Saat pulang dari sekolah sekitar pukul dua siang, Naren dan Sita saling memandang ketika melihat beberapa kendaraan yang terparkir manis di pekarangan rumah mereka. Awalnya mereka berdua penasaran dengan keberadaan tamu tersebut, tapi setelah mendengar suara tangisan parau seorang perempuan yang berasal dari dalam rumah, keduanya membuang rasa penasaran tersebut. Wajah mereka berubah masam.
"Nenek," gumam Sita kesal dengan nada penuh kebencian. Di kehidupan sebelumnya perempuan tua dengan kasihsayang yang berat sebelah itu menjadi salah satu penyebab ayahnya dipecat dari pekerjaan, dan saat keluarga mereka membutuhkan bantuan, manusia yang disebut nenek inilah menjadi orang yang paling menghina mereka dan tidak mau mengulurkan tangan. Ingatan dari kehidupan masalalu membuat Sita menyimpan dendam terhadap sang nenek.
Melihat Sita yang ogah-ogahan masuk dan masih berdiri dekat motor, Naren mendesah, dia kemudian menggandeng tangan kembarannya dan berkata, "Masuk yuk."
Sita mengangguk enggan, namun ketika keduanya tiba di depan pintu rumah, Sita tersentak mundur. Dia terlihat ingin kabur, namun karena cengkraman Naren yang kuat di lengannya, jadi dia hanya bisa bersembunyi di belakang si adik.
"Ya ampun," gumam Naren pelan. Dia dan Sita saling melirik saat melihat 'keramaian' yang membuat sesak di ruang tamu.
Mengucapkan salam, Naren dan Sita hanya berani berdiri di depan pintu. Keduanya tidak berani masuk. Selain karena suasana di ruang tamu sedang tak kondusif, nenek, bibi, paman dan beberapa sepupu yang tampak serius berbicara dengan papa dan mama (diiringi suara tangisan pilu si nenek dan juga suara teriakan sepupu kecil yang berlari kesana-kemari), ada juga lebih dari selusin entitas dengan berbagaimacam wujud tragis dan menyeramkan mengelilingi para keluarga di ruang tamu, mereka tampak marah dan sedih.
Naren gugup, walau selama beberapa minggu ini dia sudah terbiasa melihat berbagaimacam wujud hantu yang mengerikan (terutama dari Sita), dia benar-benar tidak terbiasa melihat entitas sebanyak itu. Lagipula usianya sekarang baru 18 tahun, jadi wajar baginya untuk merasa guguup dan takut.
"Kak?" Naren mengernyit saat merasakan tangan Sita berubah dingin, gemetar, dan dia terlihat sesak. Naren khawatir. Meskipun Sita pernah punya jam terbang yang tinggi sebagai hantu, dan termasuk dalam kategori hantu ganas, kondisi raganya saat ini sangat tidak memungkinkan untuk mengahadapi para entitas sebanyak itu. Selain itu Naren takut kalau Sita mendadak kesurupan karena raganya menjadi rebutan para entitas.
"Masuk lewat pintu belakang," usul Sita sambil mengerjap tak fokus.
Naren mengangguk.
Keduanya bingung sekaligus penasaran dengan alasan, kenapa nenek dan yang lainnya diikuti oleh entitas sebanyak itu, dari pembicaraan pihak keluarga di ruang tamu, Sita dan Naren menebak bahwa ini berkaitan dengan kasus yang sedang menimpa Om Tris (adik Pak Arya, Papa Naren dan Sita).
Ekspresi Sita berubah dingin, kedatangan Nenek dan keluarga lainnya hari ini perihal kasus Om Tris, sama seperti yang terjadi di kehidupan mereka di masalalu. Nenek meminta bantuan Papa untuk menggunakan koneksinya agar hukuman Om Tris ringan, hal itu membuat Papanya dipecat dari pekerjaannya di militer dan kehidupan ekonomi keluarga mereka mulai sulit. Sita berjanji dalam hati, kalau dia tidak akan membiarkan Papanya dipecat karena membantu Om Tris.
"Kak, lu nggak papa kan?" Naren merasakan perubahan suasana hati saudara kembarnya.
Sita menggeleng.
Keduanya masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang tanpa menarik perhatian keluarga lain, namun si kembar tidak menyadari kalau ada satu entitas yang sudah memperhatikan mereka sejak keduanya muncul di depan pintu.
"Kakak, Abang!" Naren dan Sita disambut oleh sosok kecil Waruna yang sedang asik main mobil-mobilan sendirian di lantai dapur.
"Nunaaannn!" Sita berjongkok mencium pipi adik bungsunya gemas, "sedang main ya?"
Bocah berusia tiga tahun itu mengangguk, "Hu'um."
"Kok main sendiri? Nggak main sama teman di depan?" Tanya Sita, karena setahunya Waruna bukan introvert, dia bocah supel yang periang.
"Ndak mayuu," Waruna menggeleng keras.
"Nanci nenyek ambiy mobil bayu nunan buat tasih ke pa'iz. Nunan ndak mayu. Nunan ndak cuka."
"Oh iya." Sita meringis. Kehadiran para entitas tadi membuatnya lupa dengan keberadaan si nenek bias di ruang tamu. Beliau lebih suka cucu-cucu yang lahir dari anaknya yang lain, ketimbang mereka (terutama anaknya Om tris, mereka yang paling disukai). Jadi segala hal-hal baik yang dimiliki oleh Sita, Naren dan Waruna, jika dilihat oleh Nenek, semua hal itu harus diberikan pada anak-anak Om Tris.
Naren mendesah, "Ya udah Nan, main mobil-mobilannya di kamar abang aja yuk," ajak Naren, "biar nggak dilihat nenek."
"Ayuk." Waruna mengangguk patuh. Dia bangun, mengikuti Naren ke kamar sambil memeluk mobilnya.
"Istirahat kak."
"Oke."
Tiga kakak-beradik itu berjalan memasuki kamar masing-masing.
***
Setelah pembicaraan yang rumit, panjang dan berliku di ruangtamu, nenek dan keluarga lain akhirnya pulang. Pak Arya juga pergi mengikuti mereka.
Sita keluar dari kamar, dia mendesah ketika melihat Bu Dina--mamanya, tampak kelelahan dan frustrasi di ruang tamu.
"Kapan kamu pulang, Nak?" Bu Dina terkejut melihat Sita yang berjalan menghampiri lalu duduk di sampingnya.
"Daritadi, masuk lewat pintu belakang," jelas Sita.
"Oh," Bu Dina mengangguk, "Eh, liat adekmu nggak? Tadi dia main sendirian di dapur."
"Nunan udah masuk kamar bareng Naren, Ma. Mungkin sekarang lagi tidur."
Bu Dina mengangguk lagi.
"Oh ya Ma, tadi kenapa nenek sama yang lainnya datang kemari, sampe pakek acara nangis kejer kayak gitu?" Tanya Sita pura-pura penasaran.
"Om Trismu kecelakaan kemarin, dia nggak sengaja nabarak orang pake mobil. Tiga terluka parah, satu koma, dan dua meninggal di tempat," jelas Bu Dina.
Sita mengerutkan kening, bingung. Entitas yang mengikuti nenek jelas jauh lebih banyak daripada korban tewasnya. Kalau ini bukan karena kasus Om Tris, lalu ini karena masalah apa?
"Jadi Om Tris bakal dihukum lama dong, Ma?"
"Mungkin?" Bu Dina tampak ragu.
"Trus apa hubungannya kecelakaan Om Tris sama Papa? Kenapa nenek datang nangis kemari? Bukannya pergi ke rumah keluarga korban buat minta maaf."
Mama mendesah frustrasi, "Nenek minta papa kamu buat pakai koneksinya biar Om Tris bisa bebas atau setidaknya hukumannya berkurang."
"Lah, nggak bisa gitu dong! Ini menyangkut nyawa manusia!" gerutu Sita sewot, "lagian kalau papa ketahuan make koneksinya buat bantu om tris, papa bakal kenapa-napa ma."
"Iya nak, makannya mama khawatir."
"Papa bisa kena sanksi disiplin, diturunin pangkat, di penjara, atau yang lebih parahnya lagi dipecat ma," Sita mengompori. Berharap mamanya membujuk sang papa untuk tidak membantu keluarganya.
"Udahlah Sit, diam. Jangan bikin mama makin stres nak."
Sita meringis, kemudian sudut mata Sita menangkap satu sosok yang bergerak di sudut ruangan di belakang kipas angin. Sita menoleh, dia lalu menggeram saat merasakan jiwanya seperti didorong keras keluar dari raganya.
"Sita!" Bu Dina terkejut ketika melihat tubuh anaknya tersentak dan ambruk di sofa, "Sita!"
Suara geraman aneh disusul tangisan sedih mendadak keluar dari mulut Sita.
Bu Dina mundur selangkah. Dia merinding saat menyadari, Sita kesurupan lagi.
***
"Nareeennnn!"
Naren yang sedang tidur langsung tersentak bangun saat mendengar suara teriakan mamanya di ruang tamu, mengabaikan si bungsu yang masih tidur nyenyak, Naren segera berlari ke arah sumber suara.
Dia terkejut saat melihat Bu Dina yang coba mengamankan Sita yang kejang-kejang. Darah yang sangat banyak terlihat merembes keluarnya diantara kedua kaki sita. Hidung dan mulut kakaknya juga mengeluarkan darah. Selain itu, Naren juga melihat 'Sita' (yang sedang dalam mode hantu, yang tidak mungkin bisa dilihat oleh Bu Dina) sedang menghajar hantu perempuan lain yang mencoba mengambil alih raganya.
"Ren, jangan diam saja disitu! Bantuin kakakmu!" Bu Dina menangis.
"Iya Ma."
Naren membantu Bu Dina untuk mengangkat tubuh Sita ke kamar, sementara si hantu Sita menyeret hantu perempuan itu untuk berkelahi di tempat lain.
Setelah membaringkan Sita, Bu Dina meminta Naren memanggil salah satu tokoh agama di desa untuk menyembuhkan anak perempuannya. Naren menurut karena Sita memang butuh untuk didoakan saat ini.
***
Setelah berkelahi dan mengomeli hantu kurang ajar yang mencoba mengambil raganya, jiwa Sita mendadak seperti tertarik oleh sesuatu. Semua gelap untuk beberapa waktu, dan ketika dia terbangun, dia sudah ke tubuhnya.
Sita menoleh untuk memeriksa jam weker yang ada di samping tempat tidur. Sudah tengah malam.
Sita terdiam ketika mendengar suara pertengkaran yang berasal dari sebelah kamarnya, Papa dan mamanya bertengkar. Pak Arya masih kekeuh untuk membantu saudaranya, sedangkan Bu Dina menyuruh sang suami untuk mempertimbangkannya lagi.
Sita menghela napas mendengarkan pertengkaran orangtuanya. Dia akan berusaha mencari cara agar papanya tidak membantu om tris, dan memengaruhi karir beliau seperti di kehidupan sebelumnya.
Saat Sita sedang asik berpikir, tiba-tiba sosok hantu perempuan yang hendak mengambil raga Sita tadi muncul di depan muka Sita.
Sita langsung cemberut, "Mau berkelahi lagi?"
Sosok itu menggeleng. "Tolong aku ..."
"Tolong?" Sita kebingungan.
Sosok meletakan tangannya di atas kepala Sita. Beberapa Saat kemudian Sita tersentak, tubuhnya kejang-kejang saat sekelebatan gambar yang membentuk sesuatu seperti sebuah film muncul dalam penglihatannya.