoleh ke arah asal kilatan itu. Dilihatnya Arya Dahana memandang marah ke arahnya dengan mata terbeliak sehingga warna matanya yang bersinar keperakan terlihat dengan jelas.

Luar biasa! Pemuda itu bisa menyalurkan hawa murni hingga ke matanya! Tingkatan tenaga murni yang dimiliki pemuda sudah mencapai tingkatan yang mengerikan. Madaharsa menutupi kejeriannya dengan membentak marah.

"Hey! Pemuda dungu! Kau mengingkari janjimu! Aku pikir seorang pendekar akan malu jika mengingkari janjinya sendiri...!"

Arya Dahana memejamkan mata sambil mengerahkan hawa murni yang berputaran di perutnya. Dalam sekejap mata totokan di tubuhnya terlepas dan pemuda itupun bebas. Arya Dahana maju ke depan dan menatap Madaharsa dengan garang.

"Hmmmm....siapa yang mengingkari janji orang bejat! Kau adalah orang paling tidak layak untuk menyentuh Puspa. Karena itu aku berniat mencabut kemaluanmu yang sesat itu..."

Arya Dahana melepaskan totokan Dyah Puspita dan menyambar tubuh Putri Anjani sambil meneruskan perkataannya.

"Kita impas sekarang Madaharsa. Ayo Puspa...kita tinggalkan tempat terkutuk ini.." Dyah Puspita mengangguk sambil menatap Madaharsa penuh kebencian. Hampir saja dia tadi dipermalukan di depan orang banyak oleh orang bejat ini. Madaharsa hanya bisa melotot penuh kecewa. Dia tidak menyangka daging segar di depan mata lepas begitu saja. Jika saat ini dia memaksakan diri untuk mencegah mereka kabur, akan terjadi pertumpahan darah besar-besaran di sini. Maesa Amuk dan Siluman Lembah Muria belum tentu mau membantunya karena terlihat jelas dia tadi berniat buruk kepada Dyah Puspita. Dan jika itu terjadi, dia akan berada di pihak yang lemah. Karena itu dia membiarkan saja saat orang orang muda ini pergi.

Sebelum melesat meninggalkan tempat, Arya Dahana mengangguk dalam-dalam kepada Ardi Brata yang juga sudah bangkit dari samadi pemulihan dirinya," Salam Pendekar...sampai ketemu di kesempatan yang lebih baik....terimakasih"

Arya Dahana berkelebat pergi sambil menggendong Putri Anjani, diikuti oleh Dyah Puspita. Maesa Amuk tidak berminat untuk mengejar dua buronan kerajaan itu. Dia sudah kehilangan semangat semenjak kedatangan Madaharsa tadi. Dia segera memerintahkan pasukannya pergi dari tempat itu. Anak buah Putri Anjani juga sejak tadi diam-diam telah melarikan diri. Madaharsa akhirnya memutuskan untuk kembali ke ibukota Kerajaan Majapahit dengan tangan hampa.

***