waktunya pulang sekolah, hari ini aku bersama ciri lagi. aku mengambil sosis di kulkas pemberian ketua kelas tadi, aku tidak sadar kalau sosis satu kantung penuh itu banyak, sangat banyak. aku tidak terlalu suka sosis, dan tentu saja keluarga ku tidak bisa menghabiskan sosis sebanyak ini sebelum kita eneg dengan sosis.
mungkin lebih baik jika aku berikan setengahnya ke ciri, hitung-hitung sebagai balas budi pemberiannya tadi.
ciri sedang membersihkan papan tulis karena hari ini giliran dia piket, aku mendatanginya. "ciri, apakah kamu mau sosis?" tanyaku ke ciri.
"kamu baru sembuh langsung mau ngelakuin pelecehan seksual?" katanya dengan datar dan tanpa menengok ke arah ku sedikitpun.
"bukan sosis itu yang kumaksud, yang ini!" kataku sembari menunjukkan satu kantung penuh dengan sosis di depan wajahnya.
"aku kira kamu habis sakit berubah jadi orang mesum." setelah itu dia selesai membersihkan papan tulis dan berkata, "aku mau. jadi, mana wadahnya?"
"maksudnya?" tanyaku kebingungan.
"ga mungkin kan aku bawa sosis sebanyak itu-" katanya dengan menunjuk kantung plastik besar berisi sosis yang kubawa "- di dalam tasku." lanjutnya sembari menunjuk tas yang kubawa.
aku tidak memikirkan itu tadi.
"atau kalau kamu mau banget ngasih sosisnya ke aku, nanti ikut aku sampai rumah, biar langsung bisa kumasukin ke kulkas." tambahnya.
"aku ikut."
dia menoleh kepadaku lalu memalingkan wajahnya. setelah itu ia ke bangkunya untuk mengambil tasnya dan berjalan keluar kelas, lalu menoleh kepadaku yang masih berdiri di depan papan tulis, dan berkata "ayo, nunggu apa lagi?"
***
sekarang aku berjalan dengan ciri berduaan lagi, yang berbeda hanyalah sekarang aku membawa sosis.
"ren, kenapa latar kita selalu sepi?" ciri dengan pertanyaan anehnya lagi. "apa menurutmu penulis kita terlalu malas untuk menulisnya? atau dia memang sengaja?"
"huh? aku tidak paham apa yang kamu maksud." aku benar-benar tidak mengerti yang apa dia katakan kali ini.
"bukankah para pembaca akan lebih mudah menggambarkan apa yang terjadi jika dunianya tidak terasa kosong?"
mungkin lebih baik aku mengikutinya saja, dengan pengetahuan sastra ku yang minim. "tetapi, bagaimana jika dia memang sengaja untuk membiarkan imajinasi pembaca mengisi kekosongannya?"
"bukankah dia hanya malas?" kata ciri. "jika dia adalah seorang penulis terkenal orang-orang akan menganggapnya sebagai artistik atau semacamnya, tetapi kalau dia hanyalah penulis amatiran orang-orang pasti menganggapnya dia malas, kan?"
"bukannya itu semua tergantung bagaimana mereka menulisnya?" aku tidak dapat melihat bagaimana popularitas bisa mempengaruhi persepsi orang lain.
"tetapi seni adalah hal yang subjektif, jadi tidak semudah itu." jawabnya. "jika seseorang adalah penggemar dari karyanya, pasti akan ada bias." tambahnya. "misalnya seorang author manga mingguan yang membuat ceritanya menjadi sangat panjang walaupun plotnya tidak berbeda jauh dan tidak ada character development." lalu ia menghela nafas dan melanjutkan apa yang ia katakan. "menurutmu bagaimana respon para pembaca?"
"jika dia bisa bertahan selama itu berarti orang-orang menyukainya kan?" jawabku dengan tidak yakin.
"sekarang bayangkan jika ada author lainnya yang tidak sepopuler dia yang memanjangkan ceritanya namun dengan development dan plot yang terus menarik." lalu ia menundukkan kepalanya, "karena karyanya diluar hypetrain maka orang-orang akan bilang 'kenapa dia terus memeras seri ini walaupun ini tidak populer?' dan karena fansnya tidak terlalu banyak, komentar negatif itu akan terlihat lebih mencolok dan memberikan kesan negatif ke orang yang bahkan belum membacanya."
"kenapa seperti itu?" tanyaku balik.
"karena banyak orang yang mengira segalanya yang populer itu bagus." setelah itu ia berhenti berjalan, "oh ga kerasa udah sampai."
ini pertama kalinya aku ke rumah ciri, rumahnya terlihat seperti rumah biasa berlantai 2. yang mungkin berbeda hanyalah suasananya terlihat sepi.
"ren, mau makan malam disini?" tanya ciri, aku tidak sadar dia sudah di dalam.
seharusnya ciri bilang dari tadi jika ingin mengajakku makan malam di rumahnya, karena ibu pasti sudah memasak makananku sekarang. "ah, ga usah."
"tunggu sebentar, aku ambil sesuatu untuk membawa sosisnya." kata ciri sebelum dia masuk ke dalam lagi, mencari sesuatu. tak lama kemudian dia kembali dengan sebuah kantung plastik "masukin sosisnya kesini."
aku dan ciri membaginya hingga kira-kira kita berdua mendapatkan jumlah yang sama.
setelah itu ciri mendekatiku dan membisikkan "besok jangan bawa bekal, atau aku tidak akan memaafkanmu."
itu terdengar seperti ancaman, aku hanya mengangguk lalu mengatakan selamat tinggal kepadanya dan pulang ke rumah.