Chapter 16 - Bab 16

Perjalanan bersama orang yang dicintai

Membuat waktu seperti berhenti

Tak ada kelelahan

Tak ada kesunyian

Langit selalu berwarna biru

Laut selalu setenang kaca

Angin selalu mengelus syahdu

Bumi selalu tersenyum penuh canda

Perjalanan Alas Roban-Trowulan. Bagi Dewi Mulia Ratri dan Arya Dahana serta Sima Lodra adalah perjalanan tanpa hiruk pikuk yang berarti. Mereka tidak selalu melewati hutan, lembah dan gunung. Saat berjumpa desa atau kota, Sima Lodra selalu ditinggal di tengah hutan. Sementara Arya Dahana berjalan-jalan sambil memulihkan tenaga, sedangkan Dewi Mulia Ratri mengumpulkan informasi dari orang-orang yang dijumpai tentang Majapahit dan Dyah Puspita.

Sepasang muda-mudi ini tidak selalu akur sepanjang perjalanan. Banyak hal-hal kecil yang dipertengkarkan. Mulai dari sikap Arya Dahana yang sering ribut soal makanan karena Dewi Mulia Ratri mempunyai selera yang jauh berbeda. Arya Dahana yang rajin mencari ikan merasa sering patah hati karena Dewi Mulia Ratri sama sekali tidak mau menyentuhnya. Bau amis katanya. Dewi Mulia Ratri lebih memilih untuk makan daun-daunan, sayuran dan buah-buahan dibanding daging atau ikan. Sementara Arya Dahana seringkali kesulitan menelan makanan jika hanya sayuran dan buah-buahan. Bahkan Sima Lodra juga sering ngambek karena binatang buruan yang dibawanya selalu saja diacuhkan oleh Dewi Mulia Ratri.

Namun banyak hal juga yang membuat perjalanan itu menjadi begitu menyenangkan. Dewi Mulia Ratri adalah gadis yang sangat perhatian. Tidak ada lagi cerita Arya Dahana dan Sima Lodra bangun kesiangan dan bermalas-malasan. Gadis itu selalu siap dengan seember air untuk disiramkan agar mereka bangun pagi dengan segera. Menyuruh mereka cepat-cepat mandi dan berganti pakaian agar sang gadis bisa mencuci pakaian itu dengan segera.

Arya Dahana berubah penampilannya. Pemuda itu tidak lagi kusut dan dekil sekarang. Bajunya selalu bersih dan berganti setiap hari. Rambutnya yang dulu gondrong acak-acakan kini rapi dan selalu diikat ke belakang. Sima Lodra yang sebelumnya membersihkan diri hanya dengan menceburkan diri ke sungai atau danau, sekarang bulu-bulunya lebih mengkilat dan wangi. Dengan menyamar menjadi seorang pria, Dewi Mulia Ratri rajin berbelanja perlengkapan untuk mandi dan membeli wangi-wangian dari rempah rempah dan bunga-bungaan.

Selain itu, di sepanjang jalan yang dilalui. Sepasang muda-mudi ini selalu menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Menumpas penjahat, begal dan rampok yang sering membuat resah orang-orang. Baik itu di jalanan maupun di kampung dan desa-desa. Oleh karena itu, di sepanjang jalan yang dilalui mulai terdengar sebutan dan julukan Sepasang Pendekar Air dan Api. Julukan itu muncul karena kesejukan dan kebaikan hati yang mereka sebarkan sekaligus kengerian yang membakar dan menghanguskan bagi penjahat-penjahat yang mereka singkirkan.

Siang itu mendung menutupi langit dengan sedikit kejam. Angin dingin meniupkan suara seruling yang menyayat hati. Hujan sepertinya tak lama lagi akan tiba. Jalanan ibukota Majapahit agak sepi. Orang-orang lebih memilih berlindung dalam rumah daripada berkeliaran di jalanan. Dewi Mulia Ratri yang menyamar sebagai pria dan Arya Dahana yang berpakaian seperti seorang pelajar berjalan menyusuri jalanan kota.

Sudah sedari tadi sejak memasuki kota besar itu mereka bertanya-tanya mengenai kabar Dyah Puspita. Jawaban yang diperoleh rata-rata sama, Dyah Puspita dikirim ke garis depan perbatasan Blambangan sebagai hukuman atas kesalahannya di bawah pengawasan Ki Tunggal Jiwo. Jika melanggar, maka hukuman mati langsung dijatuhkan saat itu juga oleh Ki Tunggal Jiwo sendiri.

Setelah untuk terakhir kalinya hal itu dipastikan kepada penjaga gerbang timur kerajaan. Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri yakin bahwa semua berita yang mereka terima benar adanya. Keduanya bernafas lega dan melanjutkan perjalanan. Setelah cukup jauh berjalan, kemudian memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah hutan di luar ibukota agar bisa menjumpai Sima Lodra yang mungkin sedang mengomel sendirian karena lama ditinggalkan.

Sepasang muda-mudi itu menjumpai hal yang sangat mengejutkan begitu sampai di hutan yang menjadi tujuan beristirahat. Sima Lodra bukannya mengomel-omel tapi sedang bertarung dengan harimau lain berwarna hitam legam. Harimau itu sama raksasanya dengan Sima Lodra. Sama-sama tangguhnya. Sama-sama ganasnya.

Pertarungan dua harimau perkasa itu menimbulkan gemuruh kencang di dalam hutan yang tenang dan sepi. Suara auman menggetarkan saling bersahutan tak henti-henti. Arya Dahana bingung apa yang harus dilakukannya sekarang. Dia memandang tanya kepada Dewi Mulia Ratri yang juga menggeleng tidak tahu. Arya Dahana berusaha menghentikan pertarungan dahsyat itu dengan memanggil Sima Lodra. Namun harimau putih itu sepertinya tidak mendengar atau tidak mau mendengar.

Sudah banyak luka-luka di tubuh kedua harimau itu. Jika pertarungan itu dilanjutkan sudah dapat dipastikan salah satu atau kedua binatang perkasa itu pasti tewas. Atau paling tidak terluka parah. Dewi Mulia Ratri membisikkan sesuatu ke telinga Arya Dahana. Pemuda itu mengangguk dan melihat sekeliling dengan seksama. Tidak ada apa-apa. Sekali lagi dia mengedarkan pandangan dengan lebih teliti. Kali ini dengan mengerahkan mata batinnya. Tetap tidak ada apa-apa.

Dewi Mulia Ratri mengayunkan tangannya ke balik pepohonan. Sinar kebiruan meluncur cepat. Belum sampai sinar itu mencapai sasaran, sebuah sinar kehitaman menyambut datangnya sinar biru itu. Tidak terdengar ledakan apapun, namun kedua sinar itu lenyap tak berbekas. Dan melompatlah keluar sesosok tubuh tua kurus dan pendek dari tempat persembunyiannya. Seorang tua kecil kurus dengan mata yang lebar dan agak juling memandang Dewi Mulia Ratri dengan mata berseri-seri dan mulut menyeringai.

"kekekekek....ckckckck.... baru kali ini aku menemui lawan tanding yang sebanding setelah puluhan tahun berlalu." Kakek tua itu tertawa terkekeh-kekeh.

Dewi Mulia Ratri mengerutkan alisnya melihat ini. Dia sudah akan menjawab namun tahu-tahu Arya Dahana sudah berdiri di depannya menghadapi si kakek.

"Kek, tolong kau panggil binatang piaraanmu dan aku akan panggil Sima Lodra. Hentikan pertarungan mereka. Kalau tidak, salah satu bisa mati."

Kakek tua itu berusaha menjulingkan matanya memperhatikan Arya Dahana. Hal yang malah membuat lucu wajahnya karena matanya memang sudah juling. Jika bukan karena kesopanan, barangkali Arya Dahana sudah berguling-guling terbahak-bahak.

"Siapa kamu anak muda? Aaahhh...kamu tidak cukup tangguh untuk adu ilmu denganku. Minggirlah, aku hanya mau berbincang dengan gadis itu."

Arya Dahana menyahut,

"Kek, tolonglah...mereka bisa mati..."

Kakek tua yang tadinya berwajah lucu itu kini mengeras wajahnya. Matanya yang lebar dan juling dibelalakkan. Mulutnya cemberut seperti mau menangis. Ada kilatan bengis ketika kakek tua itu berkata,

"Anak muda, kau telah membuatku marah. Pergilah ke neraka!"

Lengan bajunya dikebutkan ke depan. Sebuah hawa yang luar biasa dingin menerjang Arya Dahana dengan dahsyat. Pemuda ini terkejut bukan main. Sebelum pukulan itu tibapun, tubuhnya sudah hampir beku menahan hawa yang mendahuluinya. Orang tua ini berniat membunuhnya dengan sekali pukul.

"Kakek yang kejam...!" Arya Dahana mendorongkan lengan kanannya ke depan.

"Deeeesssss.....blaaarrr!"

Suara ledakan keras membahana di seantero hutan. Getaran yang terjadi akibat beradunya pukulan itu bahkan membuat pertarungan dua harimau itu terhenti. Dewi Mulia Ratri cepat-cepat menangkap tubuh Arya Dahana yang terhuyung-huyung hebat hampir jatuh. Kakek tua itu sendiri tubuhnya bergoyang-goyang seperti puncak pohon tertiup angin. Raut mukanya terlihat terperanjat.

Dia yakin tadi bahwa pemuda ingusan itu pasti langsung tewas terkena pukulan Hulu Marapi-nya. Tapi ternyata pemuda itu sanggup menahan pukulannya dengan tidak kalah dahsyat meskipun dari hasil bentrokan tadi terlihat bahwa Arya Dahana masih kalah kuat. Tapi hal itu sudah sangat menakjubkan mengingat sebenarnya yang dihadapi pemuda itu adalah tokoh yang lihai bukan main.

Tokoh tua yang malang melintang di dunia persilatan puluhan tahun yang lalu dan menjadi salah satu tokoh yang pernah bertarung secara langsung dengan tokoh ajaib Si Bungkuk Misteri dan mampu mengimbangi datuk nomor satu itu selama ratusan jurus. Meski pada akhirnya juga tetap kalah. Namun sejak adu ilmu dengan Si Bungkuk Misteri itulah nama Datuk Rajo Bumi moncer di dunia persilatan.

Arya Dahana yang sanggup berdiri tegak kembali dengan dibantu oleh Dewi Mulia Ratri mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Dia terluka meski tidak terlalu berat. Pemuda itu merutuk dirinya sendiri habis-habisan. Di mana-mana dia selalu terluka. Memalukan!

Seandainya saja dia bisa mengerahkan tenaganya dengan sempurna. Seandainya saja dia tidak hanya menguasai Geni Sewindu saja. Satu-satunya ilmu pukulan yang dia tahu. Tentu dia tidak semalu ini di depan Dewi Mulia Ratri. Gadis cantik yang lebih perkasa dibanding dirinya. Yang harus menyangga tubuhnya beberapa kali karena dia selalu kalah dalam adu tenaga dengan para tokoh-tokoh sesat. Arya Dahana mengusap keringat yang menetes di dahinya. Dia mengangguk penuh terimakasih kepada Dewi Mulia Ratri yang balik tersenyum kepadanya.

Wajah Datuk Rajo Bumi semakin aneh saja. Matanya yang juling bergantian menatap Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri. Kedua muda-mudi itu bingung dan mencari-cari siapa lagi yang muncul di antara mereka berdua. Karena jelas sekali pandangan kakek aneh itu melotot ke tengah posisi di antara mereka berdiri. Melihat dua orang itu kebingungan dengan pandangan mencari-cari, Datuk Rajo Bumi semakin marah. Apa yang sebetulnya dicari dua anak muda itu? Bala bantuankah? Tapi kemudian dia menyadari sesuatu. Kakek itu makin marah dan menyumpah-nyumpah.

"Apa yang kalian cari?! Aku sedang memandang kalian hey anak-anak sableng!"

Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri menahan ketawa dan menyadari bahwa kakek sakti itu sedang menatap ke mereka secara bergantian. Tapi karena matanya yang tidak normal membuatnya seperti menatap ke arah lain.

"Kek, kami tidak sedang mencari masalah denganmu. Kenapa kau harus menjatuhkan tangan kejam kepada kami?"

Dewi Mulia Ratri menahan diri untuk tidak marah tanpa alasan yang kuat dan dipikirnya ini semua hanya masalah kesalahpahaman saja.

Datuk Rajo Bumi sepertinya memang sengaja mencari gara-gara. Tanpa menjawab lagi dia mengangkat tangannya ke atas dan diayunkannya ke depan. Tiba-tiba saja sebuah bayangan besar menyambar Dewi Mulia Ratri dari atas. Seekor kelelawar raksasa mengarahkan cakar dan taringnya yang besar ke leher gadis itu.

Dewi Mulia Ratri tidak terkejut sama sekali. Dia sudah mengira bahwa kakek ini ahli sihir yang hebat. Gadis cantik ini melambaikan tangannya dari samping ke atas. Seekor burung hantu raksasa menyambut serangan kelelawar itu dengan tak kalah dahsyat. Terjadilah pertempuran udara yang hiruk-pikuk di sore menjelang petang itu.

Datuk Rajo Bumi terperanjat bukan main. Gadis itu ternyata mempunyai ilmu sihir jauh lebih tinggi dari yang diduganya. Kakek sakti ini mengebutkan lengan bajunya yang kedodoran. Suara angin menderu-deru keluar dari kegelapan hutan menuju ajang pertempuran. Saat suara deru mendekat, tampaklah sebuah kengerian yang luar biasa. Yang muncul bukanlah rombongan binatang besar atau gerombolan orang biasa.

Namun sekumpulan banaspati, wewe gombel, genderuwo, dan makhluk-makhluk yang tidak terbayangkan pernah muncul di dunia ini. Makhluk-makhluk berwajah dan bertubuh aneh mengerikan itu menyerbu ke arah Dewi Mulia Ratri dan Arya Dahana dengan suara gemuruh menggiriskan. Siapapun yang ada di situ dan menyaksikan kejadian ini pasti akan terkencing-kencing atau pingsan seketika. Makhluk-makhluk yang selama ini hanyalah dongeng untuk menakuti anak-anak dan menjadi mimpi buruk pada saat tidur, semua berkumpul di sini bersama-sama menyerang mereka.

Dewi Mulia Ratri dan Arya Dahana merasa darah berlari meninggalkan wajah mereka. Sehebat-hebatnya dua muda-mudi ini, yang namanya bertemu hantu tentu saja sangat menakutkan. Sejak kecil mereka dijejali dengan cerita-cerita mengerikan tentang makhluk-makhluk gaib. Jika tidak ingat bahwa mereka akan menjadi bahan tertawaan seluruh dunia persilatan jika mereka meninggalkan gelanggang pertempuran, tentu sejak tadi mereka sudah terbirit-birit lari ketakutan.

Arya Dahana yang juga masih pucat pasi, melihat Dewi Mulia Ratri hanya terpaku diam saat serangan para makhluk itu tiba. Dikerahkannya ajian Geni Sewindu hingga ke puncaknya. Tangan kanannya yang menyala kebiruan dihantamkan ke gerombolan makhluk gaib itu. Para makhluk aneh itu terpental kesana kemari tidak karuan arah. Namun rupanya kekuatan membangkitkan Datuk Rajo Bumi sangatlah hebat. Makhluk-mahkluk itu kembali bangkit dengan cepat meski sebagian anggota badan mereka tercerai-berai terkena pukulan Geni Sewindu.

Puluhan makhluk gaib itu menyerbu kembali. Dewi Mulia Ratri yang sudah pulih dari kengeriannya, berkonsentrasi mengerahkan Ilmu Menaklukkan Roh yang dipelajarinya dari Kitab Ranu Kumbolo. Kabut putih tipis menyelimuti seluruh tubuhnya. Kabut itu makin lama makin menyebar ke sekeliling. Membentuk sebuah hamparan selimut kabut yang menutupi hingga ke pucuk pepohonan. Begitu rombongan mengerikan itu menabrak selimut kabut, tubuh-tubuh aneh itu seperti ngengat menabrak api. Hancur luluh tak berbekas lagi. Sisa mahkluk di belakang yang belum menyerang mundur ketakutan. Seperti tahu bahwa kabut tipis itu adalah pintu kembali ke neraka bagi mereka.

Datuk Rajo Bumi terperangah. Ini bukan main-main. Gadis itu tahu cara menaklukkan Ilmu Membangkitkan Roh! Beda dengan pemuda tadi yang hanya tahu bagaimana menghancurkan makhluk-makhluk halus suruhannya. Gadis itu mempunyai ilmu Menaklukkan Roh yang dikenalnya dengan baik. Ilmu yang hanya sedikit orang menguasainya. Gadis semuda ini sudah memiliki ilmu setinggi itu. Kakek aneh ini memang benar-benar aneh. Tahu bahwa lawan yang dihadapinya kali ini bisa mengimbanginya, malah membuatnya sangat gembira. Kali ini dia akan mencoba dengan ilmu kanuragan.

Tubuh kakek tua yang pendek kurus ini berputar seperti gasing. Semakin lama semakin cepat. Tubuhnya tidak nampak lagi karena dibungkus dengan angin berputar yang luar biasa cepat. Putaran angin itu mendekati Dewi Mulia Ratri. Dari balik putaran angin tiba-tiba keluarlah tangan dan kaki Datuk Rajo Bumi menyerang bertubi-tubi. Dewi Mulia Ratri terkejut setengah mati. Ini ilmu aneh dan hebat! Gadis itu mempertahankan dirinya dengan memainkan ilmu Pena Menggores Langit. Awan hitam seperti bergulung-gulung menerjang ke arah putara angin.

Datuk Rajo Bumi makin gembira hatinya. Ternyata gadis ini juga mahir ilmu kanuragan tingkat tinggi. Dia mengenal jurus-jurus ini. Jurus-jurus yang menjadi andalan anak muda yang dulu pernah melawannya, Pendekar Pena Menawan. Dikerahkannya tenaga sepenuhnya untuk menambah daya dobrak ilmu putaran gasing yang dahulu kala sangat terkenal di dunia persilatan. Ilmu yang melambungkan namanya sebagai salah satu datuk dunia hitam, yaitu ilmu Badai Setan Tersesat Jalan.

Dewi Mulia Ratri tentu saja kewalahan saat Datuk Rajo Bumi mengerahkan tenaga sepenuhnya. Gadis ini kalah tenaga, kalah pengalaman dan kalah licik. Dia kini memainkan jurus Pena Menggores Langit dipadukan dengan ajian Lembu Sakethi. Gerakannya yang lincah tadi melambat namun sangat bertenaga menahan gempuran kakek sakti itu.

Arya Dahana mengerti betul bahwa gadis cantik itu terdesak hebat. Pemuda itu menggerakkan tubuhnya ke depan membantu. Dia hanya punya ilmu pukulan Geni Sewindu. Namun ilmu itu sudah mendekati kesempurnaan. Sehingga sangat berbahaya bagi lawan setangguh apapun. Arya Dahana tahu bahwa jika dia hanya mengandalkan ilmu itu dengan tenaga berhawa panas, maka bantuannya akan sia-sia. Pemuda itu tidak mau setengah-setengah. Kakek tua itu sangat berbahaya. Jurus-jurusnya diarahkan pada kematian lawan dan bukan sekedar bermain adu ilmu belaka. Arya Dahana membangkitkan semua amarah yang ada pada dirinya. Tubuhnya bergetar hebat tanda tenaga murninya memuncak. Lengan kanannya terbungkus api kebiruan dan lengan kirinya memutih pucat kehijauan. Dewi Mulia Ratri yang sempat terheran-heran dengan perubahan tubuh Arya Dahana, lalu teringat sesuatu,

" Dahana...jangaaaaaannnn.."

Namun terlambat. Arya Dahana sudah mendorongkan pukulannya sekuat tenaga ke arah putaran angin Datuk Rajo Bumi. Melihat pemuda itu sudah tidak bisa dicegah lagi, Dewi Mulia Ratri menambah gempuran dengan mengerahkan ajian Lembu Sakethi. Terdengar ledakan yang luar biasa dahsyat. Bahkan Sima Lodra dan harimau hitam yang sejak tadi sudah berhenti bertempur dan menyaksikan pertarungan dahsyat itu sambil menjilat-jilat luka di tubuh, terlempar seperti daun kering terkena angin pukulan ledakan.

Setelah kepulan asap dan debu ledakan mereda. Nampak Datuk Rajo Bumi terduduk bersila sambil merapatkan tangan di dada. Tubuhnya terluka cukup hebat dan sekarang sedang berusaha memulihkan diri. Dewi Mulia Ratri juga duduk bersila memulihkan diri karena tubuhnya terguncang dahsyat akibat bentrokan pukulan tadi. Sedikit darah menetes dari sudut mulutnya. Seperti biasa, yang paling parah tentu saja Arya Dahana. Pemuda itu terguling pingsan dengan darah mengalir dari hidung, mulut dan telinganya. Sehebat itu pukulannya sanggup menahan pukulan sakti Datuk Rajo Bumi, sehebat itu pula pukulan itu membalik menghantam tubuhnya.

Dewi Mulia Ratri menjadi sangat khawatir sekali. Ingin rasanya dia menghampiri pemuda itu untuk melihat keadaannya. Namun tubuhnya masih terasa berat sekali. Akibat pukulan tadi masih berpengaruh hebat pada dirinya. Cepat-cepat dia mengerahkan hawa murni dari pusarnya agar dirinya cepat pulih dan bisa menolong Arya Dahana. Apalagi dilihatnya Sima Lodra sudah duduk di samping pemuda itu sambil menjilat lembut darah yang mengalir menutupi pipi dan lehernya.

Di lain pihak, Datuk Rajo Bumi sudah pulih dan berdiri, kemudian memberi isyarat kepada harimau hitam yang segera menghampiri tuannya. Keduanya beranjak pergi dengan cepat menuju arah timur. Datuk itu tahu bahwa dia bisa menghabisi dua muda-mudi itu sekarang. Namun dasar datuk sesat yang tidak bisa ditebak jalan pikirannya, dia tidak melakukan itu karena sama saja dengan menghilangkan lawan tangguh di kemudian hari. Pikiran aneh inilah yang akhirnya menyelamatkan Dewi Mulia Ratri dan Arya Dahana saat itu.

Butuh waktu beberapa kejap kemudian bagi Dewi Mulia Ratri untuk memulihkan tenaganya. Setelah dirasa cukup, gadis cantik itu meloncat cepat menghampiri Arya Dahana. Diperiksanya tubuh pemuda itu yang berubah warna menjadi aneh. Seperti yang pernah disaksikannya di Alas Roban. Detak nadinya sangat lemah sekali. Pukulan yang membalik tadi ternyata lebih hebat dibanding apa yang dialaminya waktu di Alas Roban. Dewi Mulia Ratri merasa kekhawatiran yang teramat sangat. Dia diserahi amanat oleh Dyah Puspita menjaga pemuda ini. Dan sekarang amanat itu tergeletak sekarat di hadapannya. Melihat nafas pemuda itu tersengal-sengal tidak teratur, dada kembang kempis tidak karuan, Dewi Mulia Ratri seperti ditusuk duri jantungnya. Perjalanan beberapa lama dengan pemuda ini sangat menyenangkan. Pemuda yang romantis, penuh dengan perhatian, selalu mengalah setiap saat.

Memperhatikan wajah kurus pemuda itu sekarang terlihat pucat pasi seperti kembang yang sedang melayu. Semakin dalam duri itu menusuk jantung Dewi Mulia Ratri. Matanya berkaca-kaca tanpa disadarinya. Bahkan dua titik air mata meloncat dari sudut matanya.

Tidak! Pemuda ini tidak boleh mati! Pemuda ini telah menggoda perasaannya sejak pertama dilihatnya dulu di Ranu Kumbolo. Saat itu, begitu gagah perkasa dan melindungi. Saat ini, begitu tak berdaya dan perlu dilindungi. Saat lain, begitu konyol dan penuh perhatian. Duri yang menusuk jantungnya sekarang begitu banyak tanpa bisa dicegah lagi. Air mata dari matanya tidak lagi sekedar melompat tanpa sengaja. Tapi membanjir penuh dengan rasa.

Dipangkunya kepala pemuda itu agar darah tidak mengalir lagi dari telinga dan hidungnya. Diusapnya pipi kurus itu dengan penuh iba. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia hanya ingat pemuda ini pernah bercerita, jika terjadi sesuatu pada dirinya karena pukulan tenaga yang membalik, jangan sekali-kali mencoba mengobatinya dengan menyalurkan hawa murni karena akan berbahaya bagi keduanya.

Dewi Mulia Ratri menengok ke arah Sima Lodra yang menggeram-geram pelan di sampingnya. Harimau itu berkali-kali memberikan isyarat suara dan gerakan yang sama. Gadis itu memutar otak agar bisa memahami apa yang sedang berusaha disampaikan oleh harimau itu.

Sima Lodra bertingkah seperti kambing saja. Geraman lirih itu seperti kambing sedang mengembik. Kemudian duduk bersimpuh sambil mendorong-dorong tubuh Arya Dahana lalu berdiri dan berjalan. Kembali lagi melakukan hal yang sama. Bahkan saking lamanya Dewi Mulia Ratri terbengong mencoba memahami, berakibat tingkah harimau itu semakin aneh. Kali ini ditambah lagi gerakan berputar-putar dan menggeleng-gelengkan kepala. Geramannya berubah menjadi semakin lirih. Gelengan kepala itu seperti mengeluh kepada Dewi Mulia Ratri yang bukannya mengerti tapi malah makin kebingungan.

Tidak sabar lagi dengan kebengongan gadis cantik itu, Sima Lodra mengambil tindakan putus asa. Digigitnya punggung baju Arya Dahana dan dilemparkannya tubuh pemuda itu ke udara lalu dengan cepat punggung raksasanya menerima tubuh itu dengan sigap. Meleset! Tubuh pemuda itu berdebum seperti karung beras dilempar kuli pelabuhan.

Aaaahhh...kenapa aku begitu bodoh? Pikir Dewi Mulia Ratri berlari menghampiri tubuh yang tergolek itu dengan iba dan penuh rasa bersalah. Diangkatnya Arya Dahana kemudian dibaringkannya di punggung Sima Lodra.

Harimau itu menggeram sambil tetap menggelengkan kepala seperti putus asa atas ketidaktahuan Dewi Mulia Ratri tadi. Namun tubuh besarnya segera bergerak cepat meninggalkan tempat itu semakin masuk ke dalam hutan menuju arah matahari terbit. Dewi Mulia Ratri cepat-cepat mengikuti dengan tetap merasa bersalah.

Harimau putih itu melaju dengan cepat tanpa melambat sedikitpun. Di suatu tempat dalam hutan dekat dengan sebuah sungai jernih yang mengalir tenang, tiba-tiba berhenti dan menggulingkan tubuh Arya Dahana dengan lembut. Dewi Mulia Ratri yang tiba dalam waktu hampir bersamaan melihat harimau itu mendatangi sebuah rumpun perdu berwarna warni mencolok kemudian menggigit seberkas daun dan dibawa ke Dewi Mulia Ratri.

Diangsurkannya daun-daunan tadi kepada gadis itu sambil menggeram-geram lirih dengan tidak sabar ke arah air sungai. Dewi Mulia Ratri sekarang mengerti apa yang dimaksud Sima Lodra. Diambilnya air menggunakan gayung kecil yang ada di kantong perbekalan mereka. Saat gadis itu hendak meletakkan daun-daunan tadi ke dalam air di gayung, Sima Lodra mengaum keras.

Dewi Mulia Ratri terlonjak kaget. Dilihatnya Sima Lodra menggigit beberapa ranting kering, diletakkannya di tanah, kemudian harimau itu melangkah cepat mencoba membongkar kantung perbekalan yang berisi peralatan memasak. Digigitnya sebuah panci kecil dibawanya ke tumpukan ranting kering tadi lalu menggeram-geram lagi. Dewi Mulia Ratri sekarang mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Sima Lodra. Cepat-cepat dinyalakannya api dan direbusnya daun-daunan tadi. Dilihatnya Sima Lodra sekarang mengangguk-anggukan kepala penuh terimakasih. Dewi Mulia Ratri tersenyum geli. Tidak disangkanya dia harus bisa mengerti bahasa binatang dalam situasi seperti ini.

Sambil menunggu air rebusan itu mendidih, diperiksanya tubuh Arya Dahana. Tubuh itu sekarang sedingin es. Nafasnya berhenti! Dibukanya kelopak mata pemuda yang terpejam itu. Matanya semua memutih! Dengan hati berdebar tidak karuan, Dewi Mulia Ratri mendekatkan telinganya ke dada, hidung dan leher Arya Dahana. Gadis itu panik sekarang. Tidak ada tanda tanda kehidupan sama sekali! Gadis cantik itu langsung saja menangis sesenggukan. Sambil duduk memeluk lututnya yang gemetar menahan rasa kehilangan, tangisnya benar-benar meledak.

Kenapa dia tadi terlambat mengerti isyarat Sima Lodra? Jika tidak, barangkali pemuda itu masih bisa diselamatkan sekarang. Tangisnya makin keras dan menjadi jadi. Sebagian sukmanya seperti ikut tersedot pergi oleh kematian pemuda itu. Tubuhnya tiba-tiba sangat lemas kehilangan seluruh tenaga dan... pingsan.

Sima Lodra yang menyaksikan gadis itu panik kebingungan lalu menangis sesenggukan tidak karuan dan setelah itu pingsan, kembali menggeleng-gelengkan kepala dan mengaum lirih penuh kejengkelan. Digigitnya lengan baju Dewi Mulia Ratri. Diguling-gulingkannya tubuh gadis itu. Dewi Mulia Ratri terjaga dari pingsannya. Dia seperti menyadari akan sesuatu lalu menengok ke arah Arya Dahana dan kembali menangis sedih.

Sebelum gadis itu pingsan lagi, Sima Lodra berlari menjemput panci yang sudah mendidih menggunakan mulutnya. Diangsurkannya panci itu ke Dewi Mulia Ratri yang masih menangis. Kontan saja gadis itu menghentikan tangisnya. Mendadak dia sadar bahwa Sima Lodra menginginkannya berbuat sesuatu dengan panci itu. Gadis itu seperti tersentak oleh sebuah kenyataan yang menggembirakan. Diraihnya panci itu, dibawanya ke Arya Dahana. Dibukanya mulut kaku itu dengan paksa. Dikerahkannya tenaga dalam ke air dalam panci agar tidak lagi panas. Lalu diminumkannya cairan ramuan yang tinggal sedikit ke dalam mulut pemuda itu.

Apa yang terjadi selanjutnya sangat ajaib. Warna kehidupan kembali mengaliri wajah dan tubuh pemuda itu. Dewi Mulia Ratri menghela nafas lega. Wajahnya kembali sumringah. Sambil mengelus kepala Sima Lodra penuh rasa terimakasih, dia bertekad akan menjaga pemuda itu sampai siuman kemudian memberi sedikit hadiah tamparan di pipi karena telah berani mengharu-birukan perasaannya seperti ini.

****************