Chapter 13 - Bab 13

Bertarung demi kekuasaan dan tahta

Selalu saja membawa korban dari yang jelata

Api yang membakar

Semangat yang berkobar

Adalah amukan hati yang dipenuhi ambisi

Air yang membanjir

Sedih dan airmata yang hadir

Adalah akibat dari sebab sebuah takdir

Perbatasan Majapahit-Blambangan. Alas Garahan diramaikan oleh denting suara senjata beradu. Sepasukan berbaju hitam-hitam melawan sepasukan berbaju putih-putih yang dibantu orang-orang berbaju merah dan hijau. Pertempuran pecah di pagi yang murung antara pasukan penjaga perbatasan dari Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Blambangan. Pasukan berbaju hitam hitam itu adalah pasukan perbatasan Kerajaan Majapahit. Pasukan yang berbaju putih-putih adalah pasukan perbatasan Kerajaan Blambangan. Orang-orang berbaju merah yang membantu adalah pasukan dari perkumpulan Malaikat Darah. Sedangkan orang-orang yang berbaju hijau adalah pasukan dari Istana Laut Utara.

Rupanya Ki Hangkara berhasil membujuk Laksamana Utara untuk membelot dari kekuasaan Majapahit. Istana laut utara memiliki pasukan yang terdiri dari orang-orang terlatih. Tidak banyak memang. Mungkin hanya ratusan orang. Tapi ratusan orang ini adalah orang-orang tangguh dan pilihan. Sekitar seratus orang dari pasukan itu dikirimkan ke Blambangan untuk memperkuat perbatasan. Begitu pasukan itu tiba, pertempuran ternyata sudah pecah selama beberapa hari. Langsung saja pasukan itu terjun membantu pasukan perbatasan Kerajaan Blambangan.

Orang-orang berbaju merah yang merupakan anggota dari Perkumpulan Malaikat Darah sebenarnya secara tidak sengaja terlibat dalam pertempuran di perbatasan tersebut. Orang-orang itu adalah sebagian orang yang sedang mengungsi dan berencana pindah ke Gunung Raung.

Sesuai dengan rencana Ki Hangkara, utusan Kerajaan Blambangan telah berhasil menemui Malaikat Darah Berbaju Merah di Gunung Semeru. Menyampaikan pesan bahwa Kerajaan Blambangan menyediakan tempat di Gunung Raung sebagai markas perkumpulan yang baru. Karena anggota perkumpulan berjumlah ribuan, maka perpindahan dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil berjumlah puluhan orang yang menyamar sebagai petani agar tidak menimbulkan kecurigaan pihak Majapahit. Apalagi semenjak Pasukan Sayap Sima mengepung Gunung Semeru, satu-satunya pilihan perjalanan adalah melalui pantai selatan yang sangat berbahaya. Menembus lebatnya Meru Betiri dan akhirnya mulai memasuki perbatasan di Alas Garahan. Saat memasuki perbatasan inilah mereka bertemu dengan pasukan perbatasan Kerajaan Blambangan yang sedang bertempur.

Pertempuran itu sebenarnya bukan perang besar yang sesungguhnya. Karena memang sejak dahulu selalu timbul pertempuran kecil-kecilan di perbatasan antara kedua pasukan. Alasan pertempuran dari hal yang sepele seperti berebut lubuk yang banyak ikannya, atau berebut wilayah hutan yang dipenuhi buah-buahan, atau bahkan hanya masalah perebutan perempuan.

Namun hal itu sering terjadi. Baik Panglima Narendra dari Blambangan maupun Mahapatih Gajahmada bukan tidak tahu kejadian ini. Namun dua tokoh penting itu sengaja membiarkan supaya kewaspadaan dan kesiagaan pasukannya tetap terjaga. Sekaligus juga agar pihak satunya sadar bahwa masing-masing pasukan siap bertempur pada saatnya diperlukan.

Namun pertempuran kali ini cukup besar dari sisi jumlah orang yang terlibat. Apalagi ketika orang-orang dari perkumpulan Malaikat Darah dan pasukan Istana Laut Utara terlibat. Pasukan perbatasan Majapahit terdesak karena kalah jumlah dan kemampuan. Pasukan itu belum diperkuat oleh Pasukan Sayap Sima dan masih terdiri dari pasukan perbatasan biasa. Sementara pasukan perbatasan Blambangan dibantu oleh pasukan Istana Laut Utara yang mempunyai kemampuan tinggi. Belum lagi anggota Perkumpulan Malaikat Darah yang rata-rata punya ilmu kanuragan lihai.

Pagi itu pertempuran kembali berimbang. Pasukan perbatasan Majapahit kini mendapatkan tambahan bantuan dari pasukan Sayap Sima yang sedang mengejar pelarian-pelarian dari Gunung Semeru. Belum ada tokoh-tokoh hebat dari kedua belah pihak yang terlibat. Sehingga pertempuran lebih banyak menggunakan ilmu kanuragan kasar, kekuatan, tenaga dan senjata.

Memasuki tengah hari, pertempuran dihentikan. Para pemimpin kedua belah pihak mengambil waktu jeda tersebut untuk merawat yang luka-luka, mengubur yang tewas dan memulihkan tenaga. Pertempuran disepakati akan dilanjutkan keesokan harinya. Biasanya yang terjadi selama ini, pertempuran perbatasan seperti ini hanya akan berhenti jika ada perintah dari masing-masing panglima untuk menghentikan pertempuran atau melanjutkan.

Sore itu pimpinan pasukan perbatasan Blambangan menggelar pertemuan di markas perbatasan. Berita menggembirakan bagi mereka yang sudah kelelahan bertempur beberapa hari ini. Panglima Narendra dan Ki Hangkara muncul di hadapan mereka. Bahkan yang lebih menyenangkan bagi pasukan yang jarang bertemu wanita ini, seorang gadis yang sangat manis terlihat duduk santai di samping Ki Hangkara. Tentu saja gadis manis itu adalah Arawinda.

Panglima Narendra membuka pertemuan dengan menyampaikan salam dari Raja Blambangan bagi para pasukan perbatasan. Raja Menakjinggo adalah seorang raja yang terkenal selalu memperhatikan pasukannya. Panglima Narendra juga telah menerima laporan bahwa pertempuran perbatasan kembali terjadi. Keputusannya, pertempuran akan dihentikan mulai esok hari. Sore ini utusan Panglima akan menemui pimpinan pasukan perbatasan Kerajaan Majapahit untuk menawarkan penghentian pertempuran itu.

Panglima Narendra memerintahkan agar anggota pasukan yang terluka segera dibawa pulang ke ibukota Blambangan untuk dirawat lebih lanjut. Sang Panglima juga berterimakasih kepada pasukan Istana Laut Utara dan Perkumpulan Malaikat Darah yang datang membantu pada saat terjadi pertempuran beberapa hari ini. Melihat situasi yang terlihat semakin berbahaya bagi Kerajaan Blambangan, Panglima Narendra memutuskan membuat sebuah markas yang cukup besar di pinggiran hutan Garahan agar semua hal siap jika sewaktu-waktu pecah pertempuran besar-besaran.

Setelah semua hal dirundingkan dan diputuskan, Panglima Narendra mengajak Ki Hangkara dan Arawinda pergi ke sebuah lembah tersembunyi yang tidak jauh dari kaki Gunung Raung. Sesampainya di sana, ternyata di lembah itu telah dibangun sebuah markas yang sangat besar dan kokoh. Puluhan tukang bangunan mengerjakan semua gedung dan bangunan secara diam-diam sejak Raja Blambangan memerintahkan menyiapkan pengungsian bagi semua anggota Perkumpulan Malaikat Darah dari Gunung Semeru ke Gunung Raung.

Gedung dan bangunan itu hampir rampung karena Panglima Narendra memerintahkan semua tukang yang ada di wilayah Kerajaan Blambangan untuk pergi membantu. Sebagian besar pelarian dari Gunung Semeru telah datang di tempat itu. Mendirikan tenda-tenda sebagai tempat berlindung sementara sampai gedung dan bangunan bisa ditempati.

Mereka menuju ke sebuah tempat serupa aula atau balairung. Bangunan ini sepertinya memang didahulukan untuk diselesaikan. Panglima Narendra, Ki Hangkara dan Arawinda memasuki balairung itu berbarengan dengan datangnya tiga orang tua aneh yang mirip satu sama lain. Ketiganya membawa tongkat berkepala tengkorak. Membedakan tiga orang tua ini sangat mudah jika melihat dari jubah yang dikenakan. Satu berjubah merah, satu putih dan satu hitam. Mereka adalah Tiga Danyang Kawah Ijen. Tokoh-tokoh sihir hebat Kerajaan Blambangan.

Setelah bertegur sapa, mereka berenam kemudian duduk di kursi kursi yang telah disediakan. Ki Hangkara membuka percakapan,

"Bagaimana persiapan kalian Tiga Danyang?"

"Semuanya sudah dipersiapkan kakang Hangkara. Kami sudah periksa. Ada 3 pekuburan besar di sekitar Alas Garahan. Kami sudah juga mempersiapkan ubo rampe jika sewaktu-waktu diperlukan." Si jubah putih menjawab.

Ki Hangkara mengangguk angguk puas,

"Kita masih menunggu kedatangan Laksamana Utara malam ini. Sejak pertemuan denganku, dia mengundurkan diri dari Sayap Sima. Lalu dia mengirimkan pelatih kanuragan ke Blambangan untuk melatih pasukan kita, sejak itulah dia ditetapkan sebagai buronan dan pengkhianat Majapahit."

"Bahkan Istana Laut Utara pernah satu kali diserbu oleh pasukan Majapahit. Tapi gagal karena saat itu sedang musim badai dan gelombang besar. Pasukan Majapahit tidak pernah sampai ke Pulau Utara. Kapal-kapalnya tenggelam dihantam badai. Laksamana Utara datang ke sini untuk membicarakan strategi dengan kita. Sekaligus juga membawa serta pasukan berjumlah tiga ratus orang untuk memperkuat posisi kita di perbatasan."

"Aku mendengar putri dari Laksamana Utara menjadi tokoh penting di Galuh Pakuan Paman Guru.." Arawinda menukas omongan Ki Hangkara.

"Benar anakku. Itu juga menjadi keuntungan buat kita. Putri Laksamana Utara yang bernama Putri Anjani sekarang menjadi salah satu kepala pengawal kerajaan Galuh Pakuan. Gadis itu seorang yang juga berilmu tinggi. Dia bisa menjadi pintu bagi persekutuan ini untuk menjalin persahabatan dengan Galuh Pakuan."

Panglima Narendra menimpali,

"Galuh Pakuan mempunyai tokoh-tokoh hebat berilmu tinggi dan luar biasa. Aku mengenal baik Panglima Candraloka. Panglima yang cerdik pandai dalam mengatur pasukan. Ada juga Ki Mandara, Iblis Tua Galunggung yang sakti mandraguna. Andika Sinatria adalah muridnya yang hampir menyamai tingkat gurunya. Padepokan besar Sanggabuana yang dipimpin oleh Pendekar Sanggabuana adalah pendukung setia Raja Linggabuana. Kabarnya Raja Iblis Nusakambangan merupakan kerabat kerajaan Galuh Pakuan. Jadi dia pasti tidak akan tinggal diam jika negaranya terancam. Belum lagi tokoh wanita yang sakti luar biasa yang belum lama memperoleh kitab sihir sakti Ranu Kumbolo. Putri dari Pendekar Sanggabuana bernama Dewi Mulia Ratri."

"Paman Guru, seandainya putra dari mendiang Arya Prabu yang bernama Arya Dahana itu bisa bergabung di sini, alangkah makin kuatnya kita. Dia sangat tangguh dan bisa membuyarkan sihirku yang terkuat. Dia juga ditemani seorang pendekar wanita hebat yang aku yakin sangat tangguh. Dan seekor harimau berukuran raksasa yang dulu menjadi peliharaan Ki Gerah Gendeng di lereng Gunung Arjuna."

Arawinda kemudian bercerita panjang lebar tentang pertemuannya dengan Arya Dahana dan Dyah Puspita.

Setelah Arawinda selesai bercerita, Ki Hangkara bertanya penasaran,

"Anakku, aku penasaran dengar ceritamu. Gadis yang bersama anak Arya Prabu itu bagaimana ciri-cirinya?"

"Cantik sekali Paman Guru. Seorang wanita dewasa berkulit kuning langsat. Bertubuh tinggi semampai. Seperti wajah dan tubuh putri bangsawan kerajaan. Dia tidak tahu cara menaklukkan sihirku. Tapi dari gaya dan gerakannya, aku yakin ilmunya bahkan lebih tinggi dari Arya Dahana." Arawinda menjawab dengan jelas.

"Hmmm...desas-desus yang aku dengar. Arya Dahana kemana-mana selalu bersama harimau putih dan putri dari Ki Tunggal Jiwo. Kalau tidak salah namanya Dyah...." Belum selesai Panglima Narendra menyelesaikan ucapannya, Arawinda menyela dengan cepat,

"Puspita...panglima. Ya, Dyah Puspita namanya..aahhh jadi dia putri Ki Tunggal Jiwo yang terkenal itu...?"

"Kamu benar Arawinda. Kalau saja mereka bisa kita ajak jadi sekutu kita. Tapi Dyah Puspita itu adalah salah satu pimpinan Sayap Sima. Putri dari Ki Tunggal Jiwo lagi. Bagaimana mungkin bisa ditarik menjadi sekutu kita?" Ki Hangkara tercenung bertanya.

"Paman Guru, pada kesempatan bentrokan itu, sebelum aku pergi dia sempat berkata bahwa dia tidak akan mengurus hal lain selain mencari cara menyembuhkan Arya Dahana. Kelihatan sekali dia mencintai pemuda tengil itu..." Arawinda menjelaskan dengan sedikit berapi-api.

Ki Hangkara memandang menyelidik mendengar nada jengkel Arawinda. Lalu tersenyum geli dan berkata,

"Anakku...kelihatannya kamu terkesan dengan anak Arya Prabu itu?"

Arawinda memerah pipinya mendengar pertanyaan yang menusuk hatinya itu,

"Oohh...ehh...tidak Paman Guru. Aku hanya jengkel saja dia tidak mau diajak kembali ke Blambangan padahal di sinilah tanah dia dilahirkan..."

Ki Hangkara tergelak mendengar jawaban gugup Arawinda. Tapi tidak ingin membuat murid keponakannya tersinggung, lalu mengalihkan pembicaraan,

"Raja Iblis Nusakambangan sudah berhasil aku temui. Dia tertarik dengan ajakanku. Dia akan mengerahkan pasukan bajak laut untuk mengganggu armada dagang Majapahit di laut selatan. Selain itu dia juga akan mengirimkan Pasukan Iblis Pencabut Sukma berjumlah dua puluh orang yang akan bermukim di sini. Pasukan ini istimewa karena mempunyai kemampuan khusus mempengaruhi jiwa orang agar tunduk dan patuh terhadap kehendak mereka. Tapi ada syarat yang harus kita penuhi untuk mendapatkan bantuan iblis satu ini. Dia meminta bayaran sebanyak 5 peti emas, 10 peti perak, dan 20 peti perunggu. Paduka Raja Menakjinggo sudah menyanggupi...."

"Semuanya sudah kita persiapkan. Pasukan Majapahit memang besar, terlatih dan tangguh. Tapi dengan cara 'kepung raksasa di peti mati' begini, aku yakin semua bisa teratasi. Hanya satu hal yang masih perlu kita bicarakan. Yaitu bagaimana cara kita menghadapi tokoh tokoh sakti Sayap Sima? Mereka sangat tangguh dan lihai. Kemampuannya pun bermacam-macam. Ki Tunggal Jiwo sakti mandraguna. Ki Biantara lihai bukan main dan juga jago sihir. Iblis dan setan yang ada di Sayap Sima juga tangguh-tangguh. Bahkan aku dengar Dua Siluman Lembah Muria dan Maesa Amuk juga turun gunung dipanggil Mahapatih Gajahmada."

Ki Hangkara kemudian membeberkan rencananya bagaimana menghadapi tokoh-tokoh sakti Majapahit jika perang besar nanti terjadi. Siapa harus menghadapi siapa. Siapa harus membantu siapa jika tokoh yang dihadapi terlalu kuat. Bagaimana memanfaatkan ilmu sihir dan teluh serta guna-guna agar tepat sasaran. Kapan saat yang tepat Ki Hangkara dan Tiga Danyang Kawah Ijen membangkitkan pasukan orang mati.

Pertemuan itu berlangsung hingga tengah malam. Di sela-sela pertemuan, seorang utusan dari markas perbatasan menyampaikan bahwa pemimpin pasukan perbatasan Majapahit sepakat untuk tidak melanjutkan pertempuran.

Saat lewat tengah malam, datanglah yang ditunggu-tunggu. Derap kaki sangat teratur menghentak-hentak lembah itu. Ratusan orang berseragam hijau-hijau datang dengan sangat rapi dan tertib. Inilah pasukan Istana Laut Utara yang terkenal itu. Dipimpin oleh seorang setengah baya yang kekar dan gagah. Tangan kanan Laksamana Utara bernama Ang Liong, si Naga Merah. Laksamana Utara sendiri tidak nampak di antara rombongan.

Panglima Narendra menyambut para tamunya dan mempersilahkan beristirahat di tenda-tenda yang telah disiapkan lengkap dengan jamuan makan malam yang sudah mendingin. Ketika Panglima Narendra menanyakan di mana keberadaan Laksamana Utara, Ang Liong menjawab bahwa Laksamana Utara beberapa hari yang lalu sudah berangkat namun singgah terlebih dahulu ke ibukota Galuh Pakuan menjemput putrinya.

Di tempat lain. Markas pasukan perbatasan Majapahit. Terjadi pertemuan serupa. Para pimpinan pasukan perbatasan menggelar pertemuan penting untuk membuat strategi mempertahankan perbatasan. Malam itu, markas kedatangan tokoh-tokoh penting Sayap Sima. Ki Tunggal Jiwo, Argani, Aswangga, Ki Biantara berturut-turut tiba di markas itu. Diikuti oleh ratusan pasukan kerajaan dan juga puluhan pasukan Sayap Sima. Ikut di antara para tokoh itu, seorang laki-laki tua tinggi kurus berjubah abu abu yang terlihat berwibawa. Sorot matanya setajam burung hantu. Inilah tokoh tersembunyi Majapahit yang jarang menampakkan diri, Ki Bledug Awu Awu.

Bisa dibayangkan situasinya sekarang benar-benar memanas. Tokoh sepenting Ki Tunggal Jiwo dan Bledug Awu Awu sampai harus terjun langsung ke perbatasan. Hal itu juga bisa terlihat pada saat pertemuan berlangsung. Para tokoh itu membicarakan pentingnya memperkuat perbatasan karena perbatasan adalah titik penting mempertahankan kedaulatan kerajaan. Termasuk juga bagaimana Sayap Sima harus memecah kekuatan ke empat penjuru mata angin. Perbatasan dengan Galuh Pakuan, perbatasan dengan Blambangan, pesisir dan laut selatan karena gangguan para bajak laut Nusakambangan, serta pesisir dan laut utara untuk berjaga terhadap serangan dari negeri seberang dan Istana Laut Utara.

Perbatasan barat telah diperkuat dengan dikirimnya pasukan perbatasan yang dipimpin oleh Dua Siluman Lembah Muria. Pesisir dan laut utara telah dijaga oleh pasukan kerajaan dan Sayap Sima di bawah pimpinan Maesa Amuk. Majapahit mengirimkan armada besar ke pesisir dan laut selatan Jawa untuk mengatasi gangguan perompak dan bajak laut yang sebagian besar bermarkas di pulau Nusakambangan. Tapi yang paling mengganggu pikiran para petinggi Kerajaan Majapahit adalah perbatasan timur dengan Kerajaan Blambangan.

Para telik sandi yang terpercaya telah menghimpun informasi yang mengejutkan bahwa Blambangan sedang memperkuat perbatasannya secara besar-besaran. Pelarian dari Semeru bahkan sudah hampir semua berlindung di wilayah Blambangan. Hanya tinggal pucuk pimpinannya saja yang masih terkepung di puncak gunung tertinggi di Jawa itu. Pasukan Istana Laut Utara yang terkenal tangguh juga telah memasuki dan memperkuat perbatasan Blambangan.

Kabar terakhir yang paling mengejutkan adalah terdapat serombongan orang aneh dari Nusakambangan yang sedang menuju perbatasan Garahan. Rombongan orang aneh itulah yang membuat Ki Bledug Awu Awu harus terjun langsung ke lapangan. Selain bahwa jika pecah perang, tokoh-tokoh sakti Blambangan pasti mengerahkan pasukan tak kasat mata yang berwujud sihir, teluh maupun guna-guna. Dan yang paling mengerikan adalah jika pasukan orang mati dibangkitkan. Blambangan memiliki tokoh-tokoh sakti yang punya kemampuan untuk itu.

"Mahapatih Gajahmada sedang mencoba membujuk Ki Mangkubumi untuk bergabung dalam Sayap Sima. Jika berhasil, maka ini adalah tambahan kekuatan yang luar biasa." Ujar Ki Tunggal Jiwo.

"Benar Ki. Termasuk juga jika utusan Majapahit yang dikirim ke negeri seberang mampu meyakinkan mereka untuk berdamai dan bersekutu. Maka konsentrasi kita tinggal ke Blambangan." Sahut Ki Biantara.

Ki Bledug Awu Awu yang banyak diam dalam pertemuan tersebut, angkat bicara," Ki Hangkara dan Tiga Danyang Kawah Ijen adalah dedengkot ilmu sihir dan teluh yang luar biasa. Belum lagi jika ditambah Raja Iblis Nusakambangan dan Pasukan Iblis Pencabut Sukma yang sangat berbahaya untuk pasukan kita. Aku perlu Ki Mangkubumi untuk membantuku."

Tokoh yang lain manggut-manggut mendengar penuturan tersebut. Ki Bledug Awu Awu melanjutkan," apalagi jika gadis yang mewarisi kitab Ranu Kumbolo itu ada di pihak mereka. Dia akan menjadi lawan yang sangat berat. Sihir di dalam kitab itu sangat murni dan mustahil untuk dikalahkan kecuali oleh pewaris lainnya."

Semua orang di ruangan terperanjat mendengar penjelasan Ki Bledug Awu Awu. Kalau seperti itu kenyataannya, Majapahit sedang dalam bahaya!

Salah seorang panglima kerajaan yang juga ikut dalam pertemuan bernama Rangga Bamana menimpali,

"Sang Mahapatih telah mencium gelagat berbahaya ini. Oleh karena itu beliau menitipkan surat ini untuk disampaikan kepada Ki Tunggal Jiwo." Dia mengangsurkan sebuah surat daun lontar yang tertutup kepada Ki Tunggal Jiwo.

Ki Tunggal Jiwo membuka dan membaca surat tersebut. Mengangkat kepalanya dan berkata,

"Tidak heran jika Sang Mahapatih bisa menaklukkan puluhan kerajaan dan membesarkan Majapahit hingga seperti ini. Beliau mampu membaca keadaan segawat apapun." Ki Tunggal Jiwo menutup surat itu sambil mengerahkan ajian Braja Musti. Surat itu seketika menjadi serpihan abu.

"Keputusannya sangat sederhana. Kita perkuat barisan di perbatasan dengan Blambangan. Aku memimpin langsung penguatan pasukan di sini dibantu Rangga Bamana, Argani, Aswangga dan Bledug Awu Awu."

"Kita bangun markas yang besar agar dapat menampung banyak pasukan. Rangga, panggillah tukang batu dan kayu di ibukota berjumlah seratus orang. Kita bangun benteng kecil di sini." Rangga Bamana mengangguk patuh menanggapi perintah itu.

Ki Tunggal Jiwo melanjutkan,

"Biantara, aku mohon bantuanmu. Bujuklah muridmu agar tidak ikut campur dalam urusan Majapahit dengan Blambangan. Muridmu itu bisa sangat berbahaya bagi kita, apalagi dia sudah menguasai kitab Ranu Kumbolo. Selain itu, dia adalah kepala pengawal Raja Linggabuana. Posisi yang sangat penting di Kerajaan Galuh Pakuan."

Ki Biantara tersenyum ke arah Ki Tunggal Jiwo," Ki Tunggal Jiwo, kisanak tahu bagaimana pendirianku mengenai hal-hal seperti ini. Aku hanya bisa mengendalikan diriku sendiri saja. Keluargaku, muridku, saudara-saudaraku, bebas menentukan bagaimana mereka harus berdiri, melangkah dan berlari. Aku tidak berhak sedikitpun mencampuri urusan pribadi dan hati mereka."

Ki Tunggal Jiwo menghela nafas panjang,

"Aku tahu Biantara. Aku hanya mencoba peruntunganku kali ini. Tapi ternyata tetap kurang beruntung. Baiklah, aku menghargai pendirianmu. Aku juga kesulitan dengan darah dagingku sendiri. Dyah Puspita entah kemana. Padahal dia bisa jadi bala bantuan yang berharga saat ini." Mata tokoh tua Majapahit itu menerawang jauh.

Dyah Puspita adalah anak satu-satunya. Gadis yang sangat senang mengembara setelah kejadian Arya Prabu belasan tahun yang lalu. Dia sama sekali tidak tahu sekarang dimana putrinya itu berada. Dia tahu bahwa gadis itu sudah tidak betah sama sekali hidup di lingkungan Sayap Sima. Terlalu banyak politik dan adu licik di sana. Tokoh-tokoh seperti Argani, Aswangga dan dulu Laksamana Utara pernah coba memfitnah dan menjatuhkan nama baik gadis itu saat kejadian Ranu Kumbolo. Ki Tunggal Jiwo mendengar semua itu dari Ki Biantara. Meskipun laporan yang masuk kepadanya dari tokoh-tokoh hitam itu sangat berbeda.

Hanya saja Ki Tunggal Jiwo menyadari bahwa kepentingan kerajaan tetap nomor satu. Dia tahu bekerjasama dengan para datuk-datuk hitam itu mempunyai liku-liku tersendiri. Sekarang dia paham kenapa dulu Arya Prabu sampai mengundurkan diri sebagai pimpinan Sayap Sima. Terlalu rumit mengelola sebuah pasukan besar yang diisi dengan beraneka ragam orang. Terutama orang-orang yang sangat berpengaruh di dunia hitam seperti Argani, Aswangga, Madaharsa dan lainnya.

Madaharsa? Sudah lama dia ingin menyingkirkan tokoh cabul pemetik bunga itu dari Sayap Sima. Tidak pernah berhasil karena Mahapatih Gajahmada selalu menolak dan mengatakan bahwa kerajaan tetap membutuhkan kehadirannya. Ternyata Sanghyang Widhi menunjukkan jalannya. Madaharsa dikabarkan tenggelam di Ranu Kumbolo. Meskipun sampai sekarang mayatnya tidak pernah ditemukan.

Pertemuan malam itu ditutup dengan rencana-rencana besar bagaimana jika perang terbuka dan besar-besaran terjadi dengan Blambangan. Termasuk cara membekali pasukan untuk menghindari perangkap teluh, sihir dan guna-guna. Dan juga untuk menanggulangi pengaruh ilmu menangkap jiwa yang menjadi keistimewaan pasukan Iblis Pencabut Sukma. Termasuk juga dibicarakan bagaimana pengepungan di Puncak Semeru bisa mencegah para pimpinan Perkumpulan Malaikat Darah melarikan diri ke wilayah Blambangan.

*************